Oleh: Ahmad Kholili Hasib
Agama Islam berkembang pesat di Kepulauan Nusantara dan diresapi oleh para penduduknya berlangsung secara gradual dan terencana dengan baik. Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, pakar sejarah Melayu, mengatakan: “The spread of Islam by these Arab missionaries in the Malay world was not a haphazard matter, a disorganized sporadic affair … It was a gradual process, but it was planned and organized and executed in accordance with timelines and situation.” (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Historical Fact and Fiction,hal. 32).
Menurutnya, penyebaran Islam di Nusantara ini bukan dilakukan secara sambilan, tetapi direncanakan secara matang oleh dai’-da’i hebat.
Pendapat yang berkembang selama ini, pembawa agama Islam di Nusantara adalah pedagang. Dalam sejarah, telah tercatat banyak sekali pedagang yang singgah di kepulauan Nusantara, dari Aceh hingga Maluku. Bahkan, Mansour Suryanegera, pakar sejarah, mengatakan para pelaut dari China, India dan Arab sudah ada yang singgah di bumi Nusantara sudah sejak lama sebelum lahir Islam.
Tetapi, apapun latar belakang profesi penyebar agama Islam di Nusatara itu, mereka adalah ulama, muballigh yang sengaja datang membawa cahaya Islam.
Salah satu kunci sukses besar pada pendakwah itu adalah metode Islamisasi tanpa paksaan, flesibel dan menyatu dengan pribumi. Pendekatan yang dikembangkan cenderung kepada ajaran-ajaran sufistik dan kultural.
Abdul Hadi WM berpendapat, perkembangan Islam di Nusantara sebagai ‘perembesan secara damai’. Dalam berhadapan dengan nilai-nilai budaya masyarakat Islam di Indonesia tidak langsung berkonfrontasi, melainkan berdialog secara terus-menerus dan penuh kesabaran (Abdul Hadi WM,Islam, Cakrawal Estetik dan Budaya, hal. 291).
Karena diresapi oleh nilai-nilai Islam melalu jalur sufistik, kebudayaan Nusantara mengalami perubahan yan bermakna dan mantap.
Jadi, ajaran-ajaran tauhid, akhlak, dan pandangan-pandangan Islam masuk melalui jalur metafisika tasawuf. Jalur ini terbukti efektif untuk penduduk kepulauan Nusantara.
Hal ini dikatakan oleh Prof. Al-Attas: “Islam data ke kepulauan ini dalam kemasan metafisika sufi. Melalui tasawwuf-lah semangat beragama yang berunsur intelektual dan rasional masuk ke dalam pemikiran masyarakat, menimbulkan kebangkitan rasionalisme dan intelektualisme yan tidak kelihatan pada masa pra-Islam” (Islam dan Sekularisme, hal. 212).
Tradisi dan kebudayaan berbau mitologis peninggalan anismisme-dinanisme dan hindu-budha tergeser secara mendasar oleh intelektualisme tasawwuf. Ajaran-ajaran metafisika sufi seperti konsep-konsep Tuhan, wujud, eksistensi, waktu, agama, dan konsep manusia mengantar penduduk pribumi kepada pembaharuan pola pemikiran dan pandangan hidup.
Selain itu, kepercayaan animisme-dinamisme lokal yang menonjolkan mitos dan kecenderungan pada kesaktian. Maka, ketika para pendakwah Islam dan walisongo memiliki kelebihan di luar kebiasaan (khariq al-‘adah) semakin mudah diterima pribumi. Dari jalur ini kemudian mitologi hindu-budha di-islamkan.
Ada kecenderungan, para sufi yang berprofesi dagang bergerak lebih aktif dan memiliki rencana matang untuk pergi negeri-negeri Timur. Kaum Sufi dari Timur Tengah pada abad ke-12 yang berlayar ke Timur dikenal memiliki kelebihan pengetahuan tentang agama, bahasa, adat-istiadat dan sistem politik negeri-negeri Timur meliputi India dan Asia Tenggara.
Jadi, mereka datang dengan bekal pengetahuan matang tentang segala hal tentan dunia Timur. Pengetahuan sosiolois dan antroplois dipelajari secara matang sebelum pergi ke Timur. Khususnya kemampuan bahasa Melayu.
Ada kemungkinan, mereka terlebih dahulu melakukan riset secara serius. Hal itu tampak dari pilihan yan tepat bahasa yang mereka gunakan dalam pendekatan dakwah Islam. Bahasa Melayu saat itu merupakan bahasa yang belum tersentuh oleh pandangan hidup dan konsep-konsep hindu-budha. Bahasa ini dianggap murni. Serta, tidak banyak digunakan oleh penduduk Nusantara.
