Oleh: Wardah Abeedah
ISLAM mendudukkan ilmu dan tsaqâfah pada kedudukan yang mulia. Tidak ada agama lain selain Islam yang sedemikian memperhatikan dan begitu memuliakan persoalan ilmu dan tsaqâfah.
Islam menempatkan kewajiban mempelajari tsaqafah Islam sebagai sebuah ibadah yang setara dengan kewajiban yang lainnya. Dalam surat al-mujadilah ayat 3, Allah telah memberikan keutamaan bagi orang-orang yang memahami Islam dengan mendalam akan dinaikkan derajatnya.
Mereka yang berilmu juga disebut pewaris para nabi. Sebagaimana sabda manusia yang palingagung, “Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, sesungguhnya mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang telah mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Abu Dawud & Tirmidzi).
Para nabi yang mulia tidaklah mewariskan sesuatu kepada ummatnya kecuali warisan yang paling berharga di dunia dan warisan yg paling dibutuhkan manusia. Dan warisan tersebut adalah ilmu tsaqâfah. Ini menunjukkan pada kita bahwa ilmu itu jauh lebih utama daripada harta. Dalam kitab madarijus salikin, Imam Ibnu Qoyyim saat menjelaskan bahwa tingkat kedermawanan tertinggi adalah memberikan ilmu.
Sedangkan tingkat kedermawanan terendah adalah dengan memerikan harta. Dengan ilmu manusia akan mengenal Allah, mengenal tujuan hidupnya, mengetahui baik-buruk dan dengan ilmu pula manusia dapat menyelesaikan problemnya. Dan pada hakikatnya, rasulullah saw diutus untuk menyampaikan –ilmu/ tsaqâfah – Islam. Yang beliau perjuangkan dengan segenap pikiran, tenaga, waktu hingga jiwanya hanyalah untuk membawa Islam. Membawa tsaqafah Islam dengan aqidahnya yang cemerlang, juga syariat Islamnya yang tertuang dalam al-quran dan as-sunnah. Dengannya, kehidupan manusia akan berada pada puncak kemuliaannya, pada limpahan rahmat dan berkah. Dan mencampakkannya pasti berujung pada derita dan masalah. Beliau membawa al-qur’an dan as-sunnah dengan melalui kehidupan yang berat. Berpeluh, bercucuran darah dan air mata, demi kehidupan yang baik bagi kita, ummatnya. Untuk kita ambil dan kita jadikan pegangan hidup. Untuk diadopsi dan dijadikan sebagai sumber solusi yang memudahkan hidup manusia. Itulah mengapa diberi kepahaman agama menjadi indicator seseorang mendapat kebaikan dari Allah.
Kaum Muslimin diwajibkan mempelajari tsaqâfah yang berkaitan dengan individunya sebagai fardhu ‘ain. Islam juga mewajibkan mempelajari tsaqâfah yang berkaitan dengan masyarakat dan ilmu yang dibutuhkan masyarakat sebagai fardhu kifayah.
Tsaqâfah Islam yang didalamnya terdapat aspek aqidah mampu membangkitan manusia. Karena kebangkitan ummat tergantung pada pemikirannya. Pemikiran-pemikiran Islam bisa menjadikan orang yang memiliki tsaqâfahnya mampu membentuk manusia menjadi pribadi yang memilik ‘aqliyah (pola pikir) yang memuaskan akal dan menentramkan jiwa. Terbentuk pula dalam dirinya nafsiyah Islamiyah (pola sikap yang Islam) yang dipenuhi dengan keimanan yang sempurna.
Dengan ‘aqliyah dan nafsiyah ini seseorang memiliki sifat yang mengagumkan/agung yang diinginkan oleh seorang Muslim. Karena itu dia menerjuni petualangan kehidupan dalam keadaan (mempunyai) bekal sebaik-baik perbekalan, yaitu pemikiran yang cemerlang, takwa dan pengetahuan yang dapat menuntaskan segala problematika.
Tidak berhenti disitu, tsaqâfah Islam menjadi bagian dari ummat Islam, dimana diatasnya dibangun peradaban Islam. Tsaqâfah juga menentukan tujuan dan corak kehidupan ummat. Dengannya, pandangan hidup ummat yang terdiri dari berbagai suku, bangsa dan perbedaan dapat disatukan. Dan didalamnya juga terdapat aturan yang akan dapat menjaga aqidah, keamanan, harta, akal, jiwa, keturunan, kehormatan dan kedaulatan Negara Islam. Tsaqâfah suatu bangsa hakikatnya adalah keimanan (aqidah), hukum, solusi, sistem yang terpancar dari aqidah, ilmu pengetahuan yang dibangun diatas aqidah dan peristiwa apapun yang terkait dengan aqidah sebagai perjalanan dan sejarah umat.
