Hidayatullah.com | JUDUL ITU berlafaz: Em-Yu-Fiftin-Si. Silakan nikmati dulu tulisan pendek ini, di ujungnya ada penjelasan tentang kode itu.
Setelah fitnah, penghinaan, penyekapan, penjara, siksaan, dan pembunuhan atas Rasulullah ﷺ dan para Sahabatnya memuncak, justru tak lama kemudian beliau jadi kepala negara.
Ambang batas ketangguhan orang beriman menghadapi ujian itu tinggi. Dari zaman ke zaman, para penzalim akhirnya selalu tercengang. Mereka akan kena stroke karena tercengang menyaksikan kesabaran orang-orang beriman.
Yang penting dipastikan, kita tetap menolak kemungkaran, dan tetap fokus pada pekerjaan-pekerjaan inti. Berhenti merintihkan nasib tertimpa fitnah dan kezaliman. Balasan Allah sudah terjadual rapi dan tepat waktu. Singa sejati tak mengiba meminta keadilan.
Sesudah terbukti tangguh meski babak belur, Allah hibur Rasulullah ﷺ dengan Israa’ wal Mi’raj, lalu masuk Islamnya 6 orang pertama dari Yatsrib, terus Bai’at ‘Aqabah Pertama, dan Bai’at ‘Aqabah Kedua. Hiburan-hiburan dahsyat.
Lalu beliau kerja terus tak henti, beliau utus Mush’ab bin ‘Umair Al-Abdari jadi duta Islam pertama.
Oh ya, di tahun kelima kenabian pernah Rasulullah ﷺ mengirim rombongan Sahabat ke Habasyah, Ethiopia. Tapi itu rombongan pencari suaka, bukan duta alias diplomat. Mush’ab diutus resmi mewakili Rasulullah ﷺ menyampaikan risalah Islam kepada para pembesar Yatsrib.
Muda. Soleh. Cerdas. Tampan. Termasuk awal memeluk Islam. Pernah kaya dan wangi (seluruh kekayaan disita dan dibekukan ibunya yang musyrikah, bahkan ibunya memenjarakan dan menyiksanya). Mush’ab berangkat membawa Al-Quran yang belum separuh turun.
Syaikh Syafiurrahman Al-Mubarakfuri menulis kembali (dalam Ar-Rakhiqul Makhtum) riwayat jenaka sekaligus keren, saat Mush’ab menda’wahi para pembesar Yatsrib, negeri transito yang subur makmur.
Mush’ab dibantu orang tempatan, As’ad bin Zurarah. Keduanya berduet menyiarkan Islam. Mush’ab seorang qari’ alias muqri’ (ahli membaca Al-Quran bersuara merdu).
Suatu kali keduanya mendatangi Bani Abdul Asyhal dan Bani Zhafar, lalu duduk di dekat sumur Maraq. Beberapa orang yang sudah Muslim datang, duduk dengan mereka.
Waktu itu Sa’ad bin Mu’adz dan Usaid bin Hudhair, pemimpin Bani Abdul Asyhal masih musyrik. Sa’ad ini sepupu As’ad bin Zurarah, co-pilot Mush’ab. Karenanya dia sungkan mau menghardik dan menghentikan da’wah. Maka ia menyuruh Usaid melakukannya.
Ketika Usaid datang membawa tombak, As’ad berbisik kepada Mush’ab, “Ini pemimpin mereka. Tunjukkanlah kebenaran Allah kepadanya.” Bukan negosiasi politik atau tawaran bisnis yang As’ad sarankan kepada Mush’ab. Islam: plain and clear. Mush’ab jawab, “Kalau dia mau duduk, Aku akan bicara.”
Sambil menggenggam tombak Usaid menghardik, “Apa yang kalian bawa kepada kami? Kalian mau membodohi orang-orang lemah diantara kami? Menjauh dari kami, kalau kalian berdua masih sayang nyawa.”
Mush’ab menjawab sopan, “Sudikah Anda duduk lalu mendengar. Jika Anda berkenan, silakan terima. Jika tidak, tahanlah apa yang tak kau kusukai itu.”
Usaid menjawab, “Baiklah.” Lalu ia meletakkan tombaknya dan duduk.
Mush’ab menjelaskan tentang Islam dan melantunkan ayat-ayat Al-Quran.
Usaid belakangan meriwayatkan, “Demi Allah! Kami sudah mengenal Islam dari wajahnya sebelum dia berbicara; kecerahan dan gema takbirnya. Alangkah indahnya.”
“Apa yang kalian lakukan jika kalian masuk agama ini?” Tanya Usaid.
Keduanya menjawab, “Anda mandi, bersihkan pakaian, lalu bersyahadat dengan haq, lalu solat dua raka’at.”
Usaid menuruti semua yang disuruh, lalu kembali kepada boss yang tadi menyuruhnya menghentikan da’wah, Sa’ad bin Mu’adz. Dari jauh boss-nya Sudah melihat perubahan pada diri utusannya itu. Karena merasa anak buahnya gagal, Sa’ad mendatangi sendiri kedua da’i Rasulullah ﷺ.
Kejadian persis berulang. Sa’ad terpesona. Mandi. Membersihkan pakaian. Bersyahadat. Solat dua raka’at.
Demikianlah seluruh laki-laki dan perempuan Bani Abdul Asyhal dan Bani Zhafar bersyahadat tanpa kecuali, mengikuti kedua pemimpinnya.
Demikianlah Mus’ab bin ‘Umair Al-Abdari mendatangi satu per satu kabilah-kabilah, melantunkan kepada mereka Al-Quran yang indah, menjelaskan Islam sebagai peradaban mulia yang akan menyejahterakan mereka dunia Akhirat.
Taat kepada Allah, rindu Rasulullah ﷺ. Sampai hadirnya Bulan Purnama dari Makkah yang mereka sambut gegap gempita setahun berikutnya.
Begitulah kerja Mush’ab bin ‘Umair dan kawan-kawan.
Begitulah kita segera memperbanyak MU15C: “Mus’ab bin ‘Umair of the 15th Century”.*