Oleh: Tohir Bawazir
Hidayatullah.com | BULAN suci Ramahan masih beberapa pekan lagi kehadirannya, namun organisasi Muhammadiyah telah lebih dahulu menetapkan bahwa awal bulan Ramadhan tahun 1441 H akan jatuh pada tanggal 24 April 2020, dan Idhul Fitri akan jatuh pada tanggal 24 Mei 2020 M. Padahal Dewan Hisab Rukyat Republik Indonesia yang bekerjasama dengan Kementrian Agama RI, belum bekerja untuk melakukan Sidang Isbat untuk menentukan kapan dimulai bulan suci Ramadhan.
Apakah dalam hal ini Muhammadiyah bisa dibilang nglancangi wewenang pemerintah karena mendahului sikapnya soal menentukan awal bulan Ramadhan? Belum lagi nanti kalau hasil keputusan Dewan Hisab Rukyat pemerintah RI tidak sama dengan hasil ijtihad dari Muhammadiyah? Ada kemungkinan umat Islam Indonesia akan terbelah lagi dalam pelaksanaan puasa dan lebarannya.
Masalah perbedaan penentuan awal bulan Qamariah (baik Ramadhan, Syawal maupun Dzulhijjah) sudah lama terjadi, bukan saja di Indonesia, tetapi di wilayah dunia Islam lainnya.
Adanya perbedaan hasil perhitungan karena perbedaan penggunaan alat penghitungnya. Ada yang menggunakan metode rukyat dan ada pula yang menggunakan metode hisab. Selama alat penghitungnya tidak sama, tentu saja hasilnya dapat berbeda. Kontroversi penentuan awal bulan Qamariah, sesungguhnya sudah lama terjadi dan sangat menguras emosi dan energi masyarakat. Bagaimana tidak! Jika ada sebagian umat Islam yang sudah menjalankan ibadah puasa dan shalat tarawih, namun pada sebagian masyarakat Islam lainnya masih belum.
Ada yang sudah berlebaran dan mengumandangkan takbir, tetapi ada sebagian lain yang masih menjalankan puasa karena pemerintah belum memutuskan hari lebaran. Ada yang sudah menikmati ketupat lebaran, namun sebagian masyarakat lainnya masih berlapar-lapar puasa. Bisa pula ada sebagian masyarakat yang masih dalam perjalanan mudik, ternyata hari lebaran sudah tiba.
Apakah pemerintah dan seluruh ormas Islam belum bisa menyepakati menggunakan satu metode saja, agar segera disudahi polemik ini yang sudah berjalan selama bertahun-tahun? Untuk itu, sekarang kita coba melihat dan membandingkan metode mana yang dirasa lebih tepat dan efektif untuk dipakai dan meninggalkan metode lainnya yang dirasa sudah kurang relevan lagi, agar umat Islam Indonesia dapat seia sekata.
Metode Rukyat
Rukyat berasal dari bahasa Arab, artinya melihat, mengamati, memperhatikan dan mengobservasi. Dalam konteks penentuan awal bulan Qamariyah (ada 12 bulan, yang diawali dengan bulan Muharram dan diakhiri bulan Dzulhijjah) adalah aktivitas pengamatan terhadap penampakan hilal (bulan sabit), yang dilakukan di waktu terbenamnya matahari.
Pengamatan ini dilakukan di tanggal 29 (akhir bulan) untuk melihat apakah hari esok sudah masuk bulan baru (apabila hilal terlihat) atau belum (apabila hilal tidak terlihat). Kalau hilal terlihat berarti umur bulan itu hanya 29 hari saja dan esok hari sudah memasuki bulan baru, sebaliknya,kalau hilal tidak terlihat, berarti umur bulan itu ada 30 hari.
Upaya rukyat, pada masa terdahulu hanya dapat dilakukan dengan menggunakan mata telanjang, namun dewasa ini sudah menggunakan alat teropong (teleskop) yang lebih modern dan lebih akurat. Menggunakan mata telanjang bisa sangat rawan keliru, karena banyak terganggu oleh faktor cuaca, polusi udara, ketinggian posisi hilal dan matahari dan kondisi atmosfir bumi.
Dasar penggunaan rukyat adalah Hadits Nabi ﷺ sebagai berikut:
“Dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Berpuasalah kalian dengan melihat hilal (Ramadhan) dan berbukalah kalian dengan melihat hilal (Syawal). Bila hilal tertutup atasmu maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” (HR. Muslim)
Dalam Hadits lainnya juga disebutkan:
“Dari Said bin Amru, bahwasanya dia mendengar Ibnu Umar dari Nabi ﷺ, beliau bersabda, “Sesungguhnya kami umat yang ummi, tidak mampu menulis dan menghitung, umur bulan adalah sekian dan sekian, kadang dua puluh sembilan hari dan kadang tiga puluh hari.” (HR. AL-Bukhari).
Dalam metode rukyat dikenal istilah Istikmal , yaitu menggenapkan hitungan bilangan bulan menjadi tiga puluh hari, apabila dalam pengamatan rukyat, hilal tidak tampak oleh pengamatan mata pada sore harinya, entah karena bulan baru belum masuk, faktor cuaca mendung maupun gangguan benda langit lainnya.
Istikmal adalah langkah kehati-hatian yang harus diambil ketika hilal tidak tampak, sebab untuk memasuki bulan baru, harus dibangun atas dasar keyakinan dan kepastian, jika belum pasti berarti bulan dianggap belum berganti.
Dalam metode rukyat, juga dikenal istilah matla’ , yaitu batas pengaruh penggunaan rukyat. Umumnya matla’ berlaku untuk satu kesatuan wilayah hukum (negara). Misalkan di Indonesia, rukyat dapat dilihat di wilayah Banten, maka hasil rukyat harus diterima di wilayah hukum lainnya seperti di Kalimantan, Sumatra dan wilayah lainnya, walaupun mungkin di wilayah lainnya, hilal tidak kelihatan. Jadi andaikata pemerintahan melakukan proses Rukyatul Hilal di berbagai propinsi di Indonesia, maka apabila ada satu wilayah yang melihat hilal, maka wilayah lainnya harus mengikuti dan menerima hasil rukyat tersebut, walaupun di wilayah tersebut hilal masih belum kelihatan.
Bisa pula makna matla’ diperluas secara regional hingga sampai negara tetangga seperti Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam. Bahkan ada organisasi Islam yang lebih ekstrim lagi sikapnya, memperluas makna matla’ hingga berlaku serentak ke seluruh dunia. Biasanya yang dijadikan patokan adalah kota Makkah.
Apabila di Makkah sudah memasuki bulan Ramadhan, maka seluruh dunia harus mengikutinya karena matla’ berlaku universal. Sikap ini tentu merepotkan bagi wilayah-wilayah di Timur Jazirah Arab seperti Indonesia ini, karena waktu kita mendahului empat jam di banding waktu di Saudi Arabia.
Bisa saja ketika di Makkah diumumkan besok memasuki bulan Ramadhan, umat Islam di Indonesia sebagian besar sudah terlelap tidur, lalu bagaimana mau menjalankan shalat tarawih dan menyiapkan makan sahurnya kalau yang bersangkutan tidak mengetahui bahwa malam ini bulan Ramadhan sudah tiba?
Sedang bagi negara-negara di wilayah barat Saudi Arabia seperti Mesir, Maroko dan negara-negara Eropa, hal ini tidak menjadi masalah, karena waktu mereka di belakang waktu Saudi Arabia.
Metode Hisab
Hisab secara bahasa artinya bilangan atau hitungan. Ilmu hisab adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang seluk beluk perhitungan. Secara maknawi, Metode Hisab adalah metode penentuan awal bulan Qamariyah yang didasarkan para perhitungan peredaran benda-benda langit, yaitu bumi, bulan dan matahari. Dengan kata lain, adalah sistem perhitungan awal bulan Qamariyah yang berdasarkan pada perjalanan (peredaran) bulan mengelilingi bumi.
Dalam litelatur klasik, ilmu hisab disamakan dengan ilmu falak (astronomi), yaitu ilmu yang mempelajari benda-benda langit, termasuk matahari dan planet-planet lainnya.
Dalam Metode Hisab, penetuan awal bulan dapat dilakukan jauh hari sebelumnya dan tidak tergantung pada terlihatnya hilal saat matahari terbenam menjelang tanggal satu bulan Qamariyah. Bahkan dalam metode hisab, penentuan tanggal bulan Qamariyah dapat dilakukan beberapa tahun sebelumnya. Sebab peredaran benda-benda langit sudah dapat dipelajari dan diukur ketepatan dan kecepatannya secara pasti.
Metode Hisab merupakan metode modern dalam menjawab perkembangan zaman dan kebutuhan mendesak umat manusia dalam menjalankan aktivitas kehidupannya. Metode ini mampu memberikan ketelitian perhitungan astronomi. Hisab dapat membantu mengetahui kapan konjungsi geosentris terjadi dan kapan eksistensi munculnya hilal. Karena Allah SWT telah menetapkan peredaran benda-benda langit untuk beredar dalam orbitnya sesuai dengan ketetapan dan perhitungannya. “Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungannya.” (QS. Ar-Rahman 5).
Peredaran benda-benda langit, beredar penuh keteraturan, tidak ada yang terlalu cepat atau terlalu lambat, sehingga dengan keteraturan itu manusia dapat menghitung bilangan tahun dan bulan secara tepat dan akurat.
Perbedaan konklusi antara metode hisab dan metode rukyat adalah menurut ahli rukyat, dalam sistem penanggalan Hijriah (penentuan awal bulan) adalah posisi hilal berada di atas ufuk pada saat matahari terbenam dan dapat dirukyat (dilihat oleh mata, minimal ketinggian hilal lebih dari 2 derajat); sedang menurut metode hisab, awal bulan cukup ditandai dengan keberadaan hilal di atas ufuk pada saat matahari terbenam, tanpa harus dapat dilihat oleh mata (walaupun masih di bawah 2 derajat).
Menurut ahli astronomi, awal bulan ditandai dengan terjadinya konjungsi atau ijtima’ al-hilal (matahari dan bulan berada pada garis bujur yang sama).
Metode Hisab Lebih Akurat
Mayoritas ulama ahli fikih dalam menentukan penentuan awal bulan Qamariyah masih berpatokan pada ilmu rukyat, baik dari ulama madzhab Syafi’i, Hanafi maupun Hambali serta ulama salaf lainnya. Walaupun pada waktu itu ada pula ulama-ulama di era Tabi’in yang sudah membolehkan menggunakan ilmu hisab, seperti Mutharif bin Abdullah, Ibnu Suraij, kemudian dilanjut oleh Ibnu Qutaibah dan beberapa ulama muta’akhirin. Apalagi di zaman Rasul sendiri, Nabi dan para shahabatnya selalu menggunakan rukyat untuk menentukan awal bulan Qamariyah.
Namun di era modern ini, setelah ilmu astronomi berkembang pesat, tren penggunaan metode hisab semakin popular dan didukung oleh ulama-ulama seperti Syaikh Rasyid Ridha, Syaikh Mustafa Al-Maraghi, Syaikh Ahmad Syakir, Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi dan banyak lagi lainnya. Bahkan dalam acara temu pakar dan ulama untuk “Pengkajian Perumusan Kalender Islam” pada tahun 2008 di Maroko, diputuskan bahwa pemecahan problematika penetapan bulan Qamariyah di kalangan kaum Muslimin tidak mungkin dapat dilakukan kecuali dengan penggunaan hisab untuk menentukan awal bulan, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat.
Syaikh Ahmad Syakir, dalam tulisannya yang berjudul Awail Asy-Syuhur Al-Arabiyyah menuliskan, “Tidak diragukan bahwa orang-orang Arab sebelum Islam dan awal permulaan Islam, tidak mengenal ilmu astronomi secara ilmiah dan definitif. Mereka adalah umat yang ummi, tidak mengenal baca tulis dan perhitungan (hisab).
Jika ada yang mengetahuinya, hanyalah sedikit pengetahuan, itu hanya untuk hal-hal yang mendasar saja yang mereka ketahui dari pengamatan sederhana. Pengetahuan mereka belum sampai pada prinsip-prinsip matematika dan teori yang didasarkan kepada premis-premis dasar yang pasti, sehingga Rasulullah ﷺ ketika itu mendasarkan penetapan awal bulan Qamariyah untuk kepentingan ibadah itu kepada sesuatu yang pasti dan konkrit (di masanya) dan paling mudah untuk dijangkau oleh kebanyakan mereka, yaitu menggunakan rukyat. Ini lebih pasti untuk menentukan prosesi ibadah mereka. Inilah cara yang lebih meyakinkan dan dapat dipercayai yang mampu mereka lakukan, sebab Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.”
Keadaan inilah yang dipahami oleh Syeikh Ahmad Syakir, seorang ulama pakar hadits, sehingga beliau mengatakan, “Saya tidak bisa memahami sekarang, sekali lagi zaman sekarang, umat Islam masih memperdebatkan hal yang seharusnya tidak perlu diperdebatkan lagi yaitu permasalahan hisab dalam penentuan awal bulan Qamariyah. Saya dahulu adalah pendukung rukyat dalam penetapan awal bulan Qamariyah, akan tetapi setelah melihat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, saya beralih kepada hisab.”
Sejatinya, perbedaan pandangan ulama dalam penggunaan metode hisab dan rukyat, akibat perbedaan persepesi memahami makna “melihat hilal” dalam hadits di atas. Apabila makna “melihat” harus dipahami secara tradisional, maka makna melihat bulan adalah melihat bulan sabit yang tampak oleh mata telanjang seperti di zaman Nabi. Namun kalau makna “melihat” diterjemahkan secara substansi, hilal adalah pertanda datangnya bulan baru yang kemunculannya bisa “dihitung” dengan metode sains modern, tanpa harus menuntut dapat dilihat oleh mata telanjang.
Sebagaimana halnya dalam penentuan waktu shalat, kalau dipahami secara tradisional, maka mau tidak mau, kita harus mengukur dan mengecek setiap harinya posisi matahari ketika mau menjalankan ibadah shalat, sebagaimana di zaman Rasulullah ﷺ dahulu melakukannya. Nyatanya, fungsi “melihat” waktu shalat sudah diganti menggunakan ilmu hisab dan menggunakan jam.
Apabila dikaitkan dengan hadits lain yang diriwatkan oleh Al-Bukhari, yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, “kami umat yang ummi….” Bahwa penggunaan rukyat di masa Nabi untuk menentukan awal bulan Qamariyah mengandung illat (alasan) yaitu Nabi di masa itu dalam keadaan ummi (masih buta huruf, belum memiliki ilmu hisab). Sehingga ketika zaman sudah modern, dan ilmu astronomi sudah sedemikian maju, sudah seharusnya menggunakan metode lain yang lebih tepat dan akurat. Sehingga ada pernyataan, tidakkah seyogyanya penggunaan rukyat ditinjau kembali, karena faktor ummi yang melatarbelakangi makna dalam hadits itu sudah tidak ada lagi?
Boleh jadi Nabi berpesan kepada kita, cara rukyat adalah metode ‘sementara’ yang mampu dan sesuai digunakan pada saat itu, namun setelah ada ilmu pengetahuan modern yang lebih meyakinkan, silakan menggunakan cara hisab yang lebih akurat.
Kalender adalah sarana perhitungan waktu yang terus bergulir tanpa henti, hingga dunia ini nanti berakhir. Kehadiran sebuah kalender yang pasti, adalah merupakan keharusan sebuah peradaban. Bagaimana pun kalender adalah hasil kesepakatan manusia. Karena dengan kehadiran sebuah kalender, seluruh catatan kebesaran sebuah peradaban akan termaktub.
Namun yang unik, ketika umat Islam di era modern ini, untuk menentukan awal bulan Qamariyah harus selalu me-rukyat setiap bulannya, bukan menggunakan kalender. Padahal dengan ilmu hisab hal itu sudah tidak diperlukan lagi karena sudah bisa dihitung jauh hari sebelumnya. Apalagi untuk menentukan awal ibadah Puasa Ramadhan dan awal Idhul Fithri serta ibadah haji di bulan Dzulhijjah, harus melalui prosesi merukyat yang sangat menegangkan, terbatas waktunya (hanya sekitar lima belas menit waktu merukyat), sering terganggu cuaca, bahkan hasilnya dapat di luar persepsi masyarakat yang berdebar menunggunya. Akibatnya hasil rukyat dapat menimbulkan sikap polemik di masyarakat yang selalu berulang sepanjang tahun.
Menurut hemat penulis, tidak salah jika Muhammadiyah, jauh hari sebelumnya sudah berani mengumumkan kapan jatuh tanggal bulan suci Ramadhan dan Idhul Fitri. Menurut pendapat saya, hal itu bukan sikap terburu-buru, karena teknologi saat ini sudah mendukung untuk melakukan hal itu. Sehingga energi umat dapat dialokasikan untuk hal lainnya. Wallahu ‘Alam.*
Penulis pemerhati sosial, tinggal di Jakarta
Baca juga artikel terkait: Antara Hisab dan Rukyah