Oleh: Amran Nasution *
Prolog:
Beberapa saat usai kejadian bentrokan Monas, John Heffern, Kuasa Usaha Kedutaan Besar (Kedubes) Amerika Serikat di Jakarta ikut-ikutan sibuk mengunjungi korban dari AKKBB di Rumah Sakit Gatot Subroto. Keesokan hari, Kedubes mengirimkan pernyataan resmi ke media massa mengutuk aksi kekerasan Monas. Belum cukup. Pernyataan itu mengajari Pemerintah Indonesia agar menjunjung kebebasan beragama bagi warganya sesuai UUD. Itu jelas intervensi urusan dalam negeri Indonesia.
Bagaimana Amerika masih punya keberanian moral mengutuk kekerasan Monas, sementara negaranya adalah imperium kekerasan yang sudah membunuh 1 juta manusia di Iraq. Saat tulisan ini diturunkan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ikut-ikutan menyorot kasus Ahmadiyah. Lantas, apa maksud dari dukungan moral itu?
Amerika Memang Jagonya
Campur tangan mereka yang begitu jauh tentu karena alasan lain. Itu harus dirujuk kepada war on terror (perang melawan teror) yang diproklamirkan Presiden George Bush setelah penyerangan Menara Kembar WTC oleh kelompok teroris 11 September 2001.
Katanya itulah perang untuk menguber para teroris sampai ke mana pun. Nyatanya sampai sekarang Usamah Bin Ladin dan Ayman Al-Zawahiri masih tak bisa tertangkap. Sementara Afghanistan dan Iraq sudah remuk-redam. Negeri kaya minyak Iraq, oleh perbuatan Amerika, kini menjadi negara gagal (failed-state)
Dalam proklamasinya Bush mengatakan bahwa perang itu adalah crusade atau Perang Salib, yaitu perang tentara Kristen melawan Islam 1000 tahun lalu untuk memperebutkan Jerusalem. Itulah nyatanya yang dilakukan Presiden Bush.
Di Iraq, kelompok Suni diadunya dengan Syiah. Begitu pula di Libanon. Arab Saudi ditakut-takuti dengan bahaya nuklir Iran. Orang Islam dibaginya dua: good Muslim dan bad Muslim. Good Muslim, katanya, orang Islam yang modern, menerima nilai demokrasi, terbuka dan moderat. Sedang bad Muslim kolot, anti-demokrasi, fanatik, tak toleran, ingin mendirikan negara Islam.
Pada kenyataannya good Muslim adalah orang Islam yang mau mendukungnya. Mereka menjadi bad Muslim kalau bersikap independen dari pengaruhnya (Lihat Mahmood Mamdani dalam Good Muslim, Bad Muslim – America, the Cold War, and the Roots of Terror. Three Leaves Press, Doubleday, New York, 2005). Dalam konteks inilah campur tangan Kedubes Amerika dalam mendukung AKKBB, bisa dilihat.
Ketua Umum FPI Habib Riziek Shihab atau pimpinan Laskar Islam Munarman jelas masuk kategori bad Muslim. Habib Rizieq selalu memimpin demonstrasi anti-Amerika. Munarman, bekas tokoh YLBHI itu, adalah orang paling gigih berkampanye mengusir proyek NAMRU-2 dari Indonesia.
Kontrak NAMRU-2 sudah lama berakhir di Indonesia. Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menentangnya, tapi proyek Angkatan Laut Amerika itu tetap bertahan karena di Istana banyak pendukungnya. Padahal proyek itu tampaknya tak lain untuk kepentingan perang kuman Amerika yang tak ada untungnya bagi Indonesia.
Sementara di kelompok AKKBB bergabung banyak good Muslim. Beberapa di antara mereka adalah tokoh yang pada 1998 terlibat menerima dana 26 juta dollar dari badan bantuan pemerintah Amerika, US-AID, seperti Adnan Buyung Nasution dan kawan-kawan (The New York Times, 20 Mei 1998).
Dengan sikap Kedubes Amerika dan Presiden SBY seperti itu, maka penangkapan Habib Riziek dan kelompoknya dilakukan polisi amat berlebihan. Inilah untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia, 1500 polisi dikerahkan hanya untuk menangkap demonstran tawuran. Pagi itu, kantor FPI di kawasan Petamburan dikepung seakan sarang teroris yang memiliki senjata nuklir.
Semua itu rupanya diperlukan agar suasana terlihat mencekam. Agar FPI terlihat jelek dan menakutkan di mata masyarakat. Apalagi sejak peristiwa Monas organisasi Islam itu sudah dihancurkan oleh pemberitaan gencar media massa. Ia dicitrakan sebagai organisasi preman yang meresahkan agar bisa dibubarkan.
Andi Mallarangeng dan adiknya, Rizal Mallarangeng dari Freedom Institute, tak segan tampil berdua di sebuah stasiun televisi hanya untuk menyerang FPI dengan emosional. Singkat cerita, tujuannya untuk membunuh karakter FPI. Di mata dua kakak-beradik ini tak ada kerjaan FPI yang lain kecuali kekerasan.
