Oleh: Ilham Kadir
WAKTU bagi manusia hanya ada tiga kategori. Berlalu, sedang berlangsung, dan akan datang (past time, present time, future time). Waktu yang berlalu adalah masa lalu, menjadi bagian dari hidup. Bagi golongan bijak, masa lalu adalah tempat mengukir di atas prasasti sejarah. Tetapi bagi yang biasa-biasa saja, masa berlalu tanpa sejarah, itu lebih baik dari para pecundang yang menghabiskan waktu dengan angan-angan tanpa usaha.
Tahun 2017 telah berlalu, orang bijak akan selalu belajar dari masa lalu, ia adalah kaca spion dalam mengarungi kehidupan yang begitu kencang. Masa lalu adalah pelajaran, yang baik dipertahankan dan dikembangkan agar jauh lebih baik, yang buruk jangan sampai terulang, dan kalau harus terulang jangan sampai keburukan terulang dengan lebih buruk atau sama buruknya, sebab itu akan menjadi kerugian dan kesialan yang sia-sia. Hidup harus bergerak maju ke depan, tapi itu hanya terjadi jika kita berkaca pada masa lalu.
Para pecundang selalu berbangga pada masa lalunya, bernostalgia sendiri. Sementara para pahlawan adalah mereka yang selalu berpikir untuk masa depannya. Padahal kejayaan sesungguhnya ada pada masa depan, bukan masa lalu. Sungguh beruntung orang yang bijak menyatukan antara masa lalu, masa sekarang, dan akan datang.
Pisau Medsos
Tahun 2017 memberikan pelajaran berharga bagi siapa yang ingin jadi murid. Adalah fenomena perceraian yang marak akibat media sosial (medsos) yang didominasi oleh Facebook dan WhatsApp.
Pengadilan Agama Kota Bekasi mencatat, sekitar 2.231 pasangan suami istri cerai dalam kurun Januari sampai Oktober 2017. Dalam persidangan tersibak fakta mengejutkan, mayoritas perceraian terjadi akibat dari medsos. Gugatan cerai mayoritas dilakukan pihak istri setelah mengamati dan menelaah isi ponsel sang suami. (Suara Hidayatullah, 11/2017).
Setali tiga uang dengan apa yang terjadi di Mamuju. Data dari Pengadilan Agama (PA) Kabupaten Mamuju mencatat sedikitnya 389 permohonan gugatan cerai yang diterima dalam kurung waktu Januari hingga Desember 2017. Dari jumlah tersebut, 357 perkara dinyatakan inkrach, sisanya masih dalam proses. Perceraian pun sama, berawal dari medsos, (Tribun Timur, 28/12/2017).
Mayoritas pasangan yang bercerai berumur 25 sampai 40 tahun, penyebab utama adalah medsos yang didominasi dari Facebook dan WhatsApp. Yang lebih menyesakkan dada sebab perceraian didominasi kalangan ekonomi kelas menengah ke atas, bahkan 20 persen diisi oleh Aparatur Sipil Negara (ASN).
Para penggugat hampir semuanya dari pihak istri. Secara umum, masalah bermula dari prilaku istri yang kepo, atau berusaha mencari tahu isi HP suaminya. Dalam Facebook, ia mencari-cari percakapan dalam kotak obrolan, atau balas komentar dalam dinding berita. Jika via WhatsApp pun begitu, mencari siapa saja teman suaminya, lalu menyisir setiap percakapan yang ada di dalamnya. Ada juga bermula dari galeri foto, dan sebagainya.
Dapat dipastikan jika istri yang bersemangat mengetahui lebih jauh prilaku suaminya itu membuka HP suaminya tanpa izin. Karena itu, dalam ranah syariat kasus ini dalam kategori tajassus atau memata-matai suami. Larangan jadi mata-mata atau mencari-cari kesalahan orang lain, terlebih itu adalah suami sendiri dapat dilihat dalam Al-Qur’an, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan jangan kalian mencari-cari kesalahan orang lain.” (QS. Al-Hujurat [49]: 12).
Al-Mahalli dan Asy-Syuyuthi dalam “Tafsir Jalalain” menyatakan bahwa tajassasu adalah jenis pekerjaan yang mencari-cari aurat dan aib dengan cara menyelidiki, dan hal itu terlarang. (Tafsir Jalalain, Jilid II/26).
Di era digital ini, ketaatan istri terhadap suami kian memudar. Terlebih lagi bagi istri yang juga bekerja bahkan memiliki penghasilan lebih banyak dari suami. Akhirnya, rasa ketergantungan pada suami pun makin sedikit, akibatnya, layanan terhadap suami pun ditentukan oleh istri. Di lain pihak, suami yang tak terlayani dengan adil oleh istri mencari pelampiasan lewat media sosial. Dengan umur kisaran antara 25 hingga 40 tahun, lelaki umumnya berada pada puber pertama dan kedua.
Mengembalikan fitrah istri sebagai pihak yang melayani, sebagaimana orang-orang tua kita adalah salah satu solusi terbaik. Sambil memberikan ruang kepercayaan kepada suami. Jika ada permasalahan kritis sebaiknya dibicarakan baik-baik, ambil mediator dari kedua belah pihak untuk mencapai solusi yang terbaik. Sangat naif, jika hanya persoalan inbox di FB atau obrolan di WA harus diselesaikan di atas meja Pengadilan Agama.
Sebagai manusia, hal yang tidak bisa dipandang remeh adalah melibatkan Allah, dirikan salat istikharah, minta pertimbangan yang terbaik dalam memutus perkara. Manusia kadang hanya mengandalkan otak dan perasaan dalam menyelesaikan masalah, padahal Allah pasti punya jalan terbaik buat hamba-Nya.
Terakhir, saya akan kutip sebuah hadis, terkait tuntutan kepada istri agar membiasakan diri minta izin terhadap suami, bahkan masalah ibadah sekalipun, seperti puasa sunnah. “Tidak diperbolehkan bagi seorang istri untuk berpuasa sunnah sementara suaminya ada di sisinya kecuali dengan izin suaminya,” (HR. Bukhari).
Jika beribadah sunnah saja seorang istri sebaiknya minta izin pada suaminya, maka membuka ponsel suami pun demikian, harus dapat izin terlebih dahulu. Harapan kita agar konflik rumah tangga berujung perceraian akibat medsos sebagaimana yang terjadi 2017 dapat ditekan, dan itu terwujud jika kita semua makin bijak dan adil memanfaatkan alat komunikasi sesuai fungsinya. Wallahu A’lam!
Batili-Enrekang, 31 Desember 2017
Pimpinan Baznas Kabupaten Enrekang