Oleh: Faris Ibrahim
Hidayatullah.com | Konflik semakin rigid. Infinity stones satu persatu berhasil dikumpulkan Thanos beserta bala pasukannya yang digdaya. Tibalah Thanos di sebuah planet bernama Titan. Planet itu sudahlah tidak asing baginya. Ia pernah disebut gila oleh penduduknya karena menyampaikan gagasan ekstremnya yang tak terduga; “membawa keseimbangan ke semesta dengan memusnahkan separuh kehidupan” , begitu kata Gamora menyimpulkan gagasan anarkis ayah angkatnya itu.
Di sela puing- puing Titan, telah berpijak terlebih dahulu Dr. Stephen Strange, Tony Stark beserta jajaran guardians bersembunyi bersiap- siap melakukan baku hantam. Namun sebelum itu, ada satu hal yang mereka ingin tabayyun-kan, alasan. Apa alasan Thanos bersemangat menjelajah dunia, menjajah setiap planetnya demi mengamalkan ambisinya? Itulah yang ditanyakan Dr. Stephan membuka pembicaraan.
“Dulunya, planet (Titan) ini begitu indah seperti kebanyakan planet lainnya,” kata Thanos memulai penjelasannya.
“Terlalu banyak jiwa, tak cukup sumber daya,” begitu tutur Thanos mencoba memahamkan akar permasalahan, “saat kami menghadapi kepunahan, aku menawarkan solusi”.
“Genosida”?, kata Dr. Stephen menebak yang Thanos tawarkan.
“Secara acak”, jelas Thanos meragakan prosesi pembantaiannya, “tak memihak, adil tak peduli kaya atau miskin”.
“Dengan ke enam batu itu, aku hanya perlu menjentikkan jariku, mereka semua akan binasa. Aku menyebut itu belas kasih.” Demikian petikan Thanos dalam film Avengers: Infinity War.
Jika ada satu hal yang dapat kita baca dari paparan Thanos yang satu ini, maka itu adalah kekeliruan. Kekeliruan itu berserak dalam kontradiksi berkelanjutan konstruk gagasannya. Genosida dianggap belas kasih. Membunuh acak, baginya itu keadilan. Padahal membunuh saja sudah cukup untuk mengangkangi rasa adil. Penjajahan baginya adalah solusi mendistribusi sumber daya alam. Begitulah kekeliruan itu terus konsisten diperjuangkan. Kekeliruan itu mulus berjalan sesuai rencana Iblis di hadapan Allah untuk menyesatkan hamba- Nya, bahwa dia “akan jadikan (kejahatan) terasa indah”.
Delusi Kebenaran
Yang buruk menjadi indah, yang jahat menjadi baik, itulah hasil tukar tambah kekeliruan. Kekeliruan lebih buruk dari kebodohan. Bodoh bisa diobati dengan belajar. Kekeliruan itu campur aduk dari kebenaran dan kebatilan, dan sifatnya delusional; kita meyakini sesuatu yang salah sebagai kebenaran, dan terus memperjuangkan kesalahan itu karena menganggapnya benar. Itulah yang terjadi pada sosok seperti Thanos, ia berdelusi memandang kebenaran, sehingga sulit membedakan mana yang kebaikan mana yang keburukan.
Kekeliruan ini pantaslah disebut berbahaya. Tak ayal, Prof. Dr, Syed Naquib al- Attas dalam Risalah untuk Kaum Muslimin memandangnya sebagai masalah internal yang pokok bagi umat Islam hari ini. Utamanya kekeliruan itu bermula pada tataran ilmu. Karena dari ilmulah segala aspek dikembangkan, manusia dibimbing, peradaban ditegakkan. Ketika kita keliru memahami konsep ilmu- baik itu sumbernya, subjeknya, objeknya, cara memperolehnya- maka kita akan melangkah ke tangga kekeliruan berikutnya, yaitu kekeliruan beramal.
Amalan yang keliru itulah yang akan merusak peradaban; karena keliru artinya tidak beradab. Beradab artinya adil, menempatkan sesuatu pada tempatnya.
“Puncak bibit masalah yang sedang kita hadapi ini sesungguhnya terletak pada mauduk di sekitar faham ilmu. Kekeliruan telah mengharungi akal-pikiran kita peri sifat dan tujuan ilmu; sifat dan tujuannya yang sebenarnya sebagaimana difahamkan dalam Islam,” begitu kata Al- Attas menjabarkan masalah internal kita, kaum Muslimin.
