Sambungan artikel KEDUA
Oleh: Bambang Galih Setiawan
Di daerah-daerah yang kuat Islamnya, kuat pula semangat gotong-royongnya, yang berpusat pada jamaah di langgar atau masjid. Tetapi di tempat yang sisa Hindu masih berkesan, gotong-royong hanya dapat kalau dipatrikan dengan “nuhun inggih” etiket di luarnya gotong-royong, namun hakikatnya ialah persembahan wong cilik kepada kandjeng.
Bahasa Melayu memiliki ruh dan jiwa keislaman di Nusantara, sedangkan bahasa saat ini telah terasa kaku dan kering dalam rasa dan seni yang menghidupkan jiwa. Jika seorang pernah mengalami atau merasakan masa kecilnya dalam lingkungan kebudayaan Melayu, kemungkinan ia akan dapat menghayati bagaimana keelokan dan penjiwaan bahasa dan kebudayaan Melayu menyatu dengan alam yang terkembang bersamanya, yang diciptakan oleh Allah dan berasas pada agama Islam. Sehingga membuat mereka bisa hidup dengan tenang meskipun sederhana, bahagia dengan kecukupannya, dan meresapi makna dalam keindahan alam. Inilah ke khas-an budaya Melayu yang merupakan identitas Muslim di Nusantara. Berbeda halnya dengan kondisi dan kebudayaan saat ini, yang mulai dikungkung oleh kemewahan dan glamoritas hidup yang diimpor Barat. Menghilangkan seni jiwa dan adab Islam. Sehingga membuat manusia tersesak dalam gaya hidup yang mengejar kepuasan badan, lalai dalam mengingat tujuan hidup ke depan, serta karam di bawah bangunan-bangunan tinggi yang menutup dirinya dengan alam. HAMKA memberikan beberapa kesimpulan tentang Kebudayaan. Di antaranya:
- Kebudayaan manusia akan selalu mengalir ibarat air di sungai, menerima dan memberi.
- Kebudayaan adalah sejarah hidup insani di dunia. Mempunyai zaman lampau, zaman sekarang dan zaman depan. Yang sekarang adalah akibat dari yang lampau, dan yang di depan adalah hasil dari yang sekarang. Apabila kita lupakan pertalian diantara lampau, kini dan masa depan, sendatlah (mandek) jalannya kebudayaan.
- Islam mempunyai konsepsi yang cukup untuk turut mengisi kebudayaan dunia. Ini bukanlah teori sekarang, melainkan kesaksian sejarah.
- Bangsa Indonesia dalam dalam membangunkan kebudayaan, dari zaman bergilir zaman, telah menerima juga unsur dari Islam. Yang ingkar dengan kenyataan ini, hanyalah orang yang tidak berkebudayaan.
- Di Indonesia sendiri kelihatan gejala-gejala pancaroba kebudayaan. Kebudayaan materialis, kebudayaan jadi pak turut, kebudayaan menuhankan manusia, atau manusia ingin dituhankan. Kebudayaan yang tidak lagi memilih manfaat dan menghindari yang madharat, kebudayaan yang tidak mengenal halal haram.
- Dalam kalangan Islam sendiri terdapat golongan tua yang telah beku berhadapan dengan golongan muda yang belum tentu arahnya.
- Masih belum bersambung kegiatan ahli filsafat yang menumbangkan pikiran. Kalau ada ahli ilmu pengetahuan beragama Islam, belum tentu pangkalan berpikirnya dari Islam. Seniman pun demikian pula.
- Modal menghadapi perjuangan kebudayaan masih amat terbatas dan kerdil, sebab itu maka: “Dengan kail panjang sejengkal, tidaklah ada daya upaya menduga laut.”
Ancaman Islam yang datang dari sektor kebudayaan melalui bahasa, menurut HAMKA lebih besar daripada sektor politik. Sehingga HAMKA kemudian menyerukan bahwa harus ada umat Islam yang menerjunkan diri ke lapangan kebudayaan, bahasa juga sejarah. HAMKA misalnya menunjukkan usaha-usaha kaum Komunis dengan organisasi kebudayaan LEKRA-nya yang mempropagandakan kebudayaan rakyat, yang mengarahkan kepada kebudayaan Atheis. Demikian juga ketika umat Islam melupakan bahasanya, maka berbagai literatur dan keilmuan pendahulunya dapat hilang dan memutus sejarah serta identitas mereka.
HAMKA pernah dicibir oleh salah satu tokoh pergerakan Islam, bahwa ia dikatakan sibuk membuang waktu untuk meneliti sejarah masuknya Islam, juga aktif dalam kebudayaan, sementara musuh Islam sibuk berkerja menghapuskan Islam dari Indonesia. Maka HAMKA menjawab, bagaimana dia mau menjadi pemimpin jika pemikirannya sepicik atau sesempit itu dengan mengkritik seminar-seminar sejarah yang HAMKA lakukan. Kemudian HAMKA menimbali “Kenapa tidak bisa dikatakan ilmiyah hasil penyelidikan itu hanya karena sumbernya bukan Snouck Hurgronje, Goldzier atau Zwimmer”, menyebut nama-nama Orientalis, untuk menunjukkan kekurangan yang terjadi dan tidak diperhatikan oleh umat Islam.
Padahal menurut HAMKA, adapula yang mengatasnamakan “ilmiah”, namun sejatinya hanya sebuah istilah untuk membaluti dan memperalat keilmuan mengikuti kehendak intelektual, sebagaimana kata terpimpin yang dipakai saat Orde Lama, demi menjaga hegemoni penguasa.
“Ini “Studi Terpimpin” yang digunakan untuk mengelabui mata orang yang menerima Islam sebagai agama pusaka nenek moyangnya tetapi tidak mendapat peluang untuk mempelajari Islam dari sumbernya sendiri. Lalu dicari “ilmiah” Islam dari guru-guru bangsa Barat yang “mengatur” suatu macam ilmu tentang Islam menurut apa yang mereka kehendaki, karena pengaruh penyerbuan dan ekspansi agama atau kolonialisme.” [Hamka, Studi Islam, 1992]
HAMKA kemudian memberikan contoh bagaimana kesalahan dalam memandang suatu kebudayaan. Ada orang Arab Hejaz, mencela orang Indonesia, karena menganggap mereka sedang makan ular. Padahal yang dimaksud adalah belut, yang merupakan sebangsa dengan ikan. Adapun orang Jawa menuduh orang Arab Hejaz itu pemakan bengkarung, padahal yang mereka makan adalah Dhabb, yang bentuknya mirip dengan bengkarung, namun jenisnya berbeda. Menurut adat indonesia duduk bersila di muka orang tua adalah adab. Adat Eropa apabila bertemu dengan seorang teman mengangkat topi memberi hormat, namun pada bangsa Cina, mengangkat topi ketika akan pergi. Demikian juga adab terhadap berbagai bentuk kebudayan lainnya seperti bentuk rumah, makanan, bahasa dan lainnya, yang bagi HAMKA hal ini tidak boleh dicela begitu saja, sebelum mengetahui alasannya. Sebab yang tampak atau baru diketahui adalah gambaran dari kebiasaan yang sudah ada, tapi belum ketahui latar belakangnya.
Kecintaan dan kepedulian HAMKA terhadap budaya Melayu, sebenarnya juga sebab kecintaannya kepada agama dan persatuan umat Islam yang hidup di dalamnya. Sehingga perhatiannya tidak pernah lepas melihat kondisi kelemahan yang ada dalam tubuh umat Islam, serta serangan dari pihak luar. Melalui bahasa dan kebudayaan Melayu yang telah sangat lama menyatukan, memajukan dan mengisi kehidupan Islam di Tanah Melayu dengan jiwa Islam, membuat HAMKA tidak begitu membeda-bedakan pembagian letak geografis antara bangsa-bangsa di rumpun Melayu, khususnya di Indonesia dan Malaysia, yang paling memiliki kesan hidup baginya. Adapun perbedaan letak baginya hanyalah suatu kehendak dan kebetulan saja, jika seseorang misalnya dilahirkan di Minangkabau, yang saat ini masuk dalam Negara Kesatuan Indonesia. Namun agama, bahasa dan jiwa mereka terhadap saudaranya di wilayah Melayu Malaysia atau yang lainnya tetap sama.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Akhirnya dari beberapa uraian penjelasan dan peringatan HAMKA dalam memandang bahasa, kebudayaan dan sejarah di atas, HAMKA kemudian memberikan anjuran yang patut untuk diperhatikan, khususnya oleh angkatan muda Islam saat ini:
- Hendaklah angkatan muda Islam memperdalam pengetahuan dan pengertian ajaran Islam, dituruti dengan amal, sehingga menjadi pandangan hidup yang sebenarnyam dan dapat membandingkan, “mana yang kita punya dan mana yang kepunyaan orang lain.”
- Hendaklah angkatan muda Islam mempelajari sejarah umatnya, di Indonesia dan di luarnya, sehingga dia sadar bahwa kebudayaan Islam itu universal sifatnya. Dan kebudayaan yang universal itulah tujuan terakhir dunia di zaman ini. Dan Nasionalisme sempit, tidaklah panjang usianya.
- Hendaklah angkatan muda Islam menuntut ilmu pengetahuan, merenung filsafat dan mencintai seni. Sebab semuanya itu adalah anjuran tegas dari agamanya. Sehingga kelak dapat disumbangkan kepada dunia umumnya dan Indonesia khususnya. Untuk membina satu kebudayaan kepunyaan umat manusia, sebagai hasil kecerdasan akal dan keluhuran iman. Dan itulah sekarang yang amat diperlukan oleh pri-kemanusiaan.*
Penulis, Mahasantri Ma`had `Aly Imam al Ghazally, Solo