Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com |Ada semacam ketidakpercayaan khalayak saat namanya disebut jadi pilihan istana. Apa iya benar Ketua Umum GP Anshor, Yaqut Cholil Qoumas, atau biasa dipanggil Gus Yaqut, yang ditunjuk selaku Menteri Agama (Menag) RI, menggantikan Fachrul Razi.
Bahkan muncul anekdot, atau semacam apalah boleh disebut, yang lalu menganggap istana salah sebut nama. Harusnya Yahya Cholil Staquf, tapi keliru penulisan dengan Yaqut Cholil Qoumas.
Yahya adalah kakak dari Yaqut. Mereka putra dari almarhum KH Cholil Bisri, PP Roudhotut Tholibin, Rembang, Jawa Tengah. Dan kemenakan dari KH A. Mustofa Bisri (Gus Mus). Sejak kakek beliau, KH Bisri Mustofa, Yaqut menjadi yang pertama dari bani Bisri yang duduk sebagai menteri.
Sebelum resafel Kabinet Indonesia Maju jilid 2, nama Yahya Cholil Staquf memang muncul dan bahkan dianggap punya kans besar, dibanding nama-nama yang beredar waktu itu, untuk jabatan Menteri Agama RI.
Publik jadi terkejut dan terheran, justru nama sang adik yang dipilih, dan lalu melenggang menjadi Menteri Agama. Padahal sebelum itu nama Yaqut sama sekali tidak pernah disebut. Memang garis tangan tidak ada yang tahu.
Secara intelektual dan pemahaman keagamaan, Yahya Staquf lebih menonjol ketimbang sang adik. Tapi nama sang kakak tidak semenonjol sang adik, Yaqut, yang Ketum GP Anshor. Banser ada dibawa Anshor, acap membubarkan pengajian yang tidak sepemahaman dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah versinya.
Karenanya, tidak tahu persis apakah itu hanya sekadar kelakar atas ketidakpercayaan publik atas terpilihnya Yaqut, atau itu memang kisah sebenarnya, adanya kekeliruan penyebutan nama, yang lalu istana mustahil meralatnya.
Apa pun itu, ia sudah menjadi Menag yang mesti memerankan peran yang semestinya. Tentu memimpin kementerian semacam Kemenag, itu bukan semacam memimpin Ormas, yang terkadang bicara sekenanya dan cenderung politis pragmatis.
Memimpin Kemenag tentu merujuk pada aturan yang berlaku, menjaga ritme keberagamaan, dan itu tugas pokok yang seharusnya dilaksanakan. Jangan coba diutak-atik, yang itu sebenarnya bukan hal yang substantif.
Hal-hal demikian yang mesti dijaga, agar keseimbangan bisa terjaga. Kemenag memang bukan kementerian yang cuma milik agama Islam. Soal ini semua pastilah faham. Tapi saat Yakut menegaskannya, itu omongan kontra produktif. Kesan seolah ia akan jalankan Kemenag dengan asas pluralistik, yang itu seolah tidak dijalankan pendahulunya di Kemenag.
Sikapnya itu seolah mau mengoreksi kebijakan yang sudah turun temurun di Kemenag, lalu ia tampil untuk menegaskan, saya bukan menteri agama Islam, tapi menteri dari lima agama yang diakui. Pernyataan gagah-gagahan yang tidak sesuatu.
Narasi Kontroversial
Yaqut Cholil Qoumas, dilantik 23 Desember 2020, sehari setelah dilantik, ia membuat kebijakan kontroversial. Ia katakan, bahwa ia berencana mengafirmasi hak beragama warga Syi’ah dan Ahmadiyah.
Pernyataan seolah penuh heroik, bahwa ia tidak ingin kelompok minoritas Syiah dan Ahmadiyah terusir dari kampung halamannya. “Mereka adalah warga negara yang harus dilindungi,” ujarnya penuh semangat, (24 Desember 2020).
Sehari kemudian, bisa jadi karena ditampol sana-sini, ia menjelaskan, yang dimaksudkannya itu perlindungan yang diberikan adalah perlindungan sebagai warga negara yang memiliki hak yang sama.
Katanya, “Tidak ada pernyataan saya melindungi organisasi atau kelompok Syiah dan Ahmadiyah.” Tapi soal perlindungan pada warga negara, itu memang urusan negara, tidak semata urusan Kemenag.
Pernyataan kontroversial terbaru Yaqut lainnya, saat tengah membuka rapat kerja nasional (rakernas) Kemenag 2021, Senin (5/4). Saat memberi sambutan, ia mengatakan, pagi hari ini saya senang rakernas dimulai dengan pembacaan ayat suci al-Qur’an. Ini memberikan pencerahan sekaligus penyegaran untuk kita semua. Tapi akan lebih indah lagi jika semua agama diberikan kesempatan untuk memulai juga dengan doa menurut agamanya masing-masing.
Tidak sedikit yang lalu menanggapinya. Diantaranya, Buya Anwar Abbas, Wakil Ketua Umum MUI Pusat, yang mengatakan, bahwa Yaqut keliru menafsirkan asas toleransi. Ucapan salam pun, jika digabung dengan agama lain, itu namanya homogenisasi. Itu tidak mencerminkan pluralitas.
Buya Anwar juga mempertanyakan, apa urgensi membacakan doa agama tertentu, tetapi tidak ada penganutnya yang hadir dalam acara Kemenag.
Lalu keluarlah perkataan keras Buya Anwar, “Itu namanya Menteri yang menurut saya kehilangan akal, terlalu terobsesi oleh persatuan dan kesatuan. (Padahal) persatuan dan kesatuan itu tidak rusak oleh perbedaan.”
“Hilang akal” tentu bukan gila, tapi itu lebih bermakna bingung, mesti harus melakukan apa pada kesempatan yang dipunya. Maka kata hilang akal pantas disematkan pada siapa saja, yang asal bicara, tanpa mampu mengurai filosofi dari apa yang disampaikan.
Sepertinya kepemimpinan model ini marak muncul, bicara dulu pada publik, dan jika ada respons keras penolakan, maka keesokan harinya akan dibuat ralat penjelasan dari apa yang dimaksudkan dari ucapannya itu.
Kepemimpinan model ngeles ini muncul dari pemimpin yang mengumbar narasi kontroversial, tidak memahami fungsi kerja dari lembaga yang dipimpinnya. Dan itu bukan cuma di Kemenag, tapi di kementerian lain yang menterinya duduk pada bidang yang bukan kapasitas keahliannya. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya