Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi
HARI buku Sedunia yang pertama kali dilaksanakan pada 23 April 1995 menarik untuk dicermati. Menariknya, hemat saya, karena menguatkan perintah Allah yang sejak lama menjadi diktum ilahi dalam Islam: Iqra’! Bacalah!
Wahyu Iqra’! ini menjadi bukti penting dan mendasar bagi seorang Muslim. Karena sejak awal Allah ternyata menghendaki umat Islam sebagai umat yang memiliki etos baca yang tinggi guna melahirkan ‘budaya ilmu’, dalam istilah Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud (kini Penyandang Syed Muhammad Naquib al-Attas Chair of Islamic Thought di CASIS).
Wahyu Iqra’!, sejatinya menegaskan betapa Islam itu tak sekadar agama ibadah atau ritus ritual an sich. Tetapi Islam adalah agama ilmu pengetahuan. Karena Islam tak sekadar dīn (agama), namun juga daulah (negara) bahkan tamaddun atau hadhārah alias peradaban. Sehingga kita dapat simpulkan sementara bahwa Allah inginkan umat Islam agar membangun peradaban itu berdasarkan budaya ilmu. Dan kunci utama ‘budaya ilmu’ adalah aktivitas membaca. Maka, pesan pentingnya dalam wahyu pertama itu adalah ‘membaca’ buku. Dan buku paling utama adalah Al-Quran. Karena Al-Quran, menurut Prof. Wan, adalah sumber pengetahuan. Karena semua yang ada berasal dari Tuhan, termasuk pengetahuan. Bahkan Al-Quran menunjukkan sumber-sumber pengetahuan lain, seperti: fenomena alam, psikologi manusia dan sejarah. (Lihat, Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, Konsep Pengetahuan dalam Islam, Terj. (Bandung: Penerbit Pustaka, 1417 H/1997 M), 38-39.
Baik Al-Quran, psikologi manusia dan sejarah merupakan objek Iqra’, yang tak mungkin dilepaskan dari ruang aktivitas membaca itu. Sampai di sini, seorang Muslim harus punya motivasi tinggi untuk mengawal konsistensi membaca.
Kemudian, penegasan wahyu Iqra’ itu diendors oleh satu usulan penting dunia: ‘Hari Buku’ yang setiap tanggal 23 April diperingati. Pesan di dalamnya amat penting untuk ditangkap. Minimal ada dua: ayo membaca buku dan ayo nulis buku. Kedua hal penting ini pun sudah diawali oleh wahyu Iqra’ di Gua Hira yang turun kepada Nabi Muhammad Saw. Dimana Allah Swt menyebutkan kata-kunci penting, yakni: iqra’ (proses dan aktivitas membaca), ‘allama (mengajarkan ilmu), dan qalam (pena). Jadi, ketiga hal ini harus dijalankan secara simultan. Karena tujuan akhirnya adalah ‘budaya ilmu’. Karena tidak mungkin umat ini akan sampai kepada tamaddun alias peradaban tanpa diawali dengan ‘budaya ilmu’. Karena pembinaan budaya ilmu yang bersepadu dan jitu, kata Prof. Wan, merupakan prasyarat awal dan terpenting bagi kejayaan, kekuatan dan kebahagiaan seseorang dan sesuatu bangsa. (Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, Budaya Ilmu: Satu Penjelasan (Singapore: Pustaka Nasional Pte Ltd, 2007), 12-13. Lihat juga, Prof. Dr. Wan Daud, Budaya Ilmu: Makna dan Manifestasi dalam Sejarah dan Masa Kini (Kuala Lumpur: Casis dan Hakim, 2019), 21).
Nah, sekarang timbul pertanyaan: apakah yang dimaksud dengan ‘budaya ilmu’? Dalam hal ini, mari hayati dan cermati pandangan Prof. Wan berikut.
“Budaya ilmu antara lain bermaksud kewujudan satu keadaan yang setiap lapisan masyarakat melibatkan diri, baik secara langsung mahupun tidak langsung, dalam kegiatan keilmuan bagi setiap kesempatan. Budaya ilmu juga merujuk kepada kewujudan satu keadaan yang segala tindakan manusia baik di tahap individu, apatah lagi di peringkat masyarakat, diputuskan dan dilaksanakan berdasarkan ilmu pengetahuan sama ada melalui pengkajian mahupun syura. Dalam budaya ini ilmu dianggap sebagai satu keutamaan tertinggi dalam sistem nilai pribadi dan masyarakat di setiap peringkat. Sehubungan dengan ini, budaya tersebut –dalam diri individu dan institusi berpengaruh dalam masyarakat– akan memberi keutamaan, bantuan, kemudahan dan pengiktirafan yang tinggi kepada sesiapa atau institusi yang melibatkan diri mencari dan menyebarkan ilmu pengetahuan. Selain itu, budaya ilmu, baik dalam diri pribadi atau masyarakat juga mempunyai ciri yang tidak mengiktiraf sifat jahil, bebal dan anti-ilmu. Diri dan masyarakat berbudaya ilmu akan menolak dan membenci pandangan, pernyataan, serta amalan yang tidak berasaskan ilmu dan kebenaran, tanpa mengambil kira kedudukan atau warna kulit pelakunya. Masyarakat berbudaya ilmu tidak akan dicapai jika sikap menghormati ilmu pengetahuan dan membenci kejahilan dan kebebalan, dan jika usaha-usaha menambah ilmu dan mengamalkannya dalam pelbagai bidang kehidupan dilakukan oleh segolongan kecil ahli masyarakat sahaja. Ciri-ciri tersebut harus tersebar luas dan berurat dalam setiap lapisan masyarakat.” (Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, Budaya Ilmu: Satu Penjelasan, 28; dan Budaya Ilmu: Makna dan Manifestasi dalam Sejarah dan Masa Kini, 43).
Itulah konsep ‘budaya ilmu’ menurut formulasi Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud. Dan konsepsi ini, hemat penulis, menjadi tantangan serius. Dan, tak mudah menjawabnya. Karena ia butuh kepada common will (keinginan bersama) dan common goal (target dan tujuan bersama). Kalau gerakan ini tidak sinergis dan tidak simultan, akan sulit menciptakan ‘budaya ilmu’. Karena Prof. Wan memberikan penekanan pada hal-hal mendasar, yakni: keterlibatan individu dan masyarakat dalam kegiatan keilmuan; wujudnya keadaan dalam individu apalagi masyarakat yang mendasarkan segala sesuatu kepada ilmu; adanya penilaian terhadap ilmu sebagai keutamaan tertinggi dalam sistem nilai; dan harus sudah mewujud dalam individu dalam masyarakat satu sikap membenci kejahilan, kebebalan dan anti-ilmu. Namun, tanpa ada penghormatan terhadap ilmu (apalagi ulama, pewaris nabi) dan benci kejahilan, budaya ilmu sukar terwujud.
Untuk itu, jika umat Islam kembali menyadari dan menginsyafi kemunduran peradabannya hari ini, maka harus kembali ke wahyu Iqra’ itu. Ia adalah wahyu peradaban, wahyu keilmuan, dan wahyu kebangkitan. Dari sana motivasi dan sugesti dalam menciptakan ‘budaya ilmu’ harus bermula. Jika cinta dan penghormatan terhadap ilmu sudah “membudaya”, masyarakat akan maju dan berkembang. Karena, kata Syekh Abd al-Halīm Mahmūd, prasyarat mengubah masyarakat dalam Islam dasarnya adalah ilmu, bukan kejahilan. (Lihat, Syekh Abd al-Halīm Mahmūd, Manhaj al-Ishlāh al-Islāmī fī al-Mujtama‘ (Kairo: Maktabah al-Usrah, 2003), 85-101).
Apalagi, tamaddun Islam itu, kata Prof. Wan, adalah tamaddun yang didasarkan pada wahyu. Maka, memahaminya berarti memahami dasar-dasar Islam dengan baik. Karena sumbernya wahyu, maka tamaddun Islam itu “hidup”. Karena itu ia tidak sama dengan tamaddun Yunani, Roma, Kristen, atau Mesir Kuno, dan sebagainya yang telah mati. Selain itu, tamaddun Islam juga sifatnya universal. (Lihat, Dr. Adian Husaini (editor), Rihlah Ilmiah Wan Mohd Nor Wan Daud: Dari Neomodernisme ke Islamisasi Ilmu Kontemporer (UTM-CASIS bekerjasama dengan INSISTS, 2012), 382).
Jadi, seyogianya umat Islam kembali dan merujuk wahyu Tuhannya. Karena hanya dengan kembali mengamalkan kandungan wahyu itu mereka bangkit dan berjaya. Utamanya wahyu Iqra’: wahyu membaca dan wahyu budaya ilmu. Dengan membudayanya ilmu dalam kehidupan individu dan masyarakat Muslim, Insya Allah, Islam akan kembali bangkit, berjaya dan memimpin peradaban dunia.
Terakhir, tulisan ini merupakan apresiasi saya kepada Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud atas karya-karyanya yang, diantaranya, fokus pada ilmu dan peradaban. Diantaranya adalah: Konsep Pengetahuan dalam Islam (Bandung, 1417 H/1997); Budaya Ilmu: Satu Penjelasan (Singapore, 2007); dan karya terbarunya Budaya Ilmu: Makna dan Manifestasi dalam Sejarah dan Masa Kini (Kuala Lumpur, 2019). Berkah usia dan ilmu buat Prof. Wan dan semoga karya-karyanya senantiasa mencerahkan, inspiring, dan mendorong bangkitnya peradaban Islam. Wallāhu a‘lamu bis-shawāb.[]
(Medan, Kamis: 18 Sya’bān 1440/25 April 2019)