Padahal FPI dan para tokohnya termasuk pihak awal turun ke Aceh ketika tsunami menyerang. Mereka yang mengevakuasi mayat berserakan, bukan Adnan Buyung Nasution atau Marsilam Simanjuntak. Mereka turun menolong rakyat kebanjiran di Jakarta, bukan Rizal Mallarangeng atau Asmara Nababan. Pengajian mereka berlangsung rutin. Habib Rizieqsering berkeliling Indonesia untuk berdakwah.
Tapi dalam hal provokasi Amerika jagonya. James Petras, Profesor (emeritus) sosiologi di Binghamtom University, New York, Mei lalu, menulis artikel menarik, Provocations as Pretexts for Imperial War: From Pearl Harbor to 9/11. Di situ ditelanjangi bagaimana pemerintah Amerika memprovokasi rakyatnya dan masyarakat internasional dengan dalih atau bukti palsu agar mereka mendukung perang.
Itu dilakukan Presiden Franklin Roossevelt dalam penyerangan Jepang atas Hawai yang menjadi alasan Amerika terlibat dalam Perang Dunia II, Presiden Truman untuk Perang Korea, Presiden Lyndon Johnson dalam insiden Teluk Tonkin untuk melegitimasi Perang Vietnam, dan Presiden Bush dengan senjata pemusnah massal untuk menyerang Iraq.
Dalam insiden Teluk Tonkin, misalnya, Menteri Pertahanan McNamara melapor ke Kongres bahwa hari itu, 4 Agustus 1964, kapal perang Amerika telah bentrok dengan patroli laut Vietnam Utara di Teluk Tonkin. Insiden terjadi karena lambung kapal USS Maddox dirobek peluru senapan mesin kaliber 14,5 mm yang ditembakkan kapal patroli Vietnam. Rakyat Amerika terprovokasi dan marah. Tiga hari kemudian Kongres memberi mandat kepada Presiden Johnson untuk berperang.
Padahal insiden Teluk Tonkin cuma karangan. Itu terbukti dari berbagai dokumen yang belakangan bisa dibuka. Salah satunya, laporan National Security Agency (NSA) dibuka tahun 2005, menyebutkan kapal patroli Vietnam tak pernah bertemu USS Maddox, apalagi terlibat tembak-tembakan. Foto robeknya lambung USS Maddox sebagai bukti, betul-betul hasil rekayasa.
Begitu juga cara Presiden Bush mengelabui rakyat Amerika dan dunia tentang senjata pemusnah massal di Iraq dan hubungan Saddam Hussein dengan “teroris” Al-Qaidah Semua palsu dan rekayasa.
Seperti ditulis Profesor James Petras, provokasi menimbulkan kerugian tak kepalang. Perang Vietnam menyebabkan 4 juta penduduk Vietnam dan Indochina terbunuh. Jutaan lainnya terluka. Amerika sendiri: 54.000 serdadu tewas, setengah juta lainnya cedera. Tapi yang paling menyakitkan, Amerika kalah perang. Tentaranya harus melarikan diri dari Saigon pada 1975. Sungguh memalukan.
Begitu pula di Iraq. Perang menyebabkan lebih 4000 tentaranya terbunuh, hampir 30.000 cedera, dan sebagian harus dirawat seumur hidup karena gangguan mental. Profesor Joseph Stiglitz, pemenang Nobel Ekonomi 2001, memperhitungkan perang Iraq menghabiskan dana 3 trilyun dollar.
Perang itulah yang menyebabkan Amerika dibenci rakyat dunia – termasuk Eropa. Ekonominya morat-marit dan kini dilanda krisis. Bertahun-tahun neraca perdagangannya negatif lalu hidup dari menumpuk utang. Negeri ini menjadi pengutang terbesar di dunia. Utang luar negerinya saja 9 trilyun dollar, terutama kepada China dan negara Timur Tengah. Pengangguran melonjak, bulan ini sudah5,5%. Naik 0,5 % dibanding sebelumnya.
Penyerbuan Iraq pula yang menyebabkan harga minyak bumi melonjak – selain faktor naiknya permintaan. Soalnya, karena masalah keamanan sampai sekarang pasokan minyak Iraq belum mencapai tingkat produksi sebelum perang. Proyek Presiden Bush membuat biofuel dari jagung dengan subsidi besar sebagai alternatif minyak bumi mengakibatkan harga pangan melonjak. Dunia terancam resesi.
Belakangan bermunculan banyak artikel dan buku yang meramalkan masa kejayaan Amerika Serikat sudah berakhir, ditulis bukan orang sembarang. Amerika tak akan lagi memimpin dunia. Di antaranya, Day of Reckoning – How Hubris, Ideology, and Greed Are Tearing America Apart (oleh Patrick J. Buchanan), The Post-American World (Fareed Zakaria), The Squandering of America (Robert Kuttner), Bad Money – Reckless Finance, Failed Politics and the Global Crisis of American Capitalism (Kevin Phillips), atau The Second World: Empires and Influence in the New Global Order (Parag Khanna).
Meski demikian rupanya cara-cara provokasi dari negeri calon bangkrut itu masih dicoba di Indonesia. Korbannya adalah FPI dan kawan-kawan. Mereka menjadi Kiranjit Ahluwalia. [Habis/hidayatullah.com]
* Penulis Direktur Institute For Policy Studies