Sambungan artikel PERTAMA
Perppu Ormas dan Kerugian Agama
Apakah di Indonesia agama tidak menjadi korban layaknya di negara sekuler?
Jangan terlalu yakin tidak, sebab nyatanya justru bisa jadi berbalik 180 derajat. Walau bukan negara sekuler tapi nasib agama di Indonesia tidak sepenuhnya tenang. Sejumkah praktik rezim di Indonesia malah memperlihatkan agama menjadi korban sekularisasi. Di awal rezim Soeharto, contoh populernya adalah pembatasan peran politik Islam, kewajiban asas tunggal, dan alergi penguasa terhadap sejumlah simbol Islam seperti jilbab.
Fenomena yang hangat kini adalah terbitnya Perppu Ormas No 2/2017 yang dikeluarkan rezim Jokowi. Secara umum Perppu tersebut dikeluarkan untuk mengatasi problem ormas yang bertentangan dengan Pancasila. Akan tetapi, lahirnya Perppu tersebut juga berpotensi merugikan agama sebagaimana yang terjadi di negara-negara sekuler. Setidaknya ada dua poin penting mengapa Perppu tersebut bisa merugikan agama.
Pertama, tafsir terhadap Pancasila yang dilakukan partai utama pendukung rezim Jokowi, PDIP. Selama ini tokoh maupun institusi partai berlambang banteng tersebut dikenal gemar memberikan sejumlah pesan politik yang kuat beraroma sekuler. Seperti akan merevisi UU No 1/PNPS tahun 1965, mendukung Ahok (yang kerap membawa pesan-pesan sekuler) pada Pilkada Jakarta dan menentang kuat aspirasi pemimpin berdasarkan agama walaupun aspirasi tersebut bersifat sosiologis-informal. Karakter parta pendukung pemerintah yang cenderung pro tafsir sekuler atas Pancasila jelas bisa merugikan agama dalam sejumlah aspek termasuk efek dari Perppu Ormas No 2/2017.
Baca: LBH Street Lawyer: Perppu Ormas Tak Penuhi 3 Syarat Parameter MK
Kedua, Historitas Perppu Ormas jelas diawali dari kekhawatiran pemerintah atas fenomena radikalisasi agama dari ISIS hingga organisasi yang dianggap anti Pancasila. Belum terdengar kubu pemerintah demikian was-was dengan maraknya praktik homoseksual atau tafsir Pancasila yang disusupi sekularisme. Padahal demikian jelas dua gagasan yang cukup masif disebarluaskan itu bukankah pengajawantahan nilai Pancasila, bahkan menikam Pancasila dari belakang.
Historitas tersebut diperkuat dengan ditambahkannya makna anti pancasila dalam Perppu Ormas. Awalnya, pada bagian penjelasan Undang-undang Ormas No 17/2013 makna ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila adalah ateisme, marxisme/leninisme. Kemudian penjelasan tersebut diperluas oleh Perppu Ormas menjadi “paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan UUD 1945”: “Yang dimaksud dengan “ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila’ antara lain ajaran ateisme, komunisme/marxisme-leninisme, atau paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Dugaan kuat, munculnya poin penjelasan tersebut berrelasi dengan pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia. Sebab, memang pemerintah getol sekali membidik ormas yang identik dengan gagasan khilafah ini dengan tuduhan berniat mengganti ideologi negara. Pertanyaannya adalah mengapa gagasan seperti homoseksualisme dan sekularisme tidak masuk menjadi poin tambahan penjelasan pada Perppu Ormas? Jawaban yang paling rasional adalah karena pemerintah memang tak serius membidiknya.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Dengan kecenderungan sekularitas PDIP dan telaah historitas Perppu Ormas sangat wajar bila muncul dugaan dan prediksi bahwa Perppu Ormas tidak akan menyasar organisasi penyebar homoseksualisme, sekularisme dan paham lain yang dilawan agama yang lahir dari rahim liberalisme. Sebab, fakta politik dan backgroud lahirnya Perppu Ormas memang tidak lahir dari kekhawatiran terhadap isme tersebut. Lalu dimana kerugian agama terletak? Itu bisa dilihat dari sikap pemerintah nanti bila terbukti melakukan seleksi tafsir atas organisasi yang dianggap anti Pancasila. Bila pemerintah mendiamkan dan pura-pura tuli terhadap eksistensi kelompok penyebar homoseksualisme dan sekularisme, maka di situlah agama kembali menjadi korban rezim yang mengaku-aku pancasilais tapi abai terhadap makna Pancasila itu sendiri.*
Mahasiswa Magister Islamic Studies, konsentrasi Agama dan Politik, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta