Oleh S. Timsar Zubil*
TULISAN ini dimaksudkan untuk menjelaskan beberapa hal yang menurut keterangan yang saya terima, telah muncul di dalam pembicaraan beberapa kelompok, di mana saya tidak hadir saat pembicaraan itu terjadi. Artinya, semua itu dibicarakan di belakang saya.
Pembicaraan yang saya maksud adalah mengenai persoalan yang dikaitkan dengan masa lalu saya, sebagai mantan narapidana politik yang pernah divonis oleh Pengadilan Negeri Medan dengan hukuman mati pada tanggal 10 Maret 1978.
Ketika itu saya terlibat dalam gerakan melawan rezim Orde Baru dengan cara-cara yang melanggar hukum. Perbuatan itu dulu disebut subversif, sekarang dikatakan teroris. Jadi saya dapat dikatakan sebagai mantan teroris, semoga tidak jadi mantan orang baik saja.
Saya bersyukur pernah divonis pidana mati, sebab pernah melawan rezim Orde Baru, yang 20 tahun setelah kejadian itu dilengserkan oleh gerakan rakyat Indonesia. Namun, saya menyesal pernah jadi teroris dan meledakkan bom waktu itu di salah satu rumah ibadah (gereja) di Medan, padahal di masa perang pun Rasulullah Muhammad SAW melarang merusak rumah-rumah ibadah agama apapun.
Sementara hal yang dilarang Nabi itu justru saya lakukan tidak di masa perang.
Sebagai perwujudan dari penyesalan itu, saya datang menemui Pastor Silverius, pimpinan Gereja yang pernah menjadi sasaran teror yang saya lakukan pada tahun 1976.
Dan, pernyataan maaf yang saya sampaikan kepada Pastor Silverius adalah pada tahun 1980, pada saat saya memperoleh izin libur berlebaran bersama keluarga.
Pertemuan itu terjadi di ruang kepastoran Pastor Silverius. Saat itu sang Pastor menerima uluran tangan saya, seraya menarik dan memeluk tubuh saya, dan berkata: “Semoga Tuhan meringankan hukuman saudara, dan saudara kembali dapat berada di tengah-tengah keluarga dan masyarakat.”
Sejurus setelah sang Pastor melepaskan pelukannya, sempat saya lihat mata sang Pastor itu berkaca-kaca karena terharu. Beliau mengantarkan saya sampai ke pintu gerbang kepastorannya.
Coba bayangkan bila Anda menjadi terpidana mati yang memperoleh izin keluar penjara tanpa pengawalan (meski dalam surat ijin disebutkan dikawal) selama beberapa hari, mungkinkah Anda kembali ke penjara pada waktu yang ditentukan, tanpa dijemput petugas, dan kembali sendiri?
Sebenarnya apabila hal yang dibicarakan orang-orang tertentu itu hanya menyangkut diri pribadi saya sendiri, rasanya tidaklah perlu saya menulis penjelasan ini.
Akan tetapi karena hal yang menjadi pembicaraan itu dikaitkan dengan kapasitas saya sebagai Ketua Umum Forum Umat Islam Sumatera Utara (FUISU), maka saya memutuskan untuk menulis penjelasan ini, sekaligus menyampaikan pokok-pokok pikiran yang berhubungan dengan kasus yang berkenaan dengan Masjid Al Ikhlas di Jalan Timor, Medan.
Dengan tulisan ini saya berharap pertanyaan yang dimunculkan dan dibicarakan di belakang saya selama ini, seperti, “siapa itu Timsar Zubil, dan apa pula maksudnya melawan Kodam, dan kenapa dia menentang pembongkaran Masjid Al Ikhlas, padahal sudah jelas masjid itu merupakan aset Kodam yang tidak pernah diwakafkan, dan kenapa FUISU keberatan?”
Sesungguhnya mudah ditebak bahwa tujuan memunculkan pertanyaan dan pembicaraan itu adalah sebagai upaya oknum tertentu untuk memecah belah soliditas umat Islam yang telah terpanggil hati nurani mereka untuk mempertahankan rumah Allah yang suci, ketika tempat ibadah yang sakral itu dihancurkan.
