Oleh: Umar Hadi
UMUMNYA para ulama menjelaskan hadits sebagai laporan otentik yang disandarkan kepada Nabi. Baik meyangkut perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun karakter beliau. Agar laporan itu otentik maka para ulama mengembangkan ilmu hadits; sebuah disiplin ilmu yang dijadikan pisau analisis untuk memilah mana hadits yang shahih yang bisa diamalkan dan mana yang dhaif yang tidak bisa diamalkan dan dijadikan hujjah dalam pokok-pokok agama.
Sementara Nabi Muhammad sebagai penerima pesan-pesan ketuhanan bertindak sebagai penafsir dan penjelas Al-Qur’an (QS: An-Nahl: 44), dari sini dapat dipahami bahwa salah satu fungsi hadits adalah menafsirkan Al-Qur’an dalam praktik atau penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal. Inilah yang dimaksud oleh Aisyah RA bahwa akhlaq Nabi adalah Al-Qur’an. Karena itu siapapun yang ingin mengetahui tentang metodologi praktis Islam dengan segara karakteristik dan pokok-pokok ajarannya, maka hal itu dapat dipelajari secara rinci dalam Sunnah Babawiyah (lihat al-Qardhawi: Kaifa Nata’amal Ma’a as-Sunnah: 2004).
Dengan demikian, secara meyakinkan dapat dikatakan bahwa hadits merupakan sistem hidup (minhajul hayah) terperinci bagi kehidupan pribadi, masyarakat, bangsa dan Negara. Sehingga logis jika manusia butuh berinteraksi, mempelajari dan mengamalkan hadits.
Jadi, mempelajari hadits Nabi bukalah sekedar kewajiban belaka, melainkan juga juga kebutuhan yang bersifat primer. Fakta inilah yang mendorong para sahabat, sebagai generasi pertama yang menerima hadits dari Nabi, mencurahkan semua energi intelektual mereka dalam memelihara hadits, mulai dari aktivitas menghafal dan mencatat hadits.
Aktivitas menghafal dan pencatatan hadits pada jaman Nabi merupakan fakta historis yang tak terbantahkan berdasarkan riwayat-riwayat yang jumlahnya hampir mencapai derajat mutawatir (lihat Nuruddin al-Ither: Manhaju an-Naqdi Fi Ulum a-Hadits).
Karena itu tuduhan orientalis yang menyatakan bahwa pada saat Nabi masih hidup tidak ada aktivitas pencatatan hadits merupakan sikap yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Dalam konteks hadits dijadikan sebagai pedoman hidup (way of live), hadits-hadits yang dipelajari tersebut haruslah shahih. Dalam ilmu hadits, sebuah hadits dikatakan shahih jika telah lolos uji dalam kritik ekternal (kritik sanad) maupun kritik internal (kritik matan).
Kritik sanad merupakan upaya pelacakan terhadap otentisitas dan orisinalitas hadits, bahwa hadits tersebut benar-benar dari Nabi.
Sedangkan kritik matan adalah salah satu upaya mendapatkan pemahaman yang benar terhadap kandungan makna hadits. Sementara itu, karena penyeleksian dan kodifikasi hadits relative sudah selesai dilakukan oleh para ulama terdahulu, maka untuk keperluan praktis, yang harus kita lakukan hanyalah merujuk kepada kitab-kitab hadits yang sudah dikodifikasi oleh para ulama hadits, misalnya Shahih Bukhari, Shahih Muslim dan kitab hadits lainnya (dikenal dengan nama Kutubut Tis’ah), dengan seluruh penjelasannya oleh para ulama yang otoritatif.
Hal ini dimaksudkan agar manusia mendapatkan pencerahan intelektual, spiritual dan moral dari hadits yang shahih dari Rasulullah.
Dalam jaman teknologi sekarang ini, akses terhadap kitab-kitab hadits sudah demikian mudahnya. Karena itu, jangan sampai lagi ada diantara kita, khususnya para khatib dan da’i, menyampaikan hadits-hadits yang lemah secara sanad maupun lemah secara matan (konten hadits), apalagi menyampaikan hadits yang maudhu’ (palsu) dan menyandarkannya kepada Nabi.
Ibnu Hajar al-Haitsamiy, seorang faqih dari Mazhab Syafi’i, secara terang-terangan pernah menuntut penguasa pada jamannya agar melarang setiap khatib yang tidak menjelaskan takhrij hadits yang dibawakannya atau mencampur hadits-hadits shahih dengan kebatilan.
Bahkan dia mengeluarkan fatwa bahwa para khatib yang tidak mampu menunjukkan sumber haditsnya (yang menunjukkan haditsnya lemah atau palsu) maka harus dita’zir (diberikan hukuman menurut undang-undang Negara).
Apa yang diinginkan oleh fatwa itu adalah agar setiap para khatib dan da’i memiliki tanggung jawab intelektual dan kesadaran ilmiah yang jujur dalam menyampaikan hadits ke ruang publik.
Dalam konteks ini, mempelajari ilmu hadits merupakan kewajiban bagi setiap khatib dan da’i sehingga mereka mampu menjalankan perannya dengan baik, yaitu ikut andil dalam menjaga dan melestarikan hadits-hadits shahih. Bukan malah terlibat secara tidak sadar dalam menyuburkan hadits-hadits lemah dan palsu di tengah-tengah masyarakat.
Pemenuhan kewajiban tersebut nyaris tanpa kendala jika melihat perkembangan teknologi serta fasilitas pendidikan yang sangat banyak.
Disamping memastikan sanad sebuah hadits harus shahih, para khatib dan dai juga harus berupaya mendapatkan pemahaman yang benar mengenai kandungan maknanya. Sebab seperti ayat al-Quran di mana di dalamnya terdapat ayat yang muhkan dan mutasyabih, di dalam hadits juga demikian adanya. Ada hadits yang muhkam (yang maknanya tunggal dan mudah dipahami) dan mutasyabih, umumnya para ulama menyebutnya dengan hadits musykil.
Kemusykilan hadist terjadi bisa karena isi hadits itu seolah-olah nampak bertentangan dengan ayat al-Qur’an atau dengan hadits yang lain (ikhtilaful hadits), atau karena makna atau ada kata dalam hadits itu yang maknanya ambigu, sukar dipahami yang dalam disiplin ilmu hadits disebut dengan istilah gharibul hadits.
Sebagai contoh hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah yang berbunyi “Ya Allah hidupkanlah aku sebagai orang miskin, matikanlah aku sebagai orang miskin, dan bangkitkanlah aku kelak dalam kelompok orang-orang miskin.”
Kata miskin dalam hadits tersebut, jika dipahami sebagai orang yang fakir yang membutuhkan bantuan orang lain, maka maknanya akan sangat bertentangan dengan hadits-hadits Rasulullah yang lain, misalnya hadits yang berbunyi “Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang berkecukupan (atau kaya) yang bertakwa lagi tak menonjolkan diri.” (HR. Ahmad dan Muslim).
Atau dengan sabda Nabi yang memohon perlindungan kepada Allah dari ujian akibat kemiskinan (HR. Bukhari dan Muslim).
Namun makna yang tepat dan benar dari kata miskin dalam ayat itu adalah sikap tawadhu’. (lihat al-Qardhawi: Kaifa Nata’amal Ma’a as-Sunnah: 2004).
Demikianlah tugas sesungguhnya para dai dan khatib di hadapan hadits Nabi. Wallahu A’lam Bishawab.*
Penulis adalah PPH Berau, sekarang Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta