Tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia yakni beribadah pada Allah dan menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa kepadaNya
Oleh: Ali Mustofa
Hidayatullah.com | MEMBAHAS tentang pendidikan tentu adalah suatu yang urgent dan teramat penting bagi kebutuhan manusia. Di negri ini cukup beragam model pendidikan, baik itu yang secara formal, non formal, pendidikan berbasis agama, pendidikan umum, dst.
Semua jenis pendidikan tersebut mempunyai fungsi, tujuan dan cara-cara tertentu untuk mewujudkan visi dan misi dalam sebuah pendidikan tersebut. Namun kita terkadang tidak begitu memahami bagaimanakah tujuan pendidikan itu sendiri.
Sehingga ketika terjun dalam dunia pendidikan, baik sebagai pelajar maupun pengajar, seakan hanya menjalani rutinitas belaka.
Karena itu penting untuk untuk mengupas tentang goals pendidikan itu, wa bil khusus pendidikan Islam agar kita semakin memahami apa itu tujuan pendidikan dalam Islam. Serta tepat dalam mengambil langkah-langkah berikutnya. Sebuah tujuan dinyatakan berhasil jika tujuan itu tercapai. Namun di dalam Islam juga menghargai proses.
Tanpa menetapkan suatu tujuan, imbasnya ialah kegiatan atau usaha itu menjadi tidak terarah dan tidak jelas. Dan yang paling parah kegiatan itu bisa berhenti ditengah jalan. Maka tujuan pendidikan Islam juga harus jelas.
Goals pendidikan Islam
Beberapa ulama dan pemikir Islam merumuskan tentang seperti apa tujuan dari pendidikan Islam itu.
Pertama, Ibnu Khaldun berpendapat tujuan pendidikan Islam memiliki dua orientasi yaitu ukhrawi dan duniawi. Pendidikan Islam harus membentuk manusia seorang hamba yang taat kepada Allah dan membentuk manusia yang mampu menjawab berbagai problematika kehidupan dunia.
Kedua, Imam al-Ghazali menjelaskan tujuan pendidikan Islam ke dalam dua hal, yaknk membentuk insan paripurna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah dan supaya mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat. Imam Al-Ghazali, menyebutkan tujuan pendidikan Islam adalah bentuk kesempurnaan manusia di dunia dan akhirat. Manusia dapat mencapai kesempurnaan melalui ilmu sebagai wasilah supaya memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah.
Sementara itu menurut Prof Naquib al Attas, konsep pendidikan Islam pada dasarnya berusaha mewujudkan manusia yang baik, manusia yang sempurna sesuai dengan fungsi utama tujuan diciptakan. Yakni membawa dua misi sekaligus, yaitu sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah di bumi (khalifah fil ardhi).
Taqiyuddin berpendapat, setidaknya ada tiga tujuan pendidikan Islam. Pertama, adalah membentuk syakhsiyyah atau kepribadian Islam. Inilah elemen terpenting pendidikan Islam. Kedua, adalah untuk menanamkan tsaqafah Islam. Ketiga, mengajarkan life skill atau ilmu kehidupan.
Dari kesemua rumusan para ulama tersebut, bisa disimpulkan bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah menjadikan anak didik menjadi orang yang bertaqwa pada Allah, berilmu (ilmu ukhrawi maupun duniawi), berkepribadian Islam yakni pola pikir dan pola sikap (akhlak) yang islami. Dalam rangka menggapai ridha Allah Ta’ala.
Karena dalam pendidikan Islam sejatinya bukan hanya bertujuan untuk menjadikan manusia itu berilmu namun juga sekaligus mau mengamalkan ilmunya. Serta membimbing manusia supaya ikhlas dalam pengamalan.
Oleh karena itu, tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam yakni beribadah pada Allah, yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa kepada-Nya, dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan akhirat.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَا لْاِ نْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS: Az-Zariyat: 56).