Fitnah itu dimunculkan melalui mulut orang-orang munafik yang tergiur oleh lembaran rupiah, sehingga tidak lagi merasa malu melihat dan mendengar rumah ibadah yang menjadi simbol agama yang dianutnya itu dinista dan diluluhlantakkan oknum-oknum tertentu.
Bahkan sepertinya, si munafik itu merasa bangga dan bersyukur karena Masjid Al Ikhlas telah dihancurkan.
Banyak Masjid Dihancurkan
Kejadian penghancuran rumah ibadah umat Islam, Masjid Al Ikhlas, bukanlah yang pertama kali terjadi di kota Medan. Beberapa hari sebelum Masjid Al Ikhlas dirobohkan, terlebih dahulu telah pula dihancurkan Masjid Raudhatul Islam, yang terletak dekat hotel Emerald Garden, di Jalan Komodor Yos Sudarso.
Kurang lebih 2 bulan sebelumnya, telah terjadi pula pembakaran atas Masjid Nur Hikmah dan Masjid At Taqwa, di Desa Aek Loba Asahan.
Sebelum itu, lagi-lagi sekitar hampir setahun yang lalu, Masjid Fi Sabillilah, di Porsea juga musnah dibakar oleh oknum-oknum tidak dikenal, setelah dua kali upaya pembakaran sebelumnya tidak berhasil, karena cepat ketahuan.
Dan, beberapa tahun sebelum itu, juga ada Masjid Jendral Sudirman di Padang Bulan yang dirobohkan. Selain itu, Masjid Al Hidayah di Gang Buntu, dan Masjid Ar Ridho, di Polonia juga dirobohkan. Pada umumnya di atas lahan masjid-masjid yang telah dihancurkan itu berdirilah bangunan-bangunan megah proyek kapitalis.
Status wakaf tidak masuk dalam pertimbangan penggusuran masjid-masjid tersebut. Status wakaf itu dibicarakan apabila pihak pengembang mendapat perlawanan dari masyarakat (jemaah masjid), dan untuk mengatasi perlawanan itu pengembang melakukan politik pecah belah.
Biasanya dengan mempengaruhi Nazir masjid dan orang-orang Islam yang awam dan lemah iman untuk membuat permohonan pembangunan masjid baru kepada pihak pengembang dengan alasan masjid lama sudah tidak layak sebagai tempat ibadah, atau karena sudah tidak ada lagi orang Islam di sekitar masjid tersebut.
Untuk itu pihak pengembang sebelumnya dengan berbagai macam cara terlebih dahulu telah “menggusur” pemukiman orang-orang Islam yang tinggal di sekitar masjid tersebut.
Peristiwa yang paling ironis adalah penghancuran Masjid At Thayyibah, di Jalan Multatuli Medan, pada tanggal 10 Mei 2007.
Penghancuran masjid ini dilakukan pada saat proses hukum mengenai status lahan Masjid At Thayyibah berdiri masih dalam proses kasasi di Mahkamah Agung, dan belum lagi diputuskan.
Lebih mengerikannya, proses penghancuran Masjid At-Thayyibah itu justru terjadi karena adanya Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) kota Medan, dan didukung “restu” dari pimpinan ormas Islam terkenal pula.
Puncak kesedihan yang mengiris hati umat adalah manakala penghancuran Masjid At- Thayyibah dilakukan oleh preman-preman bayaran dan dikawal oleh puluhan oknum aparat bersenjata lengkap.
Puncak dari kesedihan bagi umat Islam yang masih punya hati itu, semakin menggelegak manakala kejadian penghancuran ilegal atas Masjid At-Thayyibah dilaporkan kepada polisi (sampai ke Mabes Polri, dan secara khusus langsung kepada Kapolri), ternyata laporan yang sesungguhnya bukan delik aduan itu, sampai saat ini tidak pernah diproses oleh pihak Polri.
Tidakkah hal-hal ini perlu dipertanyakan dan didiskusikan?
Saat ini telah terlihat secara nyata wajah orang-orang munafik yang telah mati hatinya, mereka seolah-olah sudah tidak tersentuh lagi oleh tragedi penghancuran masjid-masjid di sekitar mereka. Lembaran rupiah telah membutakan mata hati mereka, sehingga mereka yang ketika berbicara dalam pidato, ceramah, atau khotbahnya selalu berapi-api membela agama, mendadak berubah dan menunjukkan sifat menjilat serta berjiwa pengecut saat menanggapi nasib rumah ibadah mereka sendiri yang diperlakukan secara hina.
Saya sendiri bukanlah seorang pemberani. Sejujurnya saya katakan, sebagaimana pernah saya kemukakan juga dalam pertemuan di Makodam I/BB pada tanggal 17 Maret 2011, bahwa dalam memperjuangkan Masjid Al Ikhlas saya merasa takut.
Bukankah saya berhadapan dengan Kodam I/BB yang memiliki kekuatan dan kekuasaan yang begitu besar? Akan tetapi karena para ulama dan ustadz telah mengajarkan kepada saya bahwa di dalam Al Quran Allah Swt melarang orang-orang beriman merasa takut selain kepada-Nya saja, maka saya coba-cobalah mewujudkan pelajaran yang saya terima dari para ulama dan ustadz itu.
Atas dasar itu pulalah saya dapat menuliskan penjelasan dan menyampaikan pokok-pokok pikiran ini. Harapan saya semoga umat Islam mengetahui bahwa upaya pembelaan terhadap Masjid Al Ikhlas dan masjid-masjid yang telah dirobohkan lainnya adalah untuk kepentingan agama dan umat Islam secara umum.
Hal ini telah menjadi komitmen Forum Umat Islam Sumatera Utara (FUISU) sebagai perwujudan kesadaran moral dan tanggung jawab atas kewajiban agama.
Alhamdulillah, kenyataan di lapangan selama ini, sejak Masjid Al Ikhlas dihancurkan, gerakan umat Islam di kota Medan untuk membela dan membangun kembali masjid Al Ikhlas di lahan semula terus meningkat, walaupun tanpa kehadiran saya.
Sejak tanggal 2 Mei 2011 saya berangkat ke Jakarta bersama saudara Irwansyah Gultom, S.H. dalam rangka mendaftarkan gugatan terhadap Menteri Agama di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, terkait persetujuan Menteri Agama Republik Indonesia atas pembongkaran Masjid Raudhatul Islam (yang memiliki sertifikat wakaf), di Jalan Komodor Yos Sudarso, Medan.
Untuk kedua kalinya (yang saya ketahui) MUI Kota Medan Pimpinan Prof. Hatta mengeluarkan rekomendasi/fatwa yang menyebabkan dihancurkannya dua rumah Allah yaitu, Masjid At- Thayyibah Jl. Multatuli pada tahun 2007, dan sekarang masjid Raudhatul Islam di Jl. Komodor Yos Sudarso, Medan.
Untuk melawan kezaliman itulah FUISU bersama ormas-ormas Islam dan elemen umat Islam yang lain akan tetap berjuang bersama-sama, ikhlas karena Allah semata.
Kronologis
Sebelum menyampaikan pokok-pokok pikiran, terlebih dahulu saya kemukakan bahwa Forum Umat Islam Sumatera Utara (FUISU) mulai terlibat dalam persoalan Masjid Al Ikhlas di Jalan Timor, Medan, berawal dari kedatangan Jama’ah Masjid Al – Ikhlas ke rumah saya untuk memberitahukan penutupan jalan masuk ke Masjid Al Ikhlas, karena telah dipagar dengan seng oleh pihak pengembang.
Saya diminta untuk membantu agar akses masuk ke Masjid Al Ikhlas dapat dibuka dan digunakan kembali. Saya lalu menelopon seorang teman dan minta tolong pada beliau untuk menyampaikan penutupan akses masuk ke Masjid Al Ikhlas itu kepada Pangdam I/BB.
Alhamdulillah keesokan harinya Pangdam I/BB, Mayjend. Burhanuddin Amin, langsung menanggapi, dan dengan didampingi oleh Komandan Kodim Kota Medan, beliau datang dan meninjau langsung ke lokasi Masjid Al Ikhlas tersebut.
Setelah melihat kebenaran informasi yang diterimanya, beliau menghubungi pengembang dengan telepon selularnya, serta memerintahkan pengembang agar pagar yang menutup akses masuk ke Masjid Al Ikhlas segera dibongkar kembali. Perintah tersebut dilaksanakan oleh pihak pengembang.
Dengan demikian, kegiatan beribadah di Masjid Al Ikhlas pulih kembali.
