Oleh: Fahmi Salim
Hidayatullah.com | BANGSA ini berhutang budi dan jasa yang besar kepada para ulama. Kalau kita mau jujur, perjuangan kemerdekaan bangsa ini diraih karena awalnya digelorakan oleh para ulama. Merekalah yang telah menggerakan umat untuk melawan penjajahan.
Peran mereka begitu besar sebagai guru bangsa, mewarisi tugas para nabi untuk memberi cahaya di tengah kegelapan, mengajak manusia untuk menyembah Allah Azza wa Jalla tanpa menyekutukan-Nya dan menebarkan kebaikan dan ilmu yang bermanfaat kepada sesama. Namun, rupanya tak mudah untuk menemukan sosok ulama yang penuh teladan di tengah masyarakat yang serba materialistis.
Beberapa waktu lalu, banyak ulama yang wafat. Sebelumnya, saya tak pernah mengalami begitu sering merilis poster takziah. Ada ulama yang wafat dalam usianya yang sudah sepuh, tapi ada juga yang masih muda seperti Syekh Ali Jaber, ulama asal Madinah yang gigih dengan gerakan sejuta hafidz Quran.
Tentu kita harus bersedih ditinggalkan oleh para ulama, karena teringat dengan sabda nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR: Bukhari dan Muslim).
Untuk menjaga umat berada dalam jalan yang lurus, maka para ulama harus hadir di setiap generasi. Tapi, sudahkah kita mempersiapkan generasi yang menjadi kader ulama di masa depan? Pertanyaan ini selain untuk diri saya sendiri, juga saya sampaikan kepada para ulama, yang diundang dalam Program Ngaji Syar’ie (NGESHARE), “Ngaji Dulu, Alim Kemudian.” Merekalah yang mengemban tugas dalam kaderisasi ulama ini, antara lain Ustadz Farid Ahmad Okbah, MA. (Pembina Yayasan Al Islam), KH Ghafar Ismail (Ketua Divisi Kaderisasi Ulama Majelis Tarjih PP Muhammadiyah), KH. Amin Mukhtar (Direktur Ibnu Hajar Institute, Persatuan Islam) dan Dr. Ahmad Zen Annajah (Wakil Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia). Simak selengkapnya di link berikut ini: https://youtu.be/1GpMHTc3OOI
Kata “ulama” disebutkan dalam Al-Qur’an seperti dalam surat Asy-Syu’ara ayat 197, yang menceritakan tentang ulama dari kaum Bani Israil, Mereka memahami isi kitab suci mereka (Taurat dan Injil), tapi tidak mengakui firman Allah yang mengabarkan tentang kedatangan nabi akhir zaman, penutup para nabi, yaitu Muhammad ﷺ. Itulah model ulama yang tercela dan buruk, karena telah menyembunyikan hakikat kebenaran.
Sedangkan dalam Surat Fathir Ayat 28, Allah berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَآبِّ وَالۡاَنۡعَامِ مُخۡتَلِفٌ اَ لۡوَانُهٗ كَذٰلِكَ ؕ اِنَّمَا يَخۡشَى اللّٰهَ مِنۡ عِبَادِهِ الۡعُلَمٰٓؤُا ؕ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيۡزٌ غَفُوۡرٌ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
Inilah model ulama ideal, yang ilmunya tentang hakikat penciptaan alam semesta mengantarkannya kepada rasa takut kepada Allah. Takut akan siksa-Nya, takut melanggar larangan-Nya, dan termotivasi untuk terus menerus mawas diri dan menaati segenap aturan hidup yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya.
Dalam ayat lain disebutkan kriteria ulama, bahwa tugas mereka, sama halnya dengan para Rasul, adalah menyampaikan risalah dari Allah, hanya takut kepada Allah ta’ala semata dan tidak takut kepada siapapun jua dalam misi tabligh risalah itu (Q.S. al-Ahzab: 39).
Ayat ini menjelaskan ciri utama yang dimaksud dengan ulama, yaitu mereka yang takut kepada Allah hingga sempurnalah penghambaan mereka. Menurut Ibnu Abbas seperti dinukil Ibnu Katsir dalam tafsirnya, ulama adalah orang yang mengetahui sesungguhnya Allah menguasai segala sesuatu, tidak menyekutukan-Nya dengan apapun, menghalalkan apa yang Allah halalkan, mengharamkan apa yang Allah haramkan, menjaga wasiat-Nya, meyakini pertemuan dengan-Nya dan meyakini bahwa Allah akan menghisab amal yang telah dilakukannya.
Padanan kata ulama sebenarnya banyak disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadist. Mereka adalah orang-orang yang berilmu yang disebut juga ‘ulul albab’ (Q.s. Ali Imran: 190) dan ‘ahlu dzikri’ (QS: Al-Anbiya: 7). Mereka memiliki kedudukan istimewa, karena disandingkan dengan para malaikat dalam persaksiannya terhadap keesaan Allah sebagaimana disebutkan oleh Ustadz Farid Okbah, mengutip surat Ali Imron ayat 18.
Wawasan keilmuan seorang ulama harus bisa dibuktikan. Merujuk pada pendapat Imam Azzahabi, seorang ulama harus menguasai 500 kitab yang berkaitan dengan ilmu syariat. “Jadi, ulama itu, bukan sekedar bisa berceramah,” tegas Farid Okbah. Ia harus menguasai ilmu agama secara lengkap hingga ia memiliki otoritas untuk berbicara tentang agama, sebagaimana dokter memiliki otoritas untuk bicara tentang kesehatan. (bersambung)>> klik <<2>>