Oleh: Muhammad Saad
PROF. Dr. Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki dalam bukunya “Pemahaman yang Harus Diluruskan” mengatakan bahwa tasawwuf sering dipandang negative oleh sebagaian Muslim. Sufi dengan tasawwufnya adalah bukan bagaian ajaran Islam, oleh karenanya ia adalah bid’ah dholalah.
Padahal hakikat benih-benih ajaran tasawwuf banyak bertaburan dalam al-Qur’an. Menurut Dr. Syamsuddin Arif (peneliti INSIST) banyak bertaburan ayat-ayat yang mengajarkan zuhud, dzikir, tawakkal, mengutamakan kebahagiaan akhirat, pertemuan dengan Allah, dan lain sebagainya, yang semuanya ini adalah bagaian dari konsep tasawwuf.
Masih menurut Dr. Syamsuddin Arif, justru pernyataan yang mengatakan bahwa ajaran para sufistik ini tidak dari rahim Islam adalah pendapat dari para orientalis. Adalah Margareth Smith seorang orientalis yang menyatakan bahwa tasawwuf produk samping dari persinggungan antara Islam dengan tradisi agama-agama tua sekelilingnya semisal Yahudi dan Keristen.
Kemudian Alferd von Kremer, R.C orientalis yang beranggapan bahwa tasawwuf lahir dari ajaran Upanishad dan Vedanta Hindu. Ignaz Goldziher dengan teorinya bahwa tasawwuf pengaruh ajaran Budhaisme karena mengajarkan perilaku menolak keduniaan atau asketisme dan pola hidup sederhana.
Dan masih banyak teori orientalis lainnya semisal tasawwuf hasil dari akulturasi budaya Helenisme, tasawwuf wujud reaksinasionalisme Arya terhadap dominasi bangsa Smit dan terakhir bahwa sufisme adalah amalgasi (percampuran) dari ajaran India (Budha dan Hindhu), Persia (Zoroastrianisme), Nashrani, Neo Platonisme, Pseudo-Ariestotelisme, dan Gnotisisme, hasilnya adalah Singkretisme. (Dr. Syamsuddin Arif, Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran,hal. 58)
Hakikat Sufisme
Beberapa kutipan pernyataan ulama ahli sufi di bawah ini akan menunjukkan bahwa tasawwuf adalah ajaran sah dan bagaian dari Islam.
Tasawwuf sendiri menurut Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad adalah hijarahnya seorang hamba dari akhlak tercela menuju akhlak mulia. Seorang sufi kamil (sempurna) adalah orang yang membersihkan amal, perkataan, niat dan akhlak dari riya’, dan segala yang dapat menimbulkan murka Allah, pun pula pendekatan dhohir dan bathin kepada Allah. (Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad, Nafaisu al-uluwiyyah fi al-masail al-shufiyyah wat takhafu al-saail bi jawab al-masaail, hal 103),
Sayid Muhammad alwi al-Maliki ulama muhadits menyatakan: “Kami mengenal tasawwuf sebagai madrasah ilmiah dan ilmu pengetahuan. Tassawuf juga merupakan metodologi, praktik tasawwuf adalah wawasan tertinggi dari khazanah pemikiran Islam.Tasawwuf juga merupakan sisi yang sempurna dari peradabandan cita-cita Islam.Ia juga merupakan gambaran kesempurnaan keimanan dan berbagaisisi kehidupan Muslim”. (Prof. Dr. Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, Pemahaman yang Harusdiluruskan, hal. 67)
Al-Imam Junaid al-Baghdadi imam para sufi berkata: “semua jalan telah tertutup bagi makhluk kecuali mereka yang mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam, Sunnahnya, dan setia pada jalan yang ditempuh beliau. Karena semua jalan kebaikan terbuak untuk beliau dan mereka yang mengikutinya.” (Al-Hafidz Abi Ahmad bin Abdillah al-Ishhafani, Hilyahal-Auliya’wa Thaqat al-Ashfiya’)
Syeikh Dzunnun al-Mishri berkata: “Pokok pembicaraan tasawwuf ada empat yaitu, cinta kepada Allah yang Maha Agung, benci kepada dunia, mengikuti al-Qur’an, khawatir menjadi manusia tercelaka dan takut menjadi kafir”.
