Oleh: Wildan Hasan
BANYAK yang mengatakan, saat ini, kita semua berada di akhir-akhir zaman. Fase yang dekat dengan saat semua amal diperhitungkan lalu dengannya kita mendapatkan rahmat Allah di Surga-Nya atau azab Allah di Neraka-Nya.
Apa yang harus kita lakukan di masa seperti ini? Masih pentingkah kita menyiapkan generasi penerus?Apakah sudah terlambat dan tidak ada waktu lagi?
Tentu saja penting dan masih ada waktu. Selain karena itu adalah tugas dan amanah kehidupan, juga karena kita tidak tahu kapan kiamatnya akan datang. Sehingga menyiapkan generasi tidak terbatasi oleh masa apapun meski itu adalah masa akhir zaman.Mari kita perhatikan hadits yang diriwayatkan oleh Anas Radhiyallohu ‘Anhu dari Rasulullah ﷺ
“Sekiranya hari kiamat hendak terjadi, sedangkan di tangan salah seorang di antara kalian ada bibit kurma maka apabila dia mampu menanamnya sebelum terjadinya kiamat maka hendaklah dia menanamnya.” (HR. Imam Ahmad 3/183, 184, 191, Imam Ath-Thayalisi no.2068, Imam Bukhari di kitab Al-Adab Al-Mufrad no. 479 dan Ibnul Arabi di kitabnya Al-Mu’jam 1/21 dari hadits Hisyam bin Yazid dari Anas Radhiyallahu ‘Anhu). M Natsir menulis buku khusus terkait hadits ini dengan judul “Tebarkan benih itu dalam keadaan bagaimanapun juga”)
Dalam konteks yang kita bahas ini, bibit atau benih dalam hadits tersebut adalah generasi muda. Murid-murid dan anak cucu kita, adalah benih yang harus disiapkan untuk mampu ‘bertarung’ di akhir zaman yang tantangan dan problematikanya bisa jadi jauh lebih berat daripada problematika hidup kita saat ini.
Untuk itulah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu mengatakan; “Didiklah anak-anakmu dengan baik karena mereka akan hidup pada zaman yang berbeda dengan zaman kalian”.
Tidak ada cara yang lebih baik dalam menyiapkan generasi terbaik di akhir zaman selain pendidikan.
Mohammad Natsir dalam bukunya Capita Selecta (jilid 1hal 79) menyebutkan bahwa: “Maju atau mundurnya salah satu kaum bergantung sebagian besar kepada pelajaran dan pendidikan yang berlaku dalam kalangan mereka itu. Tak ada satu bangsa yang terbelakang menjadi maju melainkan sesudahnya mengadakan dan memperbaiki didikan anak-anak dan pemuda-pemuda mereka”
Namun pendidikan tidak sembarang pendidikan.Selain pendidikan harus diniatkan dan bernilai ibadah pun pendidikan menurut Natsir harus memiliki ruh intiqod (mental dansikap kritis-pen). (Prof. Dr. Syed Mohammad Naquib Al Attas menyebutnya dengan istilah “Spirit of inquiriy”)
Ruh Intiqodadalah kekuatan menyiasat dan menyelidiki kebenaran yang ditanamkan oleh agama Islam dalam dada tiap-tiap putera Islam. (M. Natsir, Capita Selecta, jilid 1, hal.31)
Bagi Natsir, ruh intiqod mendidik generasi agar dengan optimal mampu menggunakan akalnya dalam melakukan penelitian, pengkajian dan pendalaman dengan baik serta menjauhkan generasi dari taklid buta dari perkara apapun.Natsir mendasari pemikirannya ini kepada salah satu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Dan janganlah kamu ikuti begitu saja apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya, karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati itu semuanya akan ditanya (dimintakan pertanggungjawaban)”. (QS: Al Isra: 36)
Natsir mengkritik keras sebagian umat Islam yang semula hidup penuh semangat juang dan pengorbanan menjadi manusia yang berjiwa kerdil, pesimistik, dan merasa kurang berharga, kurang kuat, kurang hebat dan kurang cerdas (inferiorty complex).
Natsir menyebut mereka “Bagaikan ruh yang tunduk ringkuk, penyembah kubur dan tempat-tempat keramat, menjadi budak jimat dan air jampi. Tangan yang tadinya begitu giat menyelidik, memeriksa alam supaya memberi manfaat kepada umat manusia, lalu terkulai tak ada himmah, selain menghitung untaian tasbih penebus bidadari di dalam Surga…!” (Capita Selecta, hal.33)
Padahal umat Islam ditakdirkan untuk menjadi umat terbaik bagi manusia. Allah Taala berfirman: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”(QS: Ali Imran / 3 : 110)
Digambarkan oleh Natsir para ilmuwan Islam masa lampau yang telah menghantarkan peradaban Islam ke puncak kejayaannya adalah hasil dari ruh intiqod yang kemudian mendorong pencerahan dan kemajuan peradaban Barat. Natsir tegas mengatakan bahwa itu semua terwujud “Tak lain yang mendidik kami sampai demikian, adalah agama kami yakni agama fitrah, agama yang cocok dan selaras dengan fitrah kejadian manusia.” (Capita Selecta, hal.33).
Oleh karena itu Natsir menegaskan bahwa tidak ada pertentangan antara wahyu dengan ilmu.Wahyu memandu ilmu sehingga melahirkan kemajuan kebudayaan dan teknologi manusia yang beradab dan maslahat bagi kehidupan manusia dan alam di sekitarnya.
Melihat perkembangan pendidikan kita saat ini yang bertahan dibudaya menghafal dan indoktrinasi, budaya literasi yang amat rendah, semangat berdiskusi mengkaji dan meneliti yang lemah bahkan cenderung dihindari, menunjukkan bahwa kita masih jauh untuk mampu mengembalikan kejayaan peradaban kita di masa kini.Inilah yang harus dengan seksama kita fikirkan dengan serius bagaimana mentransformasi dan mengaplikasikan ruh intiqod dengan realitas dan tantangan zaman saat ini.
Indonesia sendiri diperkirakan pada tahun 2030 an akan mengalami ledakan demografi yang cukup signifikan. Pada tahun tersebut jumlah generasi muda 60% lebih dari seluruh jumlah penduduk Indonesia.Dimana kita menyadari bahwa wajah dan nasib bangsa ini ke depan akan ditentukan oleh generasi muda saat ini.
Hancur dan berjayanya negeri kita bermula dari bagaimana kita mendidik generasi muda saat ini.Jika model pendidikan yang berlaku saat ini terus dipertahankan, model pendidikan yang kosong dari ruh intiqod maka dapat dibayangkan akan seperti apa generasi muda kita di masa depan saat mereka menerima estafeta kepemimpinan untuk mengurus dan mensejahterakan penduduk negeri.
Intiqod atau Spirit of Inquiriy
Saat ini umat Islam kehilangan motif yang dulu menjadi supremasi kejayaan peradaban umat Islam yakni semangat penelitian dan pengkajian.
Semangat keilmuan dan akademik.
Lemah bahkan hilangnya semangat membaca, menulis, diskusi, seminar, bedah kasus, riset, problem solving, eksperimen, observasi dan sebagainya.
Hampir semua orang saat ini menyukai sesuatu yang serba instan, cepat tapi tidak akurat, yang wah, gemerlapan, ramaidan riuh rendah.Sedikit sekali yang mau tekun, teliti, sabar dan focus mengkaji dan meneliti sesuatu.
Kita membutuhkan kelompok-kelompok kajian,focus group discussion, lembaga-lembaga riset untuk membedah problematika umat dan melakukan kajian serius untuk mendapatkan solusinya. Al Qur’an menyebutnya “Tafaqquh Fi ddien.”
Allah Ta’ala berfirman: “Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.” (QS: At-Taubah : 122).
Sebuah kelompok kajian/riset yang tidak banyak pesertanya tapi terpilih, cerdas, bersemangat tinggi, ikhlas, pekerja keras, tahan terhadap tekanan, visioner dan kreatif.Lembaga-lembaga seperti inilah yang menentukan keberlangsungan suatu organisasi, pergerakan, negara bahkan dunia.
Berapa jumlah orang Yahudi di dunia? Hanya 15 juta-an, tapi mereka mencengkeram dan mengendalikan dunia.Kenapa mereka mampu? Karena mereka punya keyakinan dan semangat bahwa mereka bisa, mereka unggul, mereka hebat, lalu mereka belajar, meneliti, berinovasi, membuat terobosan-terobosan. Padahal mereka kaum yang kelak akan dinistakan Allah.
Di zaman Orde Baru, lembaga riset bernama CSIS menentukan kebijakan pemerintah dalam berbagai bidang.Mereka tidak terlihat dan populer tapi mereka menentukan bahkan mematikan bagi lawan-lawannya.
Oleh karena itu nyawa-nya institusi pendidikan pun adalah lembaga risetnya (litbang).Jika sebuah lembaga atau institusi pendidikan tidak memiliki semacam biro riset atau ada tapi tidak berjalan maka tunggulah kehancurannya.Jangan sampai Ruh Intiqod ini mati dari dada –dada generasi Islam, murid-murid dan anak-anak kita, karena di tangan mereka nasib umat dan bangsa ini di masa yang akan datang. Allahu A’lam.*
Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Kota Bekasi