Oleh: Fahmi Salim
Hidayatullah.com | COVID-19 telah mengubah banyak kebiasaan hidup manusia, termasuk dalam ritual ibadah. Selama bulan Ramadhan pada tahun 1441 H/2020 M, misalnya masjid yang biasanya diramaikan dengan jamaah, mulai dari buka puasa bersama, taraweh, iktikaf 10 malam terakhir Ramadhan, hingga berbagai kegiatan sosial keagamaan lainnya terpaksa dihentikan.
Masjid-masjid menjadi sepi. Sebagaian besar masyarakat menjauh dari tempat keramaian dan lebih banyak tinggal di rumah agar terhindar dari penyebaran wabah virus corona. Lembaga keagamaan, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan berbagai ormas Islam mengajak umat untuk melaksanakan ibadah di rumah.
Untuk shalat Jumat misalnya cukup diganti dengan shalat dzuhur di rumah. Ada juga yang berijtihad dengan menjalankannya secara daring, baik khutbah maupun shalat jumatnya. Meski saya termasuk yang tidak setuju dan menentang praktek ‘Jum’atan Online’ itu. Untuk shalat ied pun, banyak keluarga tetap menjalankannya di rumah masing-masing.
Tentu, jamaahnya hanya anggota keluarganya. Shalat ied di rumah, apalagi harus menjadi imam dan khatib menjadi pengalaman yang tak mungkin terlupakan seumur hidup. Para ayah terpaksa harus bisa mengimami shalat ied dan khutbah seadanya, yang penting lengkap syarat dan rukunnya.
Setelah memasuki era New Normal, masyarakat pun mulai terbiasa hidup berdampingan dengan situasi wabah. Tak ada lagi kecemasan dan ketakutan berlebihan. Masyarakat mulai terbiasa menyaksikan orang-orang di sekitarnya terpapar virus corona. Sebagian besar masyarakat memilih untuk kembali pergi ke kantor, tentu dengan tetap mentaati protokal kesehatan.
Masyarakat pun mulai memadati masjid-masjid untuk shalat berjamaah dan kajian keagamaan, walaupun tidak lagi merapatkan shaf dan selalu mengenakan masker. Petugas masjid pun selalu mengecek suhu tubuh jamaah yang masuk ke dalam masjid. Inilah salah satu ikhtiar manusia untuk terhindar dari wabah Covid 19.
Bagi umat Islam, tak ada satu pun peristiwa yang terjadi kecuali atas ijin Allah. Meski demikian, manusia disyariatkan untuk tetap berikhtiar semaksimal mungkin. Dalam berbagai kesulitan yang dihadapi manusia, Allah Ta’ala telah memberikan solusinya.
Allah telah menurunkan penyakit, termasuk Covid 19, namun Allah Ta’ala pula yang akan menurunkan obatnya, antara lain berupa ikhtiar manusia melakukan riset untuk menemukan obat wabah ini. Saat ini, vaksin Covid sudah ditemukan dan diharapkan bisa efektif membangun imunitas tubuh manusia untuk melawan virus ini.
Wabah ini sesungguhnya telah mengajari manusia banyak hal, salah satunya beriman terhadap semua takdir Allah, yang baik maupun yang buruk. Banyak hikmah yang bisa kita gali. “Karena Covid, saya jadi lebih banyak silaturahmi dengan banyak ustadz,” ungkap Ustadz Abdul Somad, yang lebih tenar dengan sebutan UAS ini. Jadwal tabligh akbar UAS selama pandemi Covid, bahkan lebih padat, karena bisa dilakukan secara online. Selepas Ramadhan pada tahun 2020 lalu, UAS pun menjadi salah satu tamu yang kami undang dalam program Ngaji Syar’ie (NGASHARE), “Ngaji Dulu, Alim Kemudian.” Dialog selengkapnya simak di link berikut ini:
Peran para ulama, ustadz dan tokoh masyarakat lainnya sangat dibutuhkan untuk menyadarkan masyarakat untuk tetap menjaga protokol kesehatan. Dalam sebuah pengajian daring UAS pun sempat memberi nasehat, “Saya sudah lebih sebulan mengisolasi diri. Sejak 16 Maret 2020, saya tidak lagi keluar rumah, kecuali untuk yang penting-penting saja.”