Perhatian kekhilafahan terhadap tsaqâfah
Era kekhilafahan Islam pada masanya sangat memahami ketinggian possi ilmu dan tsaqâfah Islam dalam agama kita yang mulia. Oleh karenanya, Negara Islam yang dipimpin rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam dan para khulafa’ sesudah beliau sangat memperhatikan aspek yang berhubungan langsung dengannya, yakni pendidikan.
Di masa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassallam, beliau menetapkan kebijakan berupa penebusan bagi tahanan di Perang Badar untuk mengajar sepuluh orang Muslim membaca dan menulis. Rasulullah sebagai kepala negara mengirimkan para qurra’ untuk mengajarkan Islam kepada masyarakat, utamanya yang baru masuk Isalm. Rasulullah mengirim qurra’ terbaik tersebut ke seluruh penjuru jazirah Arab. [Hisyam Ibnu, Sirah An-Nabawiyah juz 2]
Pada masa Abu Bakar As-Shiddiq, masjid difungsikan sebagai tempat belajar, ibadah dan musyawarah. Kuttab, merupakan pendidikan yang dibentuk setelah masjid, didirikan pada masa Abu Bakar. Di masa belau pula, al-Qur’an al-kariim mulai dikumpulkan. Pada masa Kekhalifahan Umar bin Khattab, terdapat kebijakan pemberian gaji kepada para pengajar Al-Qur’an masing-masing sebesar 15 dinar.
Para khulafa’ berikutnya menyediakan pendidikan gratis dengan sarana dan prasarana yang bermutu, membangun banyak madrasah, jami’ah (universitas) dengan fasilitas terbaik untuk mendudkung kebutuhan pelajar termasuk asrama dan perpustakaan.
Madrasah al-Muntashiriah, misalnya, yang didirikan oleh Khalifah al-Muntashir Billah di Kota Baghdad. Di sekolah ini setiap siswa dijamin Kehidupan kesehariannya. Bahkan mereka menerima beasiswa berupa emas seharga satu dinar (4,25 gram emas) perbulan. Institusi pendidikan serupa juga dibangun dengan fasilitas lengkap dan gratis seperti Madrasah an-Nuriah, jami’ah Al-Azhar kairo dll.
Para khalifah juga membangun perpustakaan di banyak daerah di penjuru kekhilafahan, di Baghdad, Ram Hurmuz, Rayy (Raghes), Merv (daerah Khurasan), Bulkh, Bukhara, Ghazni, dan sebagainya. Tinta emas sejarah ini ditukis oleh Bloom dan Blair, yang mengakui bahwa rata-rata tingkat kemampuan literasi (membaca dan menulis) di Dunia Islam pada Abad Pertengahan lebih tinggi daripada Byzantium dan Eropa (Jonathan Bloom dan Sheila Blair, Islam : A Thousand Years of Faith and Power, Yale University Press, London, 2002).
Khalifah Umar Bin Khatab, Gubernur dan Sekretaris non-Muslim [1]
Bahkan di setiap masjid terdapat perpustakaan. pada abad ke-10, di Andalusia saja saja terdapat 20 perpustakaan umum. Di Kairo,Perpustakaan Darul Hikmah mengoleksi tidak kurang dari 2 juta judul buku. Bahkan di Syam, Perpustakaan Umum Tripoli, mengoleksi lebih dari 3 juta judul buku, termasuk 50 ribu eksemplar al-Quran dan tafsirnya.
Jumlah koleksi buku di perpustakaan-perpustakaan ini termasuk yang terbesar pada zaman itu. Bandingkan dengan Perpustakaan Gereja Canterbury yang berdiri empat abad setelahnya, yang dalam catatan Chatolique Encyclopedia, perpustakaan tersebut memiliki tidak lebih dari 2 ribu judul buku saja.
Semua ini dilakukan demi menjaga tsaqofah Islam tetap terwariskan dengan baik kepada anak cucu dan generasi mendatang. Khilafah juga memproduksi mujtahid-mujtahid dan ulama-ulama berkualitas dan takut Allah secara massal. Para ulama tersebut juga penulis yang setiap orangnya mampu melahirkan ratusan judul kitab. Termasuk diantaranya kitab-kitab yang khusus membahas tuntas aspek ilmu baik dari segi keajiban dan keutamannya, adab-adabnya dan penjelasan tentang ulama seperti kitab Ta’lim al-Muta’lim fi Thoriiqi at-Ta’allum dan Ihya’ Ulumiddin,masterpiece Imam Ghazali yang fenomenal.
Saat melakukan jihad dan futuhat, kaum Muslim menaklukkan berbagai negara dalam rangka mengemban dakwah Islam kepada penduduknya. Karena itu kebanyakan para penakluk adalah dari golongan ulama, pembaca dan penulis. Hal ini bertujuan untuk mengajarkan tsaqâfahnya di negeri yang ditaklukkan. Walhasil, di setiap negeri yang ditaklukkan dibangun masjid untuk shalat dan belajar, baik bagi laki-laki, perempuan maupun anak-anak. Mereka mengajarkan kepada orang-orang mengenai al-Quran, hadits dan hukum-hukum Islam, mengajarkan mereka bahasa Arab, dan membatasi perhatian mereka dengan tsaqâfah Islam.
Wajar jika dalam waktu singkat–pada masa pemerintahan kaum Muslim- tsaqâfah lama hilang di negeri-negeri yang ditaklukkan. Tinggal tsaqâfah Islam saja yang menjadi tsaqâfah di setiap negeri tersebut, dan bahasa Arab saja sebagai bahasa Islam. Negeri-negeri yang ditaklukkan seluruhnya bergabung dengan negeri-negeri Arab menjadi negeri yang satu, yang sebelumnya merupakan negeri –negeri dan bangsa-bangsa yang berbeda-beda dan bercerai berai. Islam menjadi satu-satunya kepemimpinan berfikir (qiyadah fikriyah) di seluruh Negara Islam.
Kehidupan warga di era khilafah Islam yang dilimpahi barakah ini terus berjalan hingga pada pertengahan abad ke 18 Masehi di masa Kekhilafahan Utsmani, ummat Islam mengalami kemerosotan yang mendalam. Bermula pada kejeniusan raja-raja Eropa, yang kewalahan mengahdapi tentara kaum Muslimin pada Perang Salib.
Khalifah Umar Bin Khatab, Gubernur dan Sekretaris non-Muslim [2]
Dua ratus tahun lamanya, mencurahkan otak mengetur strategi, menguras harta hingga memajak rakyat demi membiayai perang suci, namun yang didapaat hanya kekalahan demi kekalahan. Maka sejak abad ke 13 Masehi mereka temukan rahasia kekuatan ummat Islam. Dan mereka bertekad menghancurkannya. Kekuatan Islam yang tak lain terletak pada tsaqâfah nya ; dalam aspek pemahaman dan penerapannya. Maka dirumuskanlah gaya perang baru, bukan lagi dengan perang fisik, tapi dengan gazwu ats-tsaqafiy ; perang tsaqafah atau perang budaya.
Mereka berupaya keras untuk menghapus tsaqâfah dari benak dan kehidupan kaum Muslimin. Mereka juga berusaha menghilangkan tsaqâfah dari undang-undang hingga konstitusi kaum Muslimin. Sejak saat itu, bahasa Arab mulai ditinggalkan dan diganti dengan Arab ‘ammiyah, bahasa daerah dan bahasa penjajah. Kemudian berlanjut dengan ditutupnya pintu ijtihad dan diambilnya tsaqâfah – tsaqâfah asing seperti filsafat, demokrasi, feminisme dll, sehingga negera khilafah justru berdiri di atas tsaqâfah selain Islam. Hal ini merupakan keberhasilan scenario besar Barat dalam perang budaya (gazwu ats-tsaqafiy) untuk meruntuhkan institusi daulah Islam.
Sejak zaman keruntuhan Negara pemersatu umat itulah, hingga saat ini kaum Muslimin diterpa berbagai persoalan hidup. Miskin harta, miskin iman, miskin ilmu dan miskin adab. Generasi muda umat ini tak luput dari sasaran pengrusakan. Narkoba, minuman keras hingga seks bebas mereka jadikan trend dan gaya hidup. Jika saat ini kita ingin mengembalikan Islam dan ummat Islam pada kejayaan peradabannya, jika kita ingin kembali hidup dalam kegemilangan generasinya, sudah sepatutnya kita kembali pada Islam. Memahami dengan baik tsaqâfah nya. Kemudian meyakininya sebagai satu-satunya pandangan hidup yang shahih. Kita juga wajib merujuk padanya saat memiliki persoalan individu atau keummatan. Serta mengamalkannya dalam seluruh lini kehidupan mulai tataran individu, keluarga, masyarkat hingga Negara.
Last but not least, kita wajib mendakwahkannya hingga seluruh manusia –Muslim atau non mulim- merasakan rahmatnya. Wallahu a’lam bis showab.*
Alumni PP. Al-Wafa Jember, Kepala TPQ & Madrasah Diniyah Adzkiya’ Jember