Oleh: Muhammad Iswardani Chaniago
SETELAH menjalani proses panjang konflik keagamaan bahkan perang, Barat mulai menapaki jalan sekularisasi. Satu negara dengan negara lain menjalaninya dengan cara yang tidak tunggal. Namun, ada semacam kepercayaan diri yang nyaris sama di Barat yakni sekularisasi diyakini membawa pencerahan.Peradaban yang tadi terbelakang mulai menatap masa depan dengan langkah sekuler yang dipandang berkemajuan.
Perkembangan sekularisasi di tengah kehidupan peradaban memberi dampak tersendiri yang cukup membekas sekaligus memakan korban. Di antara korban yang paling menderita akibat sekularisasi adalah agama. Ini wajar, karena sekularisasi hadir sebagai reaksi atas agama dengan pelbagai fenomenanya sekaligus menjadi kritikus paling keras -setidaknya pada derajat tertentu. Maka tak aneh bila agama adalah pihak yang paling merasakan kekerasan tamparan sekularisasi.
Akan tetapi, tidak semua sarjana setuju bahwa agama adalah korban sekularisasi yang paling menderita. Adalah Graeme Smith yang bisa dikatakan mengambil posisi demikian. Dalam karyanya, A Short History of Secularism, Ia justru memiliki sikap yang lebih positif terhadap sekularisasi dan relasinya dengan agama. Dalam pandangannya, eksistensi agama -khususnya Kristen- tidak sedang menjadi korban sekularisasi, melainkan tengah mempraktikkan sebuah ekspresi akhir kristianitas. Kristianitas tidak sedang dikorbankan, tetapi tengah mengalami semacam metaformosis yang adaptif terhadap sekularisasi. “Secularism in the West is the new manifestation of christianity,” tulis Smith.
Meskipun begitu, apa pun alasan dicari sejumlah fakta tak dapat dipungkiri bahwa sekularisasi menjadikan agama sebagai korban. Di Prancis nasib agama dengan segala anasirnya cukup tragis. Institusi agama mengalami kerugian baik materil maupun immateril. Mereka pernah merasakan getirnya penjara dan persekusi. Aset mereka berupa tanah juga pernah diambil alih untuk membayar utang negara. Institusi agama pun kehilangan keistimewaan yang dinikmati di masa monarki. Sampai kemudian pada tahun 1791 negara diharamkan mendukung dan mensubsidi agama via disahkannya konstitusi baru Prancis. Itulah yang mendasari keluarnya peraturan yang membolehkan praktik perceraian di Prancis yang sebelumnya dilarang oleh Gereja Katolik.
Di era Napoleon nasib agama sedikit membaik setelah ditandatanganinya Concordat tahun 1801. Agama Katolik mendapat subsidi negara dan dijadikan agama resmi, meskipun sejumlah konsekuensi harus ditanggung seperti kewajiban untuk tidak menuntut kepemilikan gereja yang telah diambil negara.
Di era modern, Prancis nyaris mengadopsi habis pola sekularisasi awal-awal revolusi yang lumayan keras terhadap agama. Hasilnya simbol-simbol agama tidak bisa masuk ke ranah publik. Inilah sekularisasi dengan model french republican yang dipandang tidak ramah terhadap agama dibandingkan model anglo-american. (Ahmet T. Kuru, Secularism and State Policies toward Religion: 2009, 139)
Di Amerika Serikat geliat sekularisasi yang makin marak juga memberi dampak yang luar biasa. Tren AS tengah berjalan di rel sekularisasi diulas sejumlah ilmuwan. Di awal 2000-an Pippa Norris dan Ronald Inglehart dalam Sacred and Secular: Religion and Politics Worldwide masih melihat kecenderungan sekularisasi pada masyarakat AS, kendati religiusitas juga masih eksis. Ini diperkuat dengan hasil pemilu pilpres AS dimana dukungan politik kepada Hillary Clinton dari partai demokrat yang cenderung sekuler-liberal masih kokoh. Meskipun kalah electoral vote ia mengungguli Donald Trump dalam popular vote dengan selisih lebih dari 2 juta suara.
Sekularisasi tingkat masyarakat juga berbanding lurus dengan sekularisasi pada level negara. Pada level ini AS dikenal dengan model sekularisme anglo-american yang konon lebih ramah terhadap agama. Namun, apakah model ini tidak mengorbankan agama? Belum tentu.
Baca: 17 Ormas Islam akan Ajukan Judicial Review Perppu yang Dinilai ‘Anti Islam
Setidaknya ada dua elemen penting dalam relasi agama-negara di negara sekuler termasuk Amerika Serikat (AS). Pertama adalah aspek dukungan negara (establisment). Kedua adalah kebebasan beragama (free exercise). Dalam konteks sekularisme AS elemen yang paling merugikan agama berada pada ranah establishment. Di sini negara mencabut semua dukungannya terhadap agama. Awalnya prinsip no establishment hanya pada lingkup diskriminasi. Artinya regulasi yang dibatalkan Mahkamah Agung AS (Supreme Court) hanya saat regulasi itu mendiskriminasi agama tertentu, namun kemudian meluas menyorot pada regulasi yang menyentuh agama secara umum meski tidak mendiakriminasi. Oleh sebab itu, banyak putusan Mahkamah Agung AS yang menjadikan agama sebagai korbannya. Misalnya kasus yang menarik adalah pembatalan sejumkah regulasi negara bagian yang mengajarkan teori penciptaan dan melarang teori evolusi di sekolah. Seperti yang yang terjadi pada kkasus Epperson v Arkansas (1968) dan Edward v Aguillard (1987). Terakhir Supreme Court melegalisasi praktik LGBT sebagai sesuatu yang konstitusional di AS. Fenomena ini jelas merupakan pukulan telak bagi kelompok agama di AS yang sangat menentang LGBT.* klik >>> (BERSAMBUNG)