Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi
Jangan Caci Pewaris Nabi!
Untuk itu, setiap Muslim harus memahami posisi para ulama di tengah-tengah mereka. Mereka adalah para pewaris para nabi. Mereka adalah rujukan ummat. Mereka adalah manusia pilihan Allah. “Kalau bukan karena para ulama, manusia-manusia pasti sudah seperti binatang”, kata al-Hasan al-Bashri (Imam al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, 1/26). Para ulama sangat sayang kepada ummat ini daripada bapak dan ibu mereka. Kenapa seperti itu”, kata sang penanya? Ya. Karena bapak dan ibu mereka hanya memelihara mereka agar tidak masuk ke neraka dunia. Namun para ulama menjaga mereka agar tidak masuk ke dalam neraka akhirat, kata Yahya ibn Mu’adz. (Imam al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, 1/26).
Kecuali memang jenis ulama su’ (ulama jahat, ulama dunia). Ini memang tak patut dihormati. Karena ia telah menjual agamanya demi glamour dunia. Ulama – meskipun tak pantas gelar ini disandang oleh mereka – model ini kerjanya membela kekufuran, menjilat kepada penguasa yang seharusnya dia nasehati, dan menjual kebenaran demi uang. Sehingga ada yang mengatakan bahwa ini adalah model “ulama honorer”.
Imam Ibn Taimiyyah pernah menyatakan bahwa umat-umat terdahulu ulama-ulama mereka memang jahat-jahat. Tapi di zaman ummat Muhammad Saw. ulama-ulama mereka adalah manusia pilihan. Mareka adalah pengganti Rasulullah Saw. di tengah-tengah ummat beliau. Mereka lah yang menghidupkan kembali sunnah-sunnah beliau yang telah mati. Keberadaan mereka menjadikan Al-Qur’an berdiri-tegak. Dan dengan Al-Qur’an mereka gagah-berdiri. Karena mereka Al-Qur’an “berbicara”. Dan mereka berbicara dengan Al-Qur’an. (Imam Ibn Taimiyyah (661-728 H), Rafʻu al-Malam ‘an al-A’immat al-Aʻlam (ar-Riyadh-Saudi Arabia: ar-Ri’asah al-‘Ammah li Idarat al-Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta’ wa al-Daʻwah wa al-Irsyad, 1413 H), 8).
Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam pernah bersabda, “Allah mencabut ilmu tidak langsung mencabutnya dari manusia, setelah Dia memberikan ilmu itu kepada mereka. Tetapi mencabutnya dengan cara mewafatkan ulama. Setiap seorang ‘alim wafat, maka hilang pula ilmu yang ada pada dirinya. Hingga akhirnya yang tersisa hanya para pemimpin jahil. Jika mereka ditanya apa saja kemudian mengeluarkan fatwa tanpa ilmu. Akhirnya sesat (dirinya) dan menyesatkan (orang lain).” (Muttafaq ‘Alaih).
Maka, tak patut kita mencela para ulama. Tidak dibenarkan mencaci-maki mereka. Karena Allah telah menghormati dan memuliakan mereka di dalam Al-Quran. Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam pun memuliakan mereka dalam banyak sabdanya. Maka, ketika ada pernyataan yang keras dan tak beretika – seperti yang disampaikan oleh seseorang yang bernama Nusron – bahwa: MUI tidak berhak menafsirkan Al-Qur’an tentu kita sangat kecewa dan sedih. Ini adalah sikap sangat keterlaluan yang keluar dari garis etika. Apalagi sampai. Ini jelas tidak beradab, tidak berakhlak.
Karena jika para ulama tidak berhak menafsirkan, kecuali Allah dan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam maka doa Rasulullah untuk Ibn ‘Abbas tidak bermakna. Kata beliau dalam doanya, “Allahumma faqihhu fid-din wa ‘allimhu at-ta’wil (Ya Allah, dalamkanlah ilmu ‘Abbas dalam agama ini dan ajarkan kepadanya ta’wil/tafsir) (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dan tentu sudah sejak zaman dahulu tidak sampai buku-buku tafsir kepada kita hari ini. Tapi pendapat ini ternyata konyol dan tak patut diikuti dan diyakini. Orang yang mengatakan ulama tak berhak menafsirkan Al-Quran adalah pandangan yang amat dangkal dan menggunakan “dengkul”. Sepertinya ia ketika berbicara sedang “teler” sehingga tak punya “nalar”.
