Pihak berwenang Prancis membubarkan penerbit Islam dan beralasan itu dikarenakan buku-buku yang diterbitkannya “membenarkan jihad”
Hidayatullah.com — Menteri Dalam Negeri Gerald Darmanin mengumumkan keputusan itu dalam tweetnya, mengatakan: “Saya sudah memulai prosedur pembubaran penerbit Islam ‘Nawa’, khususnya karena mendistribusikan beberapa buku yang melegitimasi jihad. Aset-aset perusahaan dan pemiliknya juga sudah dibekukan.”
Pemerintah Prancis menuduh kantor penerbit Islam tersebut punya kebijakan editorial yang “jelas-jelas anti-universalis dan bertentangan dengan nilai Barat.”
Di situs resminya, penerbit Nawa menyebut lembaganya memiliki tujuan untuk “mempromosikan ilmu kemanusiaan dan politik yang lahir dari warisan Islam”. Serta “berkontribusi pada revitalisasi disiplin ini dengan mempelajari dunia dan sains Barat, ideologi dan doktrin politik modern.”
Belum jelas buku apa yang disebut pemerintah “membenarkan jihad” dan sementara situs Nawa Editions tidak dapat diakses. Namun buku-buku yang tersedia untuk dijual di halaman Facebook Nawa nampaknya adalah buku agama biasa.
Seperti buku-buku lain yang ditemukan di toko buku Islam, tentang Al-Quran, Hadits, sejarah Islam, serta tokoh politik Islam seperti Sayyid Qutb.
Organisasi advokasi CAGE mengklaim buku yang “membenarkan jihad” yang dimaksud adalah biografi Khalid Bin Walid, RA.
Nawa Editions mengatakan tuduhan itu tidak berdasar dan keputusan itu murni politis.
“Seperti yang Anda ketahui melalui media, organisasi kami berada di bawah ancaman pembubaran karena alasan politik murni,” kata Nawa Editions dalam sebuah pernyataan. “Sayangnya kami telah menyaksikan peristiwa baru-baru ini dan arah yang diambil model politik Prancis yang mengekspresikan dirinya dalam pembubaran sewenang-wenang. Tapi ini yang pertama – pembubaran sebuah penerbit. Buku dan terjemahan kami berada di garis bidik. Tapi kami dan ribuan pembaca kami tahu betul bahwa tuduhan ini tidak berdasar.”
Selama setahun terakhir, pihak berwenang Prancis telah menutup lembaga amal Islam terbesar di negara itu. Selain itu organisasi anti-Islamofobia juga menjadi sasaran penutupan karena dugaan ekstremisme.
Imam dan lembaga pengelola masjid juga tidak luput dari tindakan berlebihan pemerintah Prancis.
Idriss Sihamedi, kepala badan amal Islam BarakaCity, mengatakan: “Pemerintah sudah menjadi radikal. Kami menghadapi ideologi yang hanya ingin memerangi Islam dan Muslim, untuk mengatur Islam dan Muslim. Serta menjatuhkan hukuman administratif pada keduanya.”*