Abu yazid al-Bustami berkata: “Jika engkau memandang seseorang diberi kelebihan hingga mampu terbang ke udara, janganlah engkau tertipu sampai engkau melihat bagaimana sikapnya kepada perintah dan larangan Allah, menjaga batas-batas yang digariskan Allah dan pelaksanaan terhadap syariah.” Inti tasawwuf ialah istiqamah pada adab syariah dengan dalil yang shahih (istiqamah ‘alaadabi al-syariah al-tsabitati bi al-adillati al-shahihati). (Syaikh Hasyim Asy’ari, “al-Duraru al-Muntatsiru fi al-Masaail al-tis’a ‘asyarah”,hal. 06)
Dari beberapa pernyataan para ulama sufi di atas dapat disimpulkan; bahwa hakikat sufisme adalah sebuah metode beribadah kepada Allah dalam rangka menuju ridho Allah, dengan meningkatkan kwalitas tuntunan syariah yang ada. Menurut Dr. Ugi Suharto (Pendiri INSIST), mereka (para sufi) berusaha menerapkan ajaran syariah sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam baik dhohir maupun bathinnya.
Justifikasi Psuedo Sufi
Pendapat negative dan tendensius Orientalisme tentang ajaran sufi di atas ironisnya diamini oleh sebagaian kelompok yang mengklaim dirinya bagian dari sufi. Sebagaian dari mereka berpendapat bahwa tasawwuf dibangun di atas konsep cinta humanistik, perdamaian dan toleransi.
Bagi tareqat yang demikian, akidah agama dipinggirkan, diganti dengan nilai-nilai humanisme.Yang terpenting bagi aliran tasawwuf ini adalah cinta, damai dan toleransi selalu terwujud, meski akidah hasrus digadaikan. Ujung dari aliran tassawwuf ini adalah pluralism. Aliran tassawuf ini menjustifikasi kebenaran teori Orientalisme yang berasumsi bahwa sufisme adalah amalgasi dari ajaran Hindu, Budha, Zoroastrianisme, Nashrani, Neo Platonisme dan Gnotisisme.
Sebagian kelompok lagi berkeyakinan bahwa apabila seorang sufi sudah mencapai puncak kecintaan kepada Allah, dan hatinya jernih selalu mengingat kepada Allah tanpa sedikitpun lupa, sehingga ia bisa memilah antara iman dan kufur, maka ia terbebas dari menjalankan syariat perintah dan larangan Allah. Mereka juga berkeyakinan bahwa Allah tidak akan memasukkan ia ke neraka sebab dosa besar yang ia lakukan.
Mereka berkata, “Kita sudah tidak lagi melaksanakan ibadah dhohir, adapun ibadah kita adalah ibadah dengan berfikir dan melaksanakan kebaikan akhlak batin.
Sebagain lagi berkeyakinan bahwa para sufistik bisa ber-hulul dan ittihad (Allah bisa bertempat pada diri makhluk). Juga ada yang berkeyakinan bahwa adanya proses reinkarnasi (tanasukh al-arwah), dan pindahnya arwah ke alam keabadian dalam diri seseorang dari badan yang satu ke badan yang lain.
Tiga contoh golongan sufi menyimpang di atas adalah bukti justifikasi ajaran sufi atas teori Orientalisme terhadap sufisme. Oleh karenanya mereka bukanlah sufi yang sejati, tapi tidak lebih dari pseudo sufi (sufi palsu).
Menurut Syaikh Hasyim Asyari dalam Kitab Risalah Ahlus Sunnah wal Jamaah, kelompok kedua dari pseudo sufi adalah golongan ibahiyyun. Yaitu golongan menyimpang yang membolehkan untuk meninggalkan kewajiban syariat. Menurut Syeik Muhammad dalam Syarah Ihya’ golongan demikian ini hukumnya sesat, zindiq dan kufur.Sedangkan golongan ketiga adalah bodoh-bodohnya sufi dan hukum mereka adalah kufur nyata (kufr sharih).
Kesimpulan
Hakikat ajaran sufi memiliki landasan dasar yang kuat dalam sumber hukum Islam, oleh karenanya ulama salafas sholih melaksanakanmya. Gambaran negative tentang sufisme yang gaungkan sebagaian kelompok anti sufi adalah buah karya teori tendensius para Orientalisme. Namun tidak dapat dipungkiri ada golongan sufi menyimpang yang mengamini teori orientalis tersebut. Oleh karenanya mereka yang mengamini teori Orientalisme terhadap ajaran sufistik bukanlah sufi, melainkan pseudo sufi. Wallahu ‘a’lam bi shawwab.*
Penulis adalah Alumni PP. Aqdamul Ulama’ Pasuruan, Mahasiswa Tingkat Akhir Sekolah Tinggi Uluwiyyah Mojokerto