Oleh: Fadh Ahmad Arifan
SELASA 9 Juni 2015 adalah tepat setahun umat Islam di Jawa timur kehilangan ulama kharismatik yang juga pengasuh Pondok pesantren Lirboyo-Kediri, KH. Ahmad Idris Marzuki.
Almarhum wafat di usia 74 tahun setelah menderita sakit karena faktor usia dan beberapa kali keluar masuk RSUD dr Soetomo. Dalam ingatan saya, terjadi “insiden” semasa kuliah S-1 di UIN Malang, dimana beliau pernah digosipkan meninggal dunia oleh salah seorang santrinya. Sontak saja teman saya yang juga alumni Lirboyo tidak percaya begitu saja dan bergegas menuju Surabaya guna memastikan keadaan beliau. Ternyata Kiai Idris hanya check up rutin di RSUD dr Soetomo.
Sejenak flashback mengenang sosok Kiai Idris, ada 5 point dalam catatan saya: Pertama, pernah menyampaikan tausyiah dalam rangka mendukung Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengeluarkan dekrit Presiden dan akan melawan siapapun yang berani melengserkan Gus Dur. Kedua, ketika beliau menanggapi dingin ancaman NU Tandingan yang digelindingkan Gus dur. Beliau komitmen akan mengamankan hasil Muktamar NU ke-31 di Boyolali, Jawa Tengah, yang memilih Rais Aam Dr. KH Sahal Mahfudz dan Ketua Tanfidziah PBNU KH Hasyim Muzadi.
Ketiga, menilai sosok Gus dur terlalu bebas pemikirannya. “Saya menilai, pemikiran beliau terlalu bebas seperti tidak ada batasan,” katanya seperti dikutip Antara News. Pemikiran bebas dari Gus dur seperti menyatakan semua agama adalah benar. Hal tersebut menurut Kiai Idris, kurang sesuai, karena semua agama mempunyai ketentuan masing-masing.
Keempat, Selama bersentuhan dengan politik praktis, Kiai Idris pernah bergabung di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) bersama Gus dur, meski begitu beliau kerap berseberangan sikapnya dengan cucu pendiri NU tersebut. Kiai Idris menganggapnya sebagai hal yang lumrah. Hal ini menurutnya kerap terjadi di antara para sesepuh NU. “Biasa perbedaan bagi yang sepuh-sepuh,” katanya.
Kelima, Kiai Idris ini termasuk yang kurang sepakat dengan rencana pengharaman rokok oleh MUI. Alasannya, asalkan tidak berbahaya bagi penggunanya.” (Majalah Hidayatullah edisi oktober 2008).
Di tahun 2014, beliau kembali ke PPP dan pernah saya lihat beliau memberi dukungan atas wacana pencapresan Suryadharma Ali di Aula Lirboyo sekitar bulan maret 2014. Sekitar awal bulan juni 2014, saya sempat membicarakan Kiai Idris dengan salah satu mahasiswa di STAI al-Yasini, Pasuruan. Saya tanyakan apakah beliau hadir saat Prabowo Subianto mengunjungi ke Ponpes terpadu al-Yasini di wonorejo, Pasuruan. Mahasiswa tersebut menjawab bahwa Kiai Idris hadir ke Pasuruan beserta para kiai dari Kediri seperti KH. Anwar Mansyur.
Di bidang pendidikan Islam, seperti tercantum dalam situs lirboyo.net, beliau berpesan kepada santri-santrinya:
Pertama, berusaha sekuat tenaga menamatkan jenjang pendidikan di pondok pesantren Lirboyo. Kunci kesuksesan belajar di Lirboyo selain mempeng (tekun) adalah harus menamatkan madrasah. Meskipun ketika mondok itu seperti tidak dapat apa-apa, namun jika tamat insya Allah ada nilai tersendiri.
Kedua, setelah tamat harus lebih memprioritaskan memperjuangkan ilmu dulu. Jika lebih mengutamakan bekerja dan menyepelekan mengamalkan ilmu, maka dia malah akan kesulitan menuai hasil maksimal (dalam mencari rejeki), sudah banyak sekali buktinya. Selain itu, ketika belajar di Lirboyo, jangan pernah merasa putus asa, apapun yang terjadi.
Satu lagi yang tidak boleh dilupakan, sewaktu tragedi penumpasan anggota dan simpatisan PKI tahun 1965, seperti yang ditulis Majalah Tempo edisi oktober 2012, Kiai Idris diamanahi oleh KH Makhrus untuk menjaga keamanan Ponpes Lirboyo sekaligus memastikan proses mengaji santri tidak terganggu. Kiai Idris juga memberi kesaksian bahwa tentara berada dibelakang tragedi itu.
Dari sini, saya bisa mengetahui Kiai Idris sudah kenyang akan pasang surut keadaan bangsa Indonesia. Beliau berperan sebagai pelaku sejarah, pendidik dan juga seorang yang sampai akhir hayatnya berkhidmat untuk warga Nahdliyin di Kediri dan sekitarnya. Nama besar beliau tidak perlu diragukan lagi. Kalau tidak percaya, jika Anda dicegat polisi nakal di Kediri, bilang saja “Saya santri Kiai idris dan mau sowan ke kediaman beliau,” Biasanya polisi tersebut urung “mencari-cari” kesalahan Anda.
Dalam hati kecil saya, saya berharap suatu saat bisa berziarah ke makam beliau. Kepada para santrinya maupun keluarga, sebisa mungkin menulis biografi hidup KH Idris Marzuki. Jangan sampai kejadiannya seperti Gus dur yang biografinya ditulis bukan oleh orang terdekatnya, melainkan oleh orang Asing (baca: Orientalis). Wallahu’allam bishowwab.*
Alumni Jurusan Studi Islam, Pascasarjana UIN Malang