Berbekal pengetahuan tentang adat-istiadat dan bahasa Melayu, pendakwah Islam dengan mudah mendirikan lembaga-lembaga pembinaan. Dengan jalur metafisika sufi, adat-istiadat terislamkan. Bahasa Melayu pun identik dengan istilah-istilah Arab-Islam, sehingga akhirnya menjadi lingua franca di bumi Nusantara.
Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas mengatakan:“Abad-abad ke-enam belas dan ke-tujuh belas suasana kesuburan dalam penulisan sastera falsafah, metafizika dan teologi rasional yang tiada terdapat tolak bandinganya di mana-mana dan di zaman apa pun di Asia Tenggara. Penterjemahan al-Qur’an yang pertama dalam bahasa Melayu telah diselenggarakan beserta syarahannya yang berdasarkan al-Baydawi; dan terjemahan-terjemahan lain serta syarahan-syarahan dan karya-karya asli dalam bidang falsafah, tasawuf dan ilmu kalam semuanya telah diselenggarakan pada zaman ini juga”( Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, hal.45).
Bersila di Negeri Kāfūr: Kehadiran Pedagang Muslim di Nusantara sebelum Abad ke-10 Masehi [1]
Sunan Bonang menulis kitab tasawwuf berjudul Suluk Wijil. Ia juga mendirikan semacam padepokan, yang kelak disebuk pesantren mendidik santri-santrinya dengan ketrampilan hidup. Di situ, Sunan Bonang berhasil mengislamkan banyak bangsawan Hindu yang berasal dari Majapahit (Abdul Hadi WM,Islam, Cakrawal Estetik dan Budaya, hal. 291).
Para sufi penyebar agama Islam sangat aktif melakukan ‘training’ kepada pribumi. Melatih ketrampilan pertanian, perdagangan dsb. Seorang pengembara dari Portugis bernama Tome Pires menceritakan pengalamannya pada saat berkunjung ke Jawa dan Sumatera pada abad ke-16, “Para kaum sufi itu sangat aktif menjalankan organisasi dagang dan mengajarkan ilmu pertukangan atau seni kerajinan kepada pengikut-pengikutnya. Karena itu tidak mengherankan apabila pengaruh Islam begitu kuat pada perkembangan seni ukir, batik, kaligrafi, musik dan sastra di pesisir tanah Jawa.
Hamzah Fansuri, asal Aceh, seorang ahli tasawuf dan filsafat Islam disebut sebagai orang yang pertama yang menggunakan bahasa Melayu dengan secara rasional dan sistematis-filosofis. Ia pernah melakukan perjalanan intelektual dari Asia Tenggara, India hingga Timur Tengah. Hamzah Fansuri sendiri dalam thariqah tasawufnya mengikuti thariqah Qadiriyah, thariqah yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani.
Di Aceh juga terdapat ulama hebat, Nuruddin al-Raniri, ulama berasal dari Gujarat datang ke Aceh untuk melakukan islamisasi. Ia seorang sufi yang memiliki darah keturunan Ali bin Abi Thalib dari jalur Hasani. Dari segi ilmu tasawuf, al-Raniri memiliki dua jalur sanad tariqah. Pertama Sayyid Umar Al-Idrus, pemimpin tariqah Ba’alawi di India pada zamannya. Kedua, dia memiliki sanad Tariqah Rifaiyyah dan Qodiriyyah. Dia juga pernah belajar di Hadramaut, pusat dan tempat lahir tariqah Ba’alawi. Tariqah inilah yang banyak mempengaruhi pemikiran Nuruddin al-Raniri.
Setelah masa kolonialisme, thariqah Ba’alawi berkembang pesat di Indonesia dan Malaysia. Thariqah yang diantuk komunitas habaib/sayyid serta para pengikutnya ini membentuk komunitas-komunitas membaca dzikir, kajian kitab dan lembaga-lembaga pendidikan suluk. Karakternya yang mengedepankan adab, dan tidak terlalu kaku dalam pengamalan thariqah (tanpa kewajiban baiat) menjadikan tariqah ini berkembang pesat diikuti setiap lapisan masyarakat pedesaan dan perkotaan.
Ajaran dan amaliyahnya yang merupakan perpaduan antara tasawuf imam al-Ghazali dan tariqah Syadziliyah dikemas dalam bentuk pengamalan yang mudah bagi kalangan umum umat Islam. Tariqah ini menjauhi hal-hal rumit yang bisa membingungkan Muslim awam.
Dengan pendekatan ini, Islam lebih mudah dikenal dan disebarkan kepada penduduk pribumi Nusantara. Jalur metafisika sufi, terbukti lebih mudah ‘menembus’ benak penduduk Nusantara. Jadi, tasawwuf berhasil mengubah pandangan alam pribumi Nusantara. Dari mitologs diubah menjadi rasionalis. Dari animistis digeser menjadi Islamis.*
Penulis adalah dosen INI Dalwa Bangil-Pasuruan