Maka sampai hari ini sejak zaman klasik tafsir-tafsir Al-Qur’an yang ditulis oleh para ulama selalu hadir. Imam at-Thabari punya tafsir Jamiʻ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an. Imam Ibn Katsir mengarang buku Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim. Ada pula kitab tafsir al-Kasysyaf yang ditulis oleh Imam az-Zamakhsyari. Ada pula tafsir al-Jamiʻ li Ahkam al-Qur’an karya Imam al-Qurthubi. Disamping ada kitab tafsir Ahkam al-Qur’an karya Imam Ibn al-‘Arabi selain ada Ahkam al-Qur’an karya Imam al-Jasshash.
Yang paling belakangan mungkin ada tafsir Fi Zhilal al-Qur’an yang ditulis di balik jeruji besi oleh sang ‘Syahid’ Sayyid Quthb. Lahir pula dari pengalaman yang sama di Nusantara ini tafsir Al-Azhar karya ulama legendaris Prof. Dr. Buya Hamka. Di samping ada sebelumnya karya Imam Nawawi al-Bantani sang “Sayyid ‘Ulama Hijaz’ yang bertajuk Marah Labid. Tentu masih banyak lagi karya ulama-ulama kita yang hebat dalam bidang tafsir ini. Dan karya-karya mereka lahir karena memang mereka paham bahwa ulama berhak menafsirkan Al-Quran.
Ringkasnya, mari hargai ulama-ulama kita. Kita hormati mereka. Kita timba ilmunya. Kita amalkan petuahnya. Jangan caci para pewaris nabi. Mereka adalah wali-wali Allah. “Jika bukan para ulama yang disebut wali, maka Allah tidak punya wali”, kata Imam Abu Hanifah dan Imam as-Syafi’i. Siapa mereka? “Para ulama yang mengamalkan ilmunya”, jawab Imam as-Syafi’i.
Dan orang-orang yang mencela ulama sejatinya tengah “makan” daging ulama. Orang-orang yang “makan” daging ulama disebabkan karena: karena dengki, bisa pula karena mengikuti hawa nafsu. Bisa jadi karena taqlid: ikut-ikutan tanpa ilmu. Bisa pula karena fanatik buta. Dan yang paling penting sebabnya adalah: merasa berilmu. Akhirnya sembarangan mengkritik ulama. Menjelek-jelekkan pendapat ulama. Sungguh, sejelek-jelak manusia adalah: orang yang tidak mengerti kadar kemampuannya. Namun juga ada sebab lain yaitu: nifaq dan benci kebenaran. Ini sangat bahaya. Karena nifaq adalah penyakit hati yang kronis (Qs. Al-Baqarah [2]: 10, 13-14). (Lihat, makalah Dr. Nashir ibn Sulaiman al-‘Umur, “Luhum al-‘Ulama Masmumatun”, 10-12).
Semoga kita dihindarkan dari sifat yang keji ini: sifat suka mencela dan mencaci-maki ulama-ulama kita yang mulia. Agar kita tidak merusak otoritas keilmuan. Karena ulama adalah kekasih Allah, pilihan Allah, pewaris para nabi, dan “lentera” bagi ummat manusia. Kalau bukan karena jasa dan ilmu mereka kita akan buta di dunia, karena hidup tanpa panduan ajaran agama. Wallahu Aʻlam bis-Shawab.*
Penulis adalah Pengasuh di Pondok Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah, Medan. Penulis buku “Membongkar Kedok Liberalisme di Indonesia” (2012) dan “Jejak Sofisme dalam Liberalisasi Pemikiran di Indonesia” (2016)