Pada tanggal 16 Juli 2009, Forum Umat Islam Sumatera Utara beraudensi kepada Pangdam I/BB yang langsung diterima oleh bapak Mayjend. Burhanuddin Amin di Makodam I/BB.
Dalam pertemuan silaturrahim yang diawali dengan saling tukar cendera mata itu, pembicaraan berlanjut kepada persoalan-persoalan agama dan masyarakat.
Pada kesempatan itu saya mewakili jama’ah Masjid Al Ikhlas menyampaikan ucapan terima kasih atas perhatian dan bantuan beliau membuka kembali akses masuk ke Masjid Al Ikhlas itu. Saya juga meminta kepada bapak Pangdam untuk berkenan memberikan payung hukum tertulis, agar keberadaan Masjid Al Ikhlas dapat dipertahankan oleh umat.
Atas permintaan saya itu Pangdam menjawab: “Sebelum meninggalkan Kodam I/BB nanti, saya akan serahkan Masjid Al Ikhlas kepada kaum muslimin di Sumatera Utara.”
Akan tetapi dalam audensi yang kedua pada tanggal 9 Desember 2009 Pangdam I/BB Burhanuddin Amin menyatakan bahwa sebagai prajurit beliau tidak mungkin bertentangan dengan kebijaksanaan atasannya.
Beliau harus menyerahkan Aset Kodam I/BB berupa Ex. Kantor Hubdam I/BB, termasuk masjid Al Ikhlas, kepada pihak pengembang yang telah memenangkan lelang. Selanjutnya beliau mengatakan: “….Tetapi bila nanti Masjid Al Ikhlas terpaksa dibongkar, terlebih dahulu akan dibangunkan masjid di dekat lokasi yang sekarang, yang minimal sama besarnya sebagai penggantinya. Saya tidak setuju kalau Masjid Al Ikhlas dipindahkan ke Namurambe, itu terlalu jauh, tidak mungkin jemaah masjid Al Ikhlas ini datang ke sana untuk melaksanakan sholat”.
Upaya Pembongkaran
Dengan latar belakang uraian di atas, FUISU menjadi sangat konsisten memperjuangkan keberadaan Masjid Al Ikhlas tersebut. Ketika masjid akan dibongkar oleh pihak Kodam I/BB pada tanggal 5 Februari 2011, (Kosen dan 200 lembar atas seng telah sempat di bongkar), saya menyampaikan kepada pengawas yang memimpin pembongkaran tersebut akan janji dari Pangdam I/BB terhahulu itu, di mana akan terlebih dahulu dibangun masjid pengganti yang baru, sebelum Masjid Al Ikhlas yang lama dibongkar.
Pengawas pembongkaran yang juga Prajurit Kodam I/BB itu mengatakan, tidak tahu adanya janji Pangdam tersebut, dan beliau ingin menanyakan kepada atasannya terlebih dahulu.
Setelah menghubungi atasannya dengan telepon selular, pengawas pembongkaran tersebut akhirnya memerintahkan kepada para tukang untuk menghentikan pembongkaran.
Selanjutnya, karena Nazir Masjid Al Ikhlas yang lama telah ditarik kembali ke kesatuannya, maka untuk mengisi kekosongan pengelolaan masjid Al-Ikhlas, FUISU berinisiatif bersama ormas-ormas Islam lainnya, yang sepaham dalam mempertahankan eksistensi Masjid Al Ikhlas tersebut, beserta warga setempat, mengadakan musyawarah dan memilih Nazir yang baru.
Saat itu saya terpilih dan dipercaya sebagai Ketua Badan Kenaziran Masjid (BKM) yang baru. Pemilihan dan pembentukan BKM yang baru mutlak harus dilakukan karena masjid adalah rumah Allah, milik semua kaum muslimin.
Apabila pengelola masjid (BKM) tidak ada maka akan terlantar dan tidak teruruslah rumah Allah tersebut. Jika hal itu sampai terjadi maka berdosalah semua umat Islam tanpa terkecuali.
Umat Islam Menolak Pembongkaran
Sebagai akibat upaya pembongkaran Masjid Al Ikhlas tersebut, berbagai pihak memberikan dukungan kepada FUISU dan ormas-ormas Islam untuk mempertahankan masjid itu, di antaranya dengan mengirimkan bendera/lambang ormas masing–masing untuk dipasang di pagar masjid.
Hal ini sekaligus menjadi bantahan atas pernyataan Aslog Kodam I/BB ketika Rapat Kerja di Aula DPRD Sumut bahwa hanya ormas FUISU saja yang tidak setuju atas pembongkaran Masjid Al Ikhlas.
Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Utara dalam pernyataan pers yang disampaikan langsung oleh Ketua MUI Sumatera Utara, bapak Prof. DR. Abdullah Syah, MA segera mengeluarkan fatwa bahwa Masjid Al Ikhlas adalah harta wakaf yang harus dipertahankan keberadaannya.
Hal yang sama juga dinyatakan oleh pihak DPRD Sumatera Utara, dalam Rapat Kerja di Aula DPRD Sumatera Utara, pada hari Senin, tanggal 14 Februari 2011. Saat itu turut hadir pihak Kodam I/BB, pengembang, FUISU, dan dari Komisi A dan Komisi E DPRD Sumatera Utara.
Pada kesempatan itu Ketua Komisi A DPRD Sumatera Utara, Drs. H. Hasbullah Hadi, S.H. meminta pihak pengembang untuk melepaskan lahan Masjid Al Ikhlas, dan bila perlu umat Islam siap membayar harga lahan tersebut.
Pihak pengembang dengan tegas menolak usulan Wakil Ketua DPRD Sumatera Utara itu, dengan mengatakan bahwa perusahaannya tidak akan pernah melepaskan aset yang sudah mereka miliki. Sementara Aslog Kodam I/BB, menegaskan pula bahwa Ruislag Ex. Kantor Hubdam I / BB telah sesuai prosedur dan hanya FUISU saja yang berkeberatan Masjid Al Ikhlas dibongkar.
Saya mewakili Forum Umat Islam Sumatera Utara dan Jema’ah Masjid Al Ikhlas, dalam kesempatan itu menyampaikan alasan penolakan FUISU atas pembongkaran Masjid Al Ikhlas.
Di bawah ini alasan-alasan tersebut saya gabungkan dengan alasan yang saya kemukakan dalam pertemuan pada tanggal 17 Maret 2011 di Makodam I/BB yang dipimpin oleh Kastaf Kodam I/BB.
Alasan-alasan FUISU:
1. FUISU menolak pembongkaran Masjid Al Ikhlas, karena menerima dan mengemban amanah dari jema’ah Masjid Al Ikhlas untuk mengusahakan agar Masjid Al Ikhlas tidak dibongkar.
2. Seperti telah diuraikan di atas, janji Pangdam I/BB untuk terlebih dahulu dibangunkan masjid yang sama besar dan bagusnya, di dekat Masjid Al Ikhlas, belum terlaksana. Adapun Musholla Al Abror di Jalan Gaharu yang dikatakan sebagai pengganti Masjid Al Ikhlas, selain tidak sesuai dengan janji Pangdam Mayjend. Burhanudin Amin, juga disebabkan renovasi musholla tersebut telah dihentikan sebelum selesai dikerjakan, atas perintah Manajemen PT. KAI. Dalam hal ini PT KAI tidak memberikan izin renovasi musholla tersebut.
3. Sesuai dengan Fatwa MUI Sumatera Utara, bahwa menurut ajaran Islam setiap masjid statusnya adalah wakaf. Meskipun pemilik lahan tidak mengikrarkan, tetapi telah mengizinkan dibangun masjid di atas lahan miliknya itu, maka statusnya adalah wakaf. Wakaf masjid tersebut tidak membutuhkan lafaz dari pemilik lahan. Karenanya bila telah dibangun masjid di atas lahan tertentu, secara otomatis lahan dan masjidnya berfungsi sebagai tempat ibadah dan sosial (kepentingan publik). Apalagi kenyataannya Masjid Al Ikhlas telah berusia puluhan tahun, yakni sejak tahun 1967.
4. Bahwa sertifikat Nomor : 847 yang diberikan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) kepada Departeman Pertahanan Republik Indonesia hanya berstatus hak pakai, dan tidak berstatus hak milik.
5. Perlu diperhatikan bahwa di dalam sertifikat tersebut ada tercantum ketentuan sebagai berikut:
“Apabila Hak Pakai ini akan dialihkan kepada pihak lain, harus terlebih dahulu memperoleh izin tertulis dari Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Utara, sesuai dengan Diktum ”keenam“ MEMUTUSKAN ”.
Hasil investigasi FUISU ternyata ditemukan belum ada persetujuan tertulis dari Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Utara, sesuai diktum ”keenam” itu.
Pokok-Pokok Pikiran
Pembongkaran Masjid Al Ikhlas akhirnya terjadi pada tanggal 3 Mei 2011, hari Selasa, dini hari. Dan hal ini telah menyentakkan hati umat Islam, khususnya di kota Medan, Sumatera Utara.
Berbagai pihak yang pada beberapa kasus penghancuran dan penggusuran masjid di masa lalu di kota Medan, tidak memberi komentar, dalam kasus Masjid Al Ikhlas telah mengeluarkan pernyataan dan sikap mengecam perobohan masjid tersebut.
Begitu juga dengan puluhan ormas Islam dan elemen umat Islam di Sumatera Utara, yang sebelumnya telah mengirimkan bendera atau lambang Organisasi mereka untuk dipasang di sekitar Masjid Al Ikhlas itu.
Bahkan MUI Sumatera Utara, melalui Ketua Umumnya, Prof. Dr. Abdullah Syah, MA mengeluarkan pernyataan bahwa pembongkaran Masjid Al Ikhlas hukumnya “haram”.
Kenyataan ini telah menggagalkan pembentukan opini untuk menolak mempertahankan masjid Al Ikhlas, yang telah dimotori “Ulama Kondang” Zulfikar Hajar, yang pada pertemuan di Makodam I/BB, terdaftar namanya dengan mengatasnamakan jabatannya di MUI kota Medan, padahal MUI Kota Medan sendiri tidak pernah memberikan mandat kepadanya untuk menghadiri pertemuan tersebut.
Apalagi untuk mengarahkan atau mempengaruhi para peserta pertemuan tersebut agar menyetujui pembongkaran Masjid Al Ikhlas. Jika dihadapkan dengan Fatwa MUI Provinsi Sumatera Utara dan MUI Kota Medan, rasanya pendapat Zulfikar Hajar yang nyeleneh dan mbalelo itu, tentu tidak ada apa-apanya.
Mungkin hanya segelintir kecil orang yang mau menerima uang Rp 700 juta yang masih mengelu–elukannya. Dan mereka itu termasuk golongan yang dimaksudkan Allah dalam Firman-Nya Al Quran S. Al Baqarah Ayat 114:
“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam mesjid-mesjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (mesjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat “.
Umat Islam yang cerdas dan memiliki hati nurani dengan amat mudah dapat membedakan mana loyang dan mana yang emas. Sudah barang tentu Fatwa MUI Sumatera Utara yang sejak tahun 1983 menyatakan bahwa setiap masjid adalah wakaf, dan status wakaf tidak membutuhkan lafaz dari pewakifnya, merupakan kebenaran yang dipercaya dan diterima orang-orang beriman, serta dilindungi oleh Konstitusi Negara Republik Indonesia.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapatlah disinpulkan bahwa:
1. Upaya mempertahankan, dan sekarang untuk membangun kembali masjid Al – Ikhlas adalah merupakan tanggung jawab moral dan kewajiban agama yang harus ditunaikan dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan karena Allah semata.
2. Karena status wakaf masjid Al-Ikhlas tidak dipertimbangkan dalam proses ruislag eks. Kantor Hubdam I/BB, serta tidak adanya izin tertulis dari Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Utara (bukan BPN Pusat), telah menyebabkan ruislag yang dilakukan oleh Kodam I/BB menjadi cacat hukum.
3. Pembongkaran masjid Al-Ikhlas yang dilakukan pada tengah malam/dini hari di mana para prajurit Kodam I/BB yang masuk ke dalam masjid untuk menggelandang para aktivis yang iktikaf tanpa membuka sepatu mereka, adalah merupakan pelanggaran hukum dan HAM.
4. Pembongkaran masjid Al-Ikhlas sebelum dibangunkan masjid pengganti yang sama besar dan sama bagusnya di lokasi yang dekat dengan masjid Al-Ikhlas, tidak sesuai dengan janji Pangdam I/BB sendiri.
Penutup
Ada cerita atau keterangan dari mantan Wakil Walikota Medan, Ir. Maulana Pohan, bahwa Masjid Dirgantara di Polonia Medan, pernah akan diruislag juga oleh pengembang dari pihak TNI Angkatan Udara. Akan tetapi rencana ruislag itu dibatalkan oleh pihak TNI Angkatan Udara, karena Pemerintah Kota Medan tidak menyetujui Masjid sebagai fasilitas umum (kepentingan publik) dibongkar.
Alangkah indahnya apabila penyelesaian Masjid Al Ikhlas dapat terjadi seperti Masjid Dirgantara di Polonia Medan itu. Dengan demikian DPRD dan MUI Sumatera Utara tidak akan merasa disepelekan karena pendapat, saran, dan fatwa mereka diabaikan begitu saja oleh pihak bersangkutan.
Sekarang, setelah Masjid Al Ikhlas rata dengan tanah, proses hukum tentulah menjadi satu-satunya pilihan. Sidang Pertama gugatan terhadap penghancuran Masjid Al Ikhlas telah dimulai pada hari Kamis tanggal 12 Mei 2011 di Pengadilan Negeri Medan.
Kepada umat Islam yang peduli dan cinta masjid diharapkan dukungan dengan menghadiri sidang-sidang di Pengadilan Negeri Medan itu.
Kami juga mengharapkan dukungan doa dari kaum muslimin agar Majelis Hakim yang menyidangkan perkara tersebut memutus perkara itu secara adil, dengan memenangkan gugatan umat Islam terhadap pihak Pangdam I/BB yang bertanggungjawab atas pembongkaran Masjid Al Ikhlas tersebut.
Janganlah merasa ragu, apalagi putus asa. Kita harus yakin bahwa keadilan itu masih ada, hanya saja harus diperjuangkan dengan usaha dan doa.
Hancurnya Masjid Al-Ikhlas sekarang ini bukanlah akhir dari segalanya. Mari kita ambil hikmah dari musibah yang terjadi. Kita galang soliditas persatuan dan kesatuan (persaudaraan) Umat Islam.
Kemudian kita rasakan dan kita jadikan musibah hancurnya Masjid Al Ikhlas sebagai peluang yang diberikan Allah SWT untuk kita mendapat kesempatan turut berjuang di jalan Allah sehingga Masjid Al Ikhlas dapat dibangun kembali di lokasi semula.
Rasa sedih, terluka, dan rasa marah, kita jadikan motivasi untuk memperkuat persatuan, dan mengoptimalkan usaha perjuangan.
Setiap hari Jum’at BKM Masjid Al-Ikhlas memfasilitasi kaum muslimin yang datang beramai-ramai menghadiri pelaksanaan ibadah sholat Jum’at yang sejak awal pembongkaran Masjid Al Ikhlas tetap dilaksanakan di depan reruntuhan bangunan Masjid Al-Ikhlas di Jalan Timor Medan.
Ucapan atau selebaran yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, yang mengatakan tidak sah sholat Jum’at di badan jalan Timor Medan, tepatnya di depan bangunan yang telah runtuh itu, disinyalir dilakukan oleh pihak-pihak yang berkhianat terhadap kepentingan umat Islam.
Di India, kaum muslimin puluhan tahun melaksanakan sholat Jum’at di bekas reruntuhan masjid Babri, Ayodhia, sampai saat ini. Dan, Alhamdulillah sekarang pihak-pihak yang terlibat penghancuran masjid Babri itu sudah mendekam di penjara, setelah rezim penguasa di India bertukar.
Begitu juga pada masjid Al-Aqsha, di Palestina. Manakala pihak Zionis Israil menutup akses masuk ke masjid Al Aqsha, maka kaum muslimin tetap melaksanakan sholat lima waktu dan sholat Jum’at di jalan raya dan sebagian halaman masjid itu, sampai akses dibuka kembali.
Insya Allah BKM masjid Al-Ikhlas tetap akan memfasilitasi pelaksanaan ibadah shalat jum’at di Jl. Timor Medan sampai masjid Al-Ikhlas dibangun kembali di lokasi semula. Semoga Allah SWT menolong dan meridhoi perjuangan kita. Amin.
* Penulis adalah Ketua Umum Foruma Umat Islam Sumatera Utara (FUISU)