Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Usmanul Hakim
Jika kita amati, pendapat tersebut adalah suatu kesalahpahaman, begitu tulis Dr. Syamsuddin Arif dalam Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. Para orientalis telah memandang teks secara berlebihan dan menafian tradisi hafalan. Artinya mereka memandang bahwa kaum muslimin waktu itu membaca tulisan.
Padahal sebenarnya mereka membaca hafalan yang sama yang ada di dada mereka dan telah dikonfirmasi oleh Rasulullah. Tulisan yang ditulis dengan kaidah masing-masing sahabat –yang jelas berbeda apalagi belum dikenal tittik dan harokat- digunakan sebagai alat bantu saja dalam mengingat hafalan. Tulisan bisa sediit berbeda namun bacaan tetap sama.
Masalah jumlah surat dan susunannya
Aurtur Jeffery memandang bahwa fakta perbedaan jumlah dan susunan surat bukti keaslian al-Qur’an tidak bisa dipertahankan lagi. Di antara contohnya adalah susunan mushaf milik Ubay bin Ka’ab ada 116 surat sedangkan dalam mushaf milik ibn Mas’ud ada 110 surat. Dan contoh perbedaan susnan surat dapat dilihat dalam mushaf Ibn Abbas surat alam nasrah ditempakkan pada nomor 12.
Sedangan mushaf Ubay bin Ka’ab surat alam nasyrah terdapat pada uruta ke 85. Dan masih banya contoh yang lain.
Pandangan tersebut juga terkesan serampangan. Ia tidak memperharikan proses bagaimana al-Qur’an turun. Al-Qur’an diturunan berangsur-angsur. Para sahabat tidaklah bersama Rasulullah selama 24 jam penuh, namun mereka juga pulang ke rumah, bekerja di pasar atau ladang dan lain-lain. Jadi suatu hal yang wajar jika sebagian sahabat tertinggal dalam menulis beberapa surat ataupun ayat.
Peritiwa pembakaran mushaf sahabat.
Peristiwa ini menjadi isu yang besar bagi kaum orientalis. Secara sekilas peristiwa pembakaran ini akan menimbulkan keresahan. Menurut Theodore Noldeke dalam Gesitche ada saja kemungkinan ayat yang ikut terbakar. Hal inilah yang dijadikan alasan logis menafikan keabsahana-Qur’an.
Selain itu Aurtur Jeffery memandang bahwa mushaf usmani mengandung cacat permanen.
Menurutnya panitia dan proses kodifiasi yang manusiawi penuh dengan aib. Kemungkinan salah tetap ada, perubahan dalam redaksi al-Quran menjadi mungkin. Penentuan ayat-ayat yang mansuh (terhapus) menjadi tanda tanya. Bahkan jangan-jangan ada ayat atau surat yang tidak ditulis. Christoph Luxemberg berpendapat bahwa semua ini adalah bagian politik Usman ibn Affan r.a. untuk mempertahankan supremasinya semata.
Adanan Muhammad Zarzur dalam Ulumul Qur’an Madkhal ila tafsiril Qur’an wa bayani I’jazihi menolak semua tuduhan itu. Peristiwa pembakar adalah untuk menyatukan ummat dalam satu kitab suci dan sekaligus sebagai langkah prepentif dari kemungkinan penyelewangan. Langkah itu telah disetujui (ijma’) oleh ummat Islam waktu itu. Dan nyatanya ummat Islam di seluruh dunia sampai hari ini bersatu dalam satu mushaf.
Anggapan bahwa kepanitiaan dan proses kodifikasi cacat tidak berdasar. Terait dengan panitia. Anggota panitia adalah para penulis wahyu pada zaman Rasulullah. Mereka merupakan sahabat utama nabi, yang termashur dengan kebaikan akhlaknya. Prof. Dr. M.M Azami dalam bukunya The History The Qur’anic Text, adalah penghinaan yang kasar dan tidak berdasar tuduhan yang mengatakan bahwa sahabat berbohong dalam perkara sebesar kodifikasi Al-Qur’an.
Mereka melakukan proses kodifikasi dengan ketat, bukan hanya tulisan, tetapi juga hafalan, mendatangkan saksi, memperhatikan sanad, harus dengan sumpah dan dibacakan di depan para huffazd, quraa’ dan masyarakat umum sebagai konfirmasi.
Sesungguhnya kekeliruan mendasar bagi para orientalis adalah mengabaikan tradisi hafalan kaum muslimin. Mereka sengaja mengabaikan atau pura-pura tidak tahu bahwa tradisi hafalan sebagai dalil tak terbantahkan atas otentitas al-Qur’an. Ia juga berperan sebagai konfirmasi terpenting dalam kodifikasi al-Qur’an.
Setelah kita telaah lebih dalam, nampaknya metode seperti itu telah digunakan dalam studi bible. Al-qur’an diperlakukan seperti bible yang memang bermasalah pada teks maupun penulisnya. Bible ditulis ratusan tahun sesudah wafatnya nabi Isa a.s. Ia ditulis oleh orang yang tidak jelas kredibilitasnya. Kontainnya pun tidak dapat dijamin asli, karena bermasalah pada sanadnya (garis riwayatnya). Hal ini tidak terjadi dalam al-Qur’an.
Bila lebih jauh lagi kita telusuri, ternyata akar dari semua itu adalah kedengkian para orientalis dan sikap iri mereka terhadap Islam. Mereka tidak rela melihat Islam berjaya. Namun disisi lain, ada sebagian umat Islam yang malah berbaik hati kepada mereka. Mereka mengagumi dan mematuhi setiap ucapan para orientalis melebihi ucapan nabinya. Padahal ini adalah jebakan agar umat Islam meragukan al-Qur’an dan mengikuti jalan sesat mereka. Bukankah Allah telah memperingatkan kita dalam firman-Nya ?
و لن ترضى عنك اليهود و لا النصارى حتى تتبع ملتهم (البقرة : (120
“Dan sungguh Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah ridho kepadamu sampai kalian mengikuti agama mereka.” ( QS: Al-Baqarah :120).
Penulis adalah peserta Program Kaderisasi Ulama –PKU IX Unida Gontor