Sebagai seorang muslim, kita percaya dengan takdir Allah, tapi ikhtiar menjaga kesehatan, mematuhi protokol kesehatan seperti diserukan pemerintah dan dokter juga bagian dari syariat Islam.
Melaksanaan ibadah di masa pandemi berbeda dibandingkan dengan masa-masa normal. Tapi, tak berarti kita kehilangan kesempurnaan dalam ibadah. Menurut Ustadz Abdul Somad, Allah memberikan kemudahan dalam setiap pelaksanaan ibadah, bahkan memberi solusi jika hamba-Nya tidak mampu untuk melaksanakannya.
Misalnya, orang yang tidak mampu untuk berhaji atau umroh, diberikan solusi dengan melaksanakan shalat sunnah syuruq. Pahalanya disebutkan oleh Rasululloh shallallau alaihi wa sallam, sama dengan pahala haji dan umroh secara sempurna.
Surga itu memiliki banyak pintu. Orang-orang beriman bisa memasukinya dengan mengandalkan amal kebaikan yang berbeda-beda. Imam Malik rahimahulloh pernah mengatakan bahwa Allah itu membagikan amal, sebagaimana membagikan rezeki-Nya. Ada orang yang dimudahkan untuk bangun malam untuk shalat tahajud. Ada yang pula dimudahkan menjalankan ibadah puasa. Ada pula yang begitu gemar untuk bersedekah.
Bertaqwa itu memiliki batas kemampuannya. Namun, dalam menjauhi larangan Allah, kita harus total mematuhinya, sementara dalam menjalankan perintah-Nya, ada beberapa tahapan sesuai kadar kesanggupan sebagai manusia.
Allah Ta’ala berfirman
فَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ مَا ٱسْتَطَعْتُمْ وَٱسْمَعُوا۟ وَأَطِيعُوا۟ وَأَنفِقُوا۟ خَيْرًا لِّأَنفُسِكُمْ ۗ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِۦ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ
Yang artinya, “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah, dan infakkanlah harta yang baik untuk dirimu. Dan barang siapa yang dirinya dijaga dari kekikiran, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. At-Taghaabun : 16).
Ayat ini mempertegas, bahwa dalam beribadah kita tidak boleh berlebih-lebihan, dan memaksakan diri, tapi tidak boleh juga bermalas-malasan. Ayat ini jangan salah difahami, kita boleh memilih syariat yang ingin dijalankan dan yang ingin ditinggalkan sesuai dengan selera.
Dalam situasi tertentu karena alasan sosial politik, misalnya kita belum mampu menegakan hukum-hukum Allah secara sempurna. Tapi, bukan berarti mengingkari atau menolaknya. Karena, Allah Ta’ala memerintahkan untuk memasuki Islam secara kaafah (QS Al-Baqarah: 208).
Ayat ini berkaitan dengan kisah Abdullah bin Salam, seorang yahudi muallaf yang masih mempertahankan norma-norma agama terdahulunya, yang mengagungkan hari Sabtu dan mengharamkan daging unta, meskipun sudah memeluk Islam. Maka, Allah tegur dengan menurunkan ayat ini.
Seorang muslim itu harus sempurna aqidahnya, tidak boleh sinkretis mencampurkannya dengan keyakinan agama lain dan memasukan nilai-nilai budaya yang bertentangan dengan syariat Islam. Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah menggambarkan dalam sabdanya, keadaan manusia di akhirat kelak, ada yang berpakaian compang camping, ada yang bertelanjang dadanya, bahkan yang telanjang. Kondisi manusia menunjukan amal perbuatannya selama di dunia, apakah menjalankan syariat Islam secara kaafah, atau setengah-setengah. >> (BERSAMBUNG)>>> UAS dan Inovasi Dakwah