Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | Selesai sudah drama dualisme kepengurusan kepemimpinan Partai Demokrat. Pemerintah lewat Menkumham, Yasonna H Laoly, menolak kepengurusan Partai Demokrat versi KLB, yang diketuai Jenderal (Purn) Moeldoko.
Dengan demikian, jelaslah bahwa kepemimpinan Partai Demokrat yang sah adalah yang dipimpin Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang terpilih lewat Kongres V, 2020. Maka hiruk pikuk dan saling klaim dua kubu, yang merasa paling berhak, mestinya sudah harus berakhir.
Kemelut Partai Demokrat, yang hampir dua bulan ini, menyisakan kisah pilu tidak saja bagi Partai Demokrat, tapi bagi demokrasi di Indonesia, yang akan terus dikenang dengan kenangan buruk dan memalukan. Berbagai narasi baru muncul, yang tidak enak diucapkan, seperti begal politik, dan sejenisnya.
Inilah sejarah kelam demokrasi coba dihancurkan dengan cara yang belum pernah terjadi di negeri ini. Perampasan partai politik, dalam hal ini Partai Demokrat, yang dilakukan oleh pihak di luar partai (eksternal), yang dibantu beberapa senior partai, lewat cara-cara inkonstitusional.
Bagaimana mungkin orang di luar partai, dalam hal ini Pak Moeldoko, diangkat sebagai Ketua Umum oleh mereka yang tidak punya hak suara dalam Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat, di Deli Serdang, Sumatera Utara (5 Maret).
Baca: Yasonna Laoly Siang Ini Putuskan Dualisme di Partai Demokrat: Putusan Berdasar Hukum Atau Politik?
KLB di Deli Serdang itu pelaksanaannya lancar-lancar saja, meski tanpa izin dari Kepolisian, seolah ada tangan kekuasaan yang bermain di sana. Sehingga tidak ada yang mampu menghentikan. Padahal di masa pandemi ini, tidak mudah bisa dapat izin penyelenggaraan acara apa pun, apalagi yang mendatangkan jumlah massa besar.
Terkesan pula KLB itu dilaksanakan dengan cara ugal-ugalan, dimana tidak sampai satu jam (ada yang mengatakan hanya 40 menit saja) sejak kongres dibuka, Ketua Umum sudah terpilih. Dan Ketua Umum terpilih, Pak Moeldoko, belum hadir di arena kongres. Lalu lewat telepon ketua umum terpilih menyatakan kesediaannya, meski dengan syarat-syarat, yang lalu dipenuhi peserta kongres.
Kasihan Pak Moel
Tidak ada yang bisa memahami langkah yang diambil Pak Moeldoko itu. Menghalalkan cara merebut Partai Demokrat dengan cara-cara di luar kepatutan. Awalnya tidak mengakui, ada rencana darinya bahwa ia akan mengambil alih Partai Demokrat. Kata Pak Moel, mereka datang, dan ia adalah orang yang terbuka menerima siapa saja di rumahnya. Setelah disodorkan bukti, bahwa pertemuan lanjutan itu di kamar sebuah hotel, maka ia katakan cuma ngopi-ngopi saja.
Setelah itu, ternyata Pak Moel nekat maju terus menuju KLB, dan menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. Sebuah langkah ngawur, yang seperti tanpa diperhitungkannya. Sepulang dari KLB, ia disebut sebagai ketua umum ilegal, dan bahkan ditambahkan label sebagai jenderal begal politik. Jadi bahan olok-olok, menggerus integritasnya.
Setelah itu, Pak Moel tidak tampil di hadapan publik, hampir tiga pekan. Seperti ngumpet tidak percaya diri dengan langkahnya. Tidak seperti AHY yang tampak pede, terus melakukan anjangsana pada pejabat tinggi, dan tokoh nasional. Setelah tiga pekan ngumpet, Pak Moel lalu muncul dengan pernyataan lewat video Instagramnya.
Dimana ia katakan, bahwa ia khilaf, itu karena ia tidak meminta izin pada istri dan keluarganya saat mengikuti KLB itu. Juga, ia minta untuk tidak melibatkan Presiden Jokowi. Bagaimana mungkin presiden tidak lalu ikut terlibat, bukannya ia selaku orang dekatnya, yang duduk sebagai Kepala Staf Kepresidenan (KSP).
Lalu, Pak Moel bicara bahwa ia didaulat untuk mimpin Partai Demokrat. Bicara juga, bahwa kekisruhan sudah terjadi di Partai Demokrat, dan demokrasi sudah bergeser di dalam tubuh Partai Demokrat. Jika benar kondisi Partai Demokrat, sebagaimana yang disampaikannya itu, lalu urusannya apa dengannya.
