Oleh: A. Kholili Hasib
MENYIKAPI fenomena kaum homo yang sedang ramai di media akhir-akhir ini, beberapa lembaga kenegaraan dan pakar psikiatri pun sudah memberi warning media-media yang mempromosikan budaya homo. Kita bergembira, ada kesadaran massal akan “horor kaum homo” ini, khususnya bagi anak-anak. Saya katakana horor, karena sudah memakan banyak korban anak di bawah umur dengan mengancam kejiwaan sang korban untuk masa depannya.
Dalam hal ini saya memang lebih cenderung menggunakan istilah homo (selanjutnya saya gunakan istilah ‘homoseks’) dari pada istilah LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transeksual) yang jamak kita gunakan selama ini.
Pertama, term homoseks menurut saya lebih singkat, jami’ wa mani’. Melingkupi pelaku seks sesama jenis baik sesama laki-laki maupun sesama wanita. Kedua, istilah gay masih mengandung makna lain selain berarti lelaki homoseks. Dalam bahasa Inggris gay bisa berarti “gembira”, “senang” dan lain-lain. Karena itu, dari pada makna itu (LGBT) diperdebatkan, lebih baik saya gunakan istilah yang tidak bisa ditafsir lagi.
Menyikapi pro-kontra kaum homoseks di Indonesia ini, seperti biasa ada saja aktivis Liberal yang mencari-cari justifikasi dari teks-teks agama dengan cara paksa. Dalam hal ini, kisah nabi Luth yang diceritakan dalam beberapa ayat al-Qur’an menjadi bahan diskusi.
Baru-baru ini, kelompok pro kaum homoseks menolak pendapat bahwa kaum nabi Luth diadzab oleh Allah Subhanahu Wata’ala dikarenakan perilaku homoseksualnya. Akan tetapi mereka diadzab karena dosa lain menentang dakwah nabi Luth. Sehingga, kelompok pro homoseks menolak kisah nabi Luth untuk dijadikan argumen pengharaman hubungan sejenis.
Sebetulnya, kisah kaum nabi Luth ini tidak perlu didiskusikan lagi. Ribuan tahun sarjana Islam dan Ulama telah membicarakan nya dengan tafsir yang sama. Ayat nya pun amat jelas sekali. Lalu tafsir, sejumlah hadis juga menerangkannya. Tak satu pun yang mempermasalahkan kisah kaum nabi Luth. Para sarjana Islam dan ulama ini bukan orang bodoh-bodoh.
Cukup banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan adzab Allah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam kepada kaum Nabi Luth atas perbuatan kejinya. Beberapa ayat saya kutipkan di sini. QS. Al-A’raf: 80-81 : “Dan (ingatlah kisah) nabi Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya: ‘Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah (kejahatan keji) yang belum pernah terjadi oleh seorang pun dari umat-umat semesta alam. Sesungguhnya kamu menggauli lelaki untuk memenuhi syahwat, bukan (menggauli) istri. Sebenarnya kamu adalah kaum berlebihan”. Kisah ini juga diulangi dengan redaksi yang sedikit berbeda pada QS. Al-Ankabut: 28-29, QS.Al-Naml: 45-55, QS. Al-Syu’ara: 156-66 dan lain-lain.
Baca: Faahisyah
Semua mufassir satu pendapat bahwa yang dimaksud fahisyah (kejahatan keji) dalam ayat-ayat tersebut adalah dosa homoseks. Di mana, perilaku homoseks ini belum pernah dijumpai pada umat-umat sebelum Nabi Luth. Sehingga, ayat tersebut menyebutnya perilaku ini sebagai perbuatan melampaui batas.
Batas-batas hubungan seks sudah jelas dalam diktum kitab suci dan ajaran para nabi. Laki-laki dengan perempuan dalam ikatan pernikahan. Tidak susah sebetulnya menangkap kisah kaum nabi Luth dalam ayat di atas. Tidak perlu ‘pisau’ metode hermeneutika yang merumitkan itu. Lihatlah kalimat …”Sesungguhnya kamu menggauli lelaki memenuhi syahwat, bukan (menggauli) istri..” Mereka ini tidak mau menggauli istrinya (berjenis kelamin perempuan) tetapi meluapkan syahwatnya kepada lelaki. Lalu apanya yang kurang jelas tentang kisah ini? (bersambung)
Penulis adalah Peneliti InPAS Surabaya