DUA figur agung ini menempati posisi sangat penting dalam memori umat Islam. Kebesarannya bukan hanya diakui internal muslim, bahkan umat lain yang obyektif pun mengakuinya.
Dua sisi kepahlawanan yang begitu melekat dalam benak umat dari dua sosok ini adalah keberhasilan dalam pembebasan Baitul Maqdis dan toleransi yang begitu tinggi sehingga keamanaan beragama umat lain terjamin. Tulisan ini akan berfokus pada jaminan keamanan beragama di era Umar bin Khattab dan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Era Umar bin Khattab
Pada tahun 15 H / 636 M, disaksikan oleh Khalid bin Walid, Amru bin Ash, Abdurrahman bin ‘Auf dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhum, perjanjian agung yang diinisiasi oleh Umar (w. 644 M) di Bumi Baitul Maqdis menorehkan sejarah baru bagi kerukunan umat berama. Pasalnya, pada momentum sangat bersejarah ini, Khalifah Kedua ini membuat perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Elia.
Bagi yang memperhatikan dan menelaah secara saksama kandungan perjanjian ini, maka tidak akan terbantahkan bahwa di dalamnya mengandung jaminan keamanan bagi pemeluk agama.
Perjanjian ini berisi jaminan keamanan bagi penduduk Elia. Keamanan menyangkut jiwa, harta, gereja, salib, orang lemah, orang merdeka dan semua agama. Gerja dilindungi. Tidak akan dirusak, dikurangi bahkan dipindahkan. Termasuk salib dan harta mereka juga dilindungi.
Berikut ini di antara paragraf penting yang termaktub dalam perjajian tersebut, “Bismillah al-Rahman al-Rahim. Ini jaminan keamanan yang diberikan hamba Allah, Umar, Amirul Mukminin kepada penduduk Elia. Umar menjamin keamanan hagi seluruh jiwa, harta, gereja, salib, orang lemah, orang merdeka, dan semua agama yang ada. Gcreja-gcrcja mereka tidak akan dihuni atau dirusak, dikurangi atau dipindahkan. Demikian pula dengan salib dan harta mereka. Mereka tidak akan dibenci karena agama.” (Qasim A. Ibrahim, 2014:145, 146)
Baca: Toleransi Umar
Melalui perjanjian ini, Umar Al-Faruq menunjukkan kesejatian Islam ketika memimpin dunia. Saat berkuasa, ternyata Islam mampu membangun iklim yang sejuk dan nuansa perdamaian bagi para pemeluk agama. Bahkan, sebelum perjanjian Elia pun, saat baru sampai di Baitul Maqdis, toleransinya kepada umat lain sudah tercermin jelas.
Ketika ayah Hafshah ini memasuki kawasan Baitul Maqdis, Palestina, beliau sempat masuk ke Gereja Al-Qiyamah (Holy Sepulchre). Bahkan sempat duduk di halamannya. Pada saat yang bersamaan, tibalah waktu shalat.
Umar pun berkata, “Aku hendak melaksanakan shalat.” Uskup Agung (Yerusalem Sophronius) pun menawarkan kepadanya untuk mendirikan shalat di Gereja ini, namun tawaran tersebut ditolak agar tak muncul anggapan bahwa gereja tersebut milik Muslim sehingga kelak bisa menimbulkan klaim dan membangun masjid secara paksa (Khudhari, 1982: 102).
Karen Amstrong dalam buku “Jerusalem: One City, Three Faiths” (2011:228) mengakui betapa besarnya toleransi Umar kepada pemeluk agama lain. Penulis terkenal Inggris ini mencatat: “He presided over the most peaceful and bloodless conquest that the city had yet seen in its long and often tragic history.”
Intinya, khalifah pengganti Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu ini memimpin penaklukan yang paling damai dan tanpa darah yang pernah dilihat kota ini dalam sejarahnya yang panjang dan sering tragis.
Tak hanya itu, saat orang Kristen menyerah, tidak ada pembunuhan, perusakan harta benda, pembakaran simbol agama, pengusiran atau pengambilalihan. Bahkan tidak ada upaya untuk memaksa penduduk untuk memeluk agama Islam
Era Shalahuddin Al-Ayyubi
Tak berbeda dengan Umar radhiyallahu ‘anhu jaminan keamanan Shalahuddin Al-Ayyubi (w. 1193) kepada pemeluk agama lain tidak perlu diragukan. Dalam catatan sejarah, di bawah pemerintahan beliau, rakyat hidup aman dan sejahtera. Menariknya, rombongan Kristen dibolehkan berkunjung ke Baitul Maqdis dan semakin hari jumlahnya makin banyak. Ketika Richard khawatir Shalahuddin marah, akhirnya ia memintanya untuk melarang peziarah yang tidak mendapat izin resmi atau rekomendasi dari Richard. Apa jawaban Shaladuddin? Pahlawan muslim agung kelahiran Tikrit ini menjawab dalam suratnya, “Mereka sudah datang jauh-jauh untuk berziarah ke tempat suci ini. Jadi tidak mungkin bagiku untuk menghalang-halangi mereka.” (Qasim A. Ibrahim, 2014 : 622)
Selain itu, yang tidak kalah menarik, Muhammad Ash-Shayim dalam buku “Shalahuddin Al-Ayyubi Sang Pejuang Islam” (2006:51, 52) juga mencatat dengan baik bagaimana toleransi Shalahuddin kepada agama lain. Tidak seperti pasukan Salib yang ketika memasuki Baitul Maqdis 1099 M melakukan berbagai pembantaian, justru Shalahuddin memberi kebebasan dan jaminan keamanan dan sama sekali tidak menyimpan dendam. Beliau menunjukkan simpati, bersikap lemah lembut dan memberi kebebasan kepada pemeluk Nashrani untuk menjalankan ibadah, membebaskan panglima perang Salib dan memberikan waktu 40 hari untuk pergi dari sana.
Karen Amstrong (2011:299) juga mencatat suasana aman ketika Shalahuddin menguasai daerah Ascalon (Asqolan) pada tahun 1187. Penaklukan yang dilakukan oleh Shalahuddin sangat indah. Yerusalem pun menjadi tempat yang aman bagi pemeluk Kristen dan Yahudi. Maka tidak mengherangkan bila tokoh sekaliber Shalahuddin ini dihormati kawan maupun lawan. Karena di dalam jiwa terspimpan akhlak luhur yang menjamin keamanan pemeluk agama lain.
Akhirnya, pembahasan ini dirasa penting di tengah kondisi umat Islam Indonesia yang sedang dilanda teror bom bunuh diri. Dari keduanya umat Islam secara khusus, atau umat lain pada umumnya bisa mengambil hikmah dari kedua tokoh muslim kenamaan ini bagaimana toleransi Islam tercermin dengan sangat menawan ketika memegang kendali pimpinan atas umat lain.
Mereka yang berada di bawah nauangan kekuasaan Islam, merasakan dengan sangat riil keindahan toleransi beragama dalam Islam. Bukan sekadar kata-kata indah, tapi sudah menjadi fakta sejarah.*/Mahmud Budi Setiawan