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَ نْـتُمْ مُّسْلِمُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” (QS: Ali ‘Imran: 102)
Dalam menafsirkan ayat ini, Syaikh Abdurrahman As-Sa’di dalam tafsir As-Sa’di menjelaskan: “Ayat-ayat ini mengandung anjuran Allah kepada hamba-hamba-Nya, kaum mukminin agar mendirikan syukur atas nikmat-nikmat-Nya yang besar yaitu dengan bertakwa kepadaNya dengan sebenar-benar takwa, dan agar mereka menaatiNya dan meninggalkan kemaksiatan terhadap-Nya secara tulus ikhlas untuk-Nya, dan agar mereka menegakkan agama mereka dan berpegang teguh kepada tali itu (yaitu agama dan kitab-Nya) sebagai sebab antara mereka dengan-Nya, serta bersatu dengan berpedoman pada agama dan kitab-Nya dan tidak saling bercerai berai, dan agar mereka selalu konsisten atas hal itu hingga mereka meninggal”.
Dan Allah memerintahkan mereka untuk menyempurnakan kondisi seperti ini, dan sebab terkuat yang membantu mereka menegakkan agama mereka adalah keberadaan sekelompok dari mereka yang bergerak dengan jumlah yang cukup, “yang menyeru kepada kebajikan,” yaitu berupa pokok-pokok agama, cabang-cabang, dan syariat-syariatnya, “menyuruh kepada yang ma’ruf,” yaitu sesuatu yang diketahui nilai buruknya secara syariat maupun akal, “dan mencegah dari yang mungkar,” yaitu sesuatu yang diketahui nilai buruknya secara syariat maupun akal, “dan merekalah orang-orang yang beruntung,” orang-orang yang mendapatkan segala yang diinginkan dan selamat dari segala yang dikhawatirkan.
Termasuk dalam kelompok tersebut adalah para ulama dan para pendidik, orang-orang yang bergerak dengan berkhutbah, berceramah, dan memberikan nasihat kepada manusia secara umum ataupun khusus serta orang-orang yang mengingatkan orang lain, yang bertugas mengontrol manusia dalam pelaksanaan shalat lima waktu, penunaian zakat dan penegakan syariat-syariat agama, serta melarang mereka dari segala kemungkaran. Oleh karena itu, setiap orang yang menyeru manusia kepada kebaikan secara umum atau secara khusus, atau dia memberikan nasihat kepada masyarakat umum atau kelompok khusus, maka dia termasuk dalam ayat yang mulia tersebut”.
PR dunia pendidikan saat ini
Tak bisa dipungkiri, saat ini tidak sedikit institusi pendidikan telah berubah menjadi industri bisnis, yang memiliki visi dan misi yang pragmatis atau jangka pendek. Lebih utamanya jika kita membahas pendidikan secara umum.
Alhasil, arah pendidikan sebatas untuk melahirkan individu-individu pragmatis yang bekerja untuk meraih kesuksesan materi dan profesi sosial yang akan memakmuran diri, perusahaan maupun Negara. Pendidikan masuk pada tataran ekonomis saja dan dianggap sebagai sebuah investasi berharga. Perolehan gelar akademik menjadi tujuan utama, yang agar segera di raih untuk mendapatkan pundi-pundi keuntungan.
Output dari mekanisme pendidikan seperti ini sekalipun meluluskan anak didik yang memiliki status pendidikan yang tinggi, namun status tersebut sulit menjadikan mereka sebagai pribadi-pribadi yang menjadi gambaran ideal tujuan pendidikan Islam.
Laporan KPAI dari survei yang dilakukannya tahun 2007 di 12 kota besar di Indonesia tentang perilaku seksual remaja sungguh sangat mengerikan. Hasilnya seperti yang diberitakan SCTV adalah, dari lebih 4.500 remaja yang di survei, 97 persen di antaranya mengaku pernah menonton film porno.
Sebanyak 93,7 persen remaja sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas mengaku pernah berciuman serta happy petting alias bercumbu berat dan oral seks. Yang lebih menyedihkan lagi, 62,7 persen remaja SMP mengaku sudah tidak perawan lagi.
Bahkan, 21,2 persen remaja SMA mengaku pernah melakukan aborsi. Data ini dipublikasikan pada tahun 2007. Lantas bagaimana dengan kondisi dewasa ini?
Data INICEF pada tahun 2016 lalu juga menunjukkan bahwa kekerasan kepada sesama remaja di Indonesia diperkirakan mencapai 50 persen. Menurut peneliti pusat studi kependudukan dan kebijakan (PSKK) UGM, tingkat kenakalan remaja kenakalan remaja yang hamil dan melakukan upaya aborsi mencapai 58 persen.
Tak hanya itu, bebagai penyimpanan remaja, seperti narkoba, miras dan berbagai hal lainnya menjadi penghancur generasi bangsa hari ini. Belum lagi jika menengok kemerosotan dalam sektor yang lain seperti halnya maraknya korupsi, besarnya angka kriminalitas, dsb.
Sejatinya model pendidikan seperti itu merupakan pengaruh dari paradigma pendidikan Barat yang sekular. Dalam budaya Barat sekular, tingginya pendidikan seseorang tidak berkorespondensi dengan kebaikan kepribadian anak didik.
Dampaknya, kaum muslim yang mengenyam pendidikan ala sekuler ini adalah cukup banyak dari kaum muslim yang memiliki pendidikan yang tinggi, tapi masih lemah dalam keimanan dan ketaqwaan serta menjadi manusia yang kurang peka dalam menyikapi problematika umat dan minimnya rasa dan sikap pembelaan terhadap agama.
Maka pendidikan yang berbasis Islam bisa menjadi solusi. Meski lembaga pendidikan Islam juga mesti berjibaku dengan keadaan.
Dalam khazanah pendidikan dalam peradaban Islam memang negara tidak membiarkan berbagai stakholder untuk berjuang sendiri. Namun sepenuhnya dalam tanggung jawab negara, baik itu dalam segi pembiayaan sampai penataan kurikulum agar terjaga dari pengaruh-pengaruh pemikiran yang dapat membahayakan aqidah pendidik maupun peserta didik.
Upaya menuju tujuan ideal dari pendidikan Islam yakni menjadikan manusia bertaqwa inipun juga tidak hanya dibutuhkan kondisifitas hanya dalam sektor pendidikan saja, melainkan juga butuh ditopang dalam sektor lain. Seperti sektor budaya, politik, ekonomi, sosial, dst.
Contohnya bagaimana fakta di lapangan, budaya-budaya barat hedonis yang tentu tidak kondusif bagi keimanan & ketaqwaan seorang muslim, tidak adanya pemerataan kesejahteraan karena penerapan sistem kapitalisme dapat mendorong manusia untuk berbuat yan melanggar syariah guna mencari solusi instan. Sehingga hal ini tentu butuh diberi solusi yang komprehensif.
Ada sebuah kaidah:
أصلح المجتمع يصلح الفرد ويستمر إصلاحه
“Perbaikilah masyarakat, niscaya individu akan menjadi baik, dan terus menerus dalam keadaan baik”
Namun meskipun belum dalam keadaan ideal tentu upaya untuk mewujudkan tujuan pendidikan Islam sangat perlu untuk terus digalakkan semaksimal mungkin. Guna melahirkan anak didik yang beriman dan bertaqwa.
Kesimpulan
Pendidikan Islam merupakan diantara hal terpenting dalam kehidupan manusia. Dengan pendidikan kita akan memiliki tsaqofah untuk keberlangsungan hidup kita.
Sebagaimana kata Imam Ahmad Bin Hanbal Rahimahullah: “Manusia butuh ilmu, lebih dari butuhnya mereka terhadap makan dan minum, karena dalam sehari manusia butuh makan dan minum hanya satu atau dua kali, sedang kebutuhan terhadap ilmu adalah di setiap hembusan nafas.” (Madarijus Salikin).
Meskipun saat ini hidup dalam zaman kapitalisme-sekuler , kita juga tidak boleh meninggalkan kewajiban meuntut ilmu karena ini sebagaimana yang telah disebutkan oleh para ulama hukumnya fardhu. Ilmu-ilmu agama hukumnya fardhu ‘ain, ilmu-ilmu umum yang bermanfaat hukumnya fardhu kifayah.
Syahdan, dalam segala keterbatasan penyelenggara pendidikan yang ada, manakala penyelenggara pendidikan mampu mewujudkan tujuan dari pendidikan Islam tersebut, maka mesti bersyukur dan layak untuk mendapat apresiasi yang tinggi. Optimis, insyaAllah kita bangkit. Karena masa depan milik kita. Wallahu A’lam.*
Penulis mahasiswa pascasarjana IIM Surakarta