Oleh: Abduh Rijal
Hidayatullah.com | KETIKA Andalusia telah terpecah belah dan kota terakhir mereka yaitu Granada jatuh ke tangan Fernando dan Isabella, orang-orang Yahudi kemudian diusir keluar dari Spanyol. Sejarawan Muslim Dr Alwi alatas meneceritakan bahwa Kaum Muslimin dipaksa masuk Kristen, atau terpaksa hijrah keluar dari Spanyol. Mereka memberontak, tapi pada akhirnya dikalahkan.
Banyak dari orang-orang Islam ini akhirnya setuju untuk dibaptis. Hanya saja mereka tetap mempertahankan tradisi Arab-Muslim mereka, dan sebagian lainnya tetap menjalankan ajaran Islam secara sembunyi-sembunyi. Orang-orang ini dikenal sebagai Moriscos, kaum yang mirip orang-orang Islam. Mereka inilah yang kemudian menjadi sasaran utama dewan inkuisisi Spanyol.
Pada awalnya menurut Perjanjian Granada yang disepakati tahun 1491, umat Islam dijanjikan kebebasan untuk tetap menjalankan agamanya, tetapi perjanjian ini ternyata hanya berupa kebohongan kaum kristen agar muslimin mau menyerahkan kekuasaannya kepada kaum kristen. Benar saja, pada tahun 1502, umat Muslim diberikan ultimatum untuk masuk Kristen atau meninggalkan Spanyol.
Mayoritas mereka pindah agama karena banyaknya siksaan yang diberikan golongan Inkuisisi, tetapi hanya berpindah agama di luar saja, karena mereka masih berpakaian dan berbicara sebagaimana sebelumnya, beribadah menurut agama Islam secara sembunyi-sembunyi. Kardinal Cisneros kemudian menerapkan peraturan yang lebih keras dan memaksa, sehingga memicu sebuah pemberontakan. Pihak Spanyol menggunakan pemberontakan ini sebagai alasan untuk membatalkan Perjanjian Granada. Sejak saat itu, muslim di spanyol semakin menderita.
Pada tahun 1508, pakaian bernuansa Islam dilarang. Pada 1526 dan 1527, peraturan yang lebih keras lagi dikeluarkan. Pada 1567, Raja Felipe II mengeluarkan baru yang melarang penggunaan nama berbau Islam, pakaian Islam, serta larangan berbahasa Arab.
Bahkan orang-orang Islam diberitahu anak-anak mereka nantinya harus diserahkan untuk dididik para pendeta Kristen. Seluruh 300.000 moriscos akhirnya diusir dari Spanyol pada 1609-1614, oleh Raja Felipe III.
Selama berabad lamanya agama Kristen datang dan menyebar di seluruh dunia dengan cara penyiksaan dan bahkan pembunuhan. Dalam sejarah peradaban Kristen sendiri, penyebaran nilai keagamaan mereka seperti konsep ketuhanan dan sebagainya, banyak dilakukan dengan cara cara keji apalagi dalam kurun waktu dark ages. Kristen menyebar dengan cara ancaman baik kepada golongan Kristen sendiri maupun di luar agama Kristen.
Reconquista dan inquisition (inkuisisi) yang didorong pengaruh Monarki Katolik adalah senjata andalan untuk menyingkirkan orang-orang Yahudi dan Islam, serta kaum Kristen sendiri yang tidak tunduk pada Katolik. Sejarah demikian inilah yang membuat peradaban Barat menjadi alergi dengan kata “religion”.
Syed Naquib al Attas berkata bahwa religion berasal dari bahasa latin Religiō yang bermakna ‘mengikat’, akan tetapi kenyataan terhadap sikap “diikat” dan dasar-dasar “pengikatan” itu semua tidak jelas terkandung dalam istilah tersebut. Akan tetapi dalam sejarah agama Barat, yang menjelaskan sifat agamanya sebagaimana dialaminya, “pengikatan” itu dilakukan secara memaksa. Hal ini berbeda dengan Islam yang ketika datang kepada suatu daerah, ia tidak mengancam dan bahkan memakmurkannya.
Dalm al-Quran disebutkan:
لَآ إِكْرَاهَ فِى ٱلدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشْدُ مِنَ ٱلْغَىِّ ۚ فَمَن يَكْفُرْ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسْتَمْسَكَ بِٱلْعُرْوَةِ ٱلْوُثْقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَا ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sungguh telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus… (QS: al-Baqarah: 256)
Jika sebelumnya Kristen masuk ke dalam Spanyol dengan penuh paksaan, siksaan, dan bahkan pembunuhan, Karen Amstrong dalam bukunya Perang Suci menggambarkan, saat Shalahudin dan pasukan Islam membebaskan Palestina, tak ada satu orang Kristen pun yang dibunuh. Tak apa pula perampasan harta benda.
”Jumlah tebusan pun disengaja sangat rendah. Salahuddin menangis tersedu-sedu karena keadaan mengenaskan akibat keluarga-keluarga yang hancur terpecah-belah. Dan ia pun membebaskan banyak dari mereka, sesuai imbauan Al-Qur’an,” papar Amstrong.
Salah satu film yang memberikan representasi yang adil terhadap fakta penaklukan jerusalem menurut sejarah adalah film The Kingdom of Heaven yang disutradarai oleh Ridley Scott. Di akhir film tersebut ketika benteng Jerusalem telah berhasil roboh, dicatat dialog antara Ibelin dan Salahuddin Al-Ayyubi. “Aku tawarkan padamu”, ujar Shalahuddin kepada Balian dari Ibelin, “Jaminan keselamatan bagi seluruh penduduk Jerusalem; Ratumu, Uskup, para Ksatria, pria, wanita, dewasa, maupun anak-anak untuk keluar dengan damai dalam pengawalan kami ke daerah aman yang dikuasai teman-teman Kristen kalian. Takkan ada yang diganggu atau disakiti.”
“Tapi”, sahut Balian yang setengah terkejut, “Ketika orang Kristen merebut kota ini, mereka membantai semua penduduknya dan menjadikan jalanannya digenangi darah.”
“Aku bukan orang seperti mereka”, tukas Sang Sultan. “Aku Shalahuddin. Shalahuddin. Orang yang berkebaikan untuk memuliakan agama.”
Begitulah sejatinya Islam dalam sejarah bukanlah agama teroris seperti yang digemboran banyak media saat ini. Justru apabila menilik sejarah, justru Islam yang menyebarkan rasa damai dalam penyebarannya.*
Penulis adalah santri Kulliyat Dirasah Islamiyyah Pandaan – Pasuruan