Masalah politik kita, ekonomi, sosial, budaya semuanya harus diselesaikan dari pemahaman kita tentang ilmu terlebih dahulu yang telah dikelirukan oleh paham-paham Barat yang sekular; karena dengan kekeliruan itulah cara pandang kita terhadap dunia (worldview) menjadi rancu, jauh dari saripati wahyu.
Kekeliruan kita terhadap ilmu, implikasinya akan berimbas pada sejawat katanya, yaitu alam yang lahir dari gugusan huruf yang sama; Ain, Lam, Mim. Kekeliruan ilmu berimbas pada pemerkosaan alam, itulah yang terjadi hari ini di planet tercinta kita, Bumi. Setelah teologi bergeser fokusnya menjadi manusia, sekejap Tuhan tidaklah lagi Tuhan, Tuhan hari ini menjadi manusia ; karena manusia yang menjadi Tuhan maka ia berhak memperlakukan alam seenak jidat. Selama memuaskan, alam tak henti- hentinya diperkosa. Itulah yang dilakukan Thanos setelah keliru memahami ilmu, ia acak- acak setiap planet di alam semesta demi memekarkan gagasannya.
“Nature has come to be regarded as something to be used and enjoyed to the fullest extent possible extent possible. Rather than being like married woman from whom man benefits but also towards whom he is responsible, for modern man nature has become like a prostitute – to be benefitted from without any sense of obligation and responsibility toward her”.
Alam bagi manusia sekular modern tidaklah lagi diperlakukan seperti seorang istri yang dikasihi oleh suami dengan penuh rasa hormat dan tanggung jawab. Alam sudah seperti pelacur yang dimanfaatkan abai belas kasih juga perhatian terhadap hak- haknya sebagai makhluk Allah. Menarik sekali membaca perkataan Syed Hossein Nasr yang satu ini.
Oleh sebab itu, para ulama kita sejak dahulu berbondong memberi perhatian terhadap konsep ilmu, untuk apa?
Membentengi Islam dari kekeliruan yang senantiasa mengancam, alhasil tsawabit– nya masih tetap kokoh tanpa ada distorsi hingga hari ini, itulah sumbangsih para ilmuwan kita. Beda dengan Yahudi dan Kristen. Mereka jahit teologinya agar sesuai dengan ruh sekularisme, alhasil konsep- konsepnya yang mapan mau tak mau disangsikan satu persatu.
Itulah yang dilakukan pentolan seperti Moses Mendelsshon, Steinheim, Holdheim, dan Abraham Gieger terhadap agama mereka Yahudi. Atas nama modernisasi, mereka sanggup memodifikasi ajaran agama mereka. Mereka halalkan yang haram, haramkan yang halal. Keadaan seperti itu juga dialami Kristen, berikut kata Syed Naquib al- Attas mengomentarinya; “they wet so far as to asset triumphantly, in their desirvto kap in line with contemporary events in the West, that secularization has it’s roots in biblical and is the fruit of the gospel and, therefore, rather oppose the secularizing process, Christianity must realistically welcome it as a process congenialto it’s nature and purpose.”
Untuk menjaga pamornya di Barat, Kristen menjual asas- asas sekularisme berdasar kepercayaan Bibel sebagai sumbangsih bagi sekular Barat agar tidak sisihkan.
Jika peradaban adalah emas, maka kilaunya adalah ilmu. Peradaban- peradaban besar selalu disanjung oleh karena sumbangsih ilmu pengetahuannya. Peradaban Yunani tersohor karena kontribusinya melahirkan filsafat yang menjadi rahim bagi perkembangan ilmu pengetahuan berabad- abad selanjutnya.
Peradaban Islam pernah menapaki puncak peradaban dunia, itu juga disebabkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan di zamannya; meramu filsafat Yunani menjadi lebih hidup dan dapat dirasakan manfaatnya dengan mengikutsertakan setiap generasi menyulam nilai-nilai luhurnya. Begitu pula dengan peradaban Barat yang hari ini maju karena sumbangsih sains dan teknologinya.
Maka dari itu, jika peta kebangkitan Islam itu memang benar-benar ada, maka hal pertama yang mesti kita tuju adalah ilmu, kita perbaiki kekeliruan umat dalam memahaminya; karena peradaban Islam adalah peradaban ilmu bukan peradaban bangunan.
Ketika selesai perkara itu, bak gayung bersambut, Islam akan kembali menjadi pemain utama dengan inovasinya yang menginspirasi dunia. Ketika berkumandang nama besar Islam, maka yang akan jelas terdengar adalah kesimpulan Franz Rosenthal menggambarkan keagungan ilmu dalam Islam, kata dia, “ilmu adalah Islam”. Allahu a’lam bis showab.*
Mahasiswa Jurusan Aqidah- Falsafah di al- Azhar, Kairo