Ada pula pernyataannya yang membingungkan, bahwa akan terjadi pertarungan ideologis yang kuat menjelang 2024. Pertarungan yang terstruktur dan gampang mengenalinya, dan karenanya akan jadi ancaman bagi cita-cita menuju Indonesia Emas 2045.
Baca: Bom Meledak, Pak Moel Bak Robin Hood, dan Ending Partai Demokrat Tidak Menentu
Ada hal menarik lainnya yang disampaikan Pak Moel, dan itu bisa jadi pelajaran buat kita semua, yaitu pernyataan tulusnya bahwa ia khilaf. Jika saja ia tidak khilaf, dan sebelumnya membicarakan langkahnya itu dengan istri dan keluarganya, maka bisa jadi ia tidak nekat ambil alih Partai Demokrat dengan sewenang-wenang.
Jika ia tidak khilaf dan bicara dengan istri dan keluarganya terlebih dahulu, maka setidaknya ada pertimbangan dari sang istri, agar ia berpikir untuk tidak melakukannya, bahwa di Partai Demokrat itu ada Pak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang dulu pernah berjasa mengangkatnya selaku Kastaf AD, dan lalu Panglima TNI. Mosok sih lali, Pak? setidaknya kalimat demikian, yang disampaikan sang istri.
AHY Sumringah, Tidak pada Pak Moel
Setelah pengumuman Menkumham, siang hari (31 Maret). Tidak lama kemudian, AHY mengadakan Konferensi Pers, dengan wajah sumringah, ia makin tampak tampan.
Dengan tenang ia sampaikan perasaan syukurnya, dan ucapan terima kasih pada Presiden Jokowi, Menko Polhukam, Prof Mahfud MD, Menkumham, Yasonna Laoly, Kapolri, Listyo Sigit Prabowo, dan beberapa pihak lainnya.
Perasaan sumringah itu bukan cuma dirasakan AHY saja, tapi seluruh pengurus Partai Demokrat merasakan hal yang sama. Bahkan di Surabaya, para pengurus PC Demokrat melakukan sujud syukur, setelah mendengar keputusan Menkumham.
Drama pertempuran AHY versus Moeldoko mestinya sudah usai, meski tetap menyisakan rasa sumringah dan nelangsa pada dua belah pihak yang bertikai. Sebaiknya tidak perlu Pak Moel memperpanjang membawa drama ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Mencoba memperpanjang kasus ini, justru akan lebih menampar wajah.
Wajah Pak Moeldoko masih akan sering kita lihat, karena jabatannya sebagai KSP, itu jika Pak Jokowi tetap masih menempatkannya sebagai orang terdekatnya. Tapi tidak ada yang tahu nasib seseorang, termasuk nasib Pak Moeldoko pasca putusan Menkumham itu.
Tapi bagaimana dengan nama Marzuki Alie, Jhoni Allen Marbun, Darmizal, Max Sopacua, dan lainnya, tentu wajahnya tidak lagi bisa kita lihat leluasa. Jika “kangen” akan sulit bisa melihat wajahnya lagi. Namanya akan hilang dari perbincangan publik.
Baca: Hambalang dan Cacing Kepanasan
Dalam sebulanan ini wajah-wajah mereka memang akrab menghiasi pemberitaan, lagaknya seolah pemilik Partai Demokrat yang sah. Pernyataan-pernyataan yang muncul dari mereka, adalah pernyataan asal bicara tanpa data yang dipunya. Jika berdebat di televisi dari dua kubu yang bertikai, tampak jomplang “dihajar” kelompok AHY.
Paling teringat saat Razman Arif Nasution, Ketua Bidang Advokasi dan Hukum Partai Demokrat kubu Moeldoko, dalam satu acara di sebuah stasiun televisi dihajar anak muda yang good looking dan berperangai tenang, Herzaky Mahendra Putra, Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat, kubu AHY. Tampak beda kelas antar keduanya. Razman terlihat gelisah dikuliti Herzaky.
Masalahnya bukan Razman yang merasa lebih tua lalu bisa bicara sekenanya. Herzaky meski masih muda, tapi ia bawa data dalam perdebatan. Tidak asal bicara. Persoalan Partai Demokrat memang bukan persoalan Jenderal versus Mayor. Tapi tentang legalitas pada sebuah partai, dan Menkumham telah memutuskan, siapa yang berhak atas partai itu dengan sebenarnya. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya