Agama adalah moral, etika, sosial dan keyakinan. Dengan adanya moralitas dalam bernegara maka masyarakat akan hidup tentram, saling mengasihi dan toleransi
Oleh: Elvan Syaputra
Hidayatullah.com | AGAMA dan moralitas, merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan dalam suatu negara (one body unity). Secara bahasa, moral disebut juga morality.
Moralitas atau sering disebut ethos, merupakan sikap manusia yang berkenaan dengan hukum, moral yang didasarkan oleh sebuah kebebasan. Menurut Zakiah Drajat salah seoang pakar pendidikan (1995:63) moral berasal dari perkataan mores (latin) yang diartikan sebagai kebiasaan atau adat kebiasaan, kebiasaan yang baik dalam kehidupan hendaknya senantiasa menyelaraskan dengan kehidupan yang umum dan universal.
Suatu tindakan yang baik secara moral merupakan tindakan kebebasan manusia menginformasikan nilai etis objektif, dan yang mengafirmasikan hukum moral. Begitu pula dengan buruk secara moral, adalah sesuatu yang bertentangan dengan nilai etis dan hukum moral. (lihat (QS: Asy-Syams).
Suatu tindakan bebas, dikatakan tidak peduli (indeteren) secara moral kalaupun ia tidak baik atau tidak buruk yang berkenaan dengan objeknya. Sumber dari seluruh kepatutan dan ketidak patutan moral adalah, keputusan bebas kehendak (free decision will), kemudian sikap bijak (attitude wise) yang ditimbulkan dari keputusan bebas tersebut, dan kedua pribadi atau subjek moral (moral subject).
Akhir-akhir ini, dunia digoncangkan dengan isu-isu keberagamaan (religious issues) yang menggambarkan wujud dari sebuah diskriminasi terhadap sebuah agama. Agama menjadi permainan otoritas dalam suatu negara, tidak hanya sebatas itu saja, dalam dunia barat agama dinafikan sebagai tolak ukur akhlak dan moralitas masyarakat yang tidak prodiktif dan kondusif dengan lingkungan barat yang serba berorientasi kepada ideologi semata (ideological orientation).
Agama dalam suatu negara bagi barat adalah sebuah kenistaan belaka, karna agama hanya akan menjadikan kekacauan dalam bernegara antar umat manusia. Tidak ada moral agama dibalik sebuah kemajuan suatu negara, negara maju hanyalah berkat tangan manusia sendiri.
Hal ini sangat bertolak berlakang dengan pemikiran Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Iqtishad fil I’tiqad halaman 199 “Karena itu, dikatakanlah bahwa agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Dikatakan pula bahwa agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang lenyap.”
Imam Al-Ghazali sangat kritis dalam menanggapi kebreradaan agama dalam suatu negara. Sebuah agama, moral dan sosial akan terjaga bilamana kekuasaan dalam suatu negara berpihak teguh terhadap nilai-nilai keagamaan.
Pemikiran ulama Islam mengenai agama dan negara yang dalam hal ini moral dan sosial merupakan satu kesatuan yang harus saling berdampingan, dikarnakan, negara adalah kekuasaan. Apabila agama dijauhkan dengan kekuasaan maka kemaslahatan tidak akan pernah tercapai, hal ini senada dengan konsep pemikiran Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ul Fatawa juz 28 halaman 394, beliau mengatakan; “Jika kekuasaan terpisah dari agama, atau jika agama terpisah dari kekuasaan, niscaya keadaan manusia akan rusak” . Moral dan Sosial dalam beragama akan berjalan sempurna dengan adanya sebuah kekuasaan yang dijalankan oleh rakyat dengan asas hukum-hukum Islam.“ (Lihat: QS an-Nisa’ 65, QS: al-Maidah 50).
Akhir-akhir ini gencarnya perselisihan negara-negara di-dunia khususnya negara Barat (state disputes), yang dapat menyebabkan ketidakharmonisan antar negara. Perseteruan ini bermula atas 2 faktor, yaitu ketamakan duniawi dan kebencian terhadap Islam. Hal ini merupakan salah satu ultimatum besar munculnya perselisihan negara barat dan Islam.
Di satu sisi faktor ketamakan terhadap ekonomi (economic greed). Barat menjadikan ekonomi adalah akar berkembangnya sebuah negara, apapun akan dilakukan dan akan dikorbankan untuk dapat memajukan perekonomian sebuah negara.
Strategi politik ekonomi dimainkan dengan sebuah sistem kapitalisme untuk dapat menjadikan kekuasan dan kemajuan berpihak kepada negara Barat. Hans Morgenthau merupakan seorang ilmuan dalam Hubungan International dan dikenal dengan sebuatan “a pioneer in the field of international relations theory” mengatakan, “Politik internasional seperti semua politik adalah perjuangan demi kekuasaan. Apapun tujuan akhir politik internasional, kekuasaan merupakan tujuan yang selalu didahulukan.”
Hal ini merupakan sebuah doktrin kepada masyarakat ataupun negara untuk melakukan apapun demi kekuasaan, kalau perlu dengan perang sekalipun, sehingga aspek moral seolah tidak dihiraukan oleh Morgenthau yang tetap bertahan dengan mazab realisme-nya (sebuah keyakinan/usaha untuk menampilkan memperlihatkan kebenaran, bahkan tanpa menyembunyikan hal yang buruk sekalipun),
Hal inilah yang membuktikan bahwah kekuatan imprealisme Barat sangat menghujam tajam ke dalam dunia Islam. Hegemoni barat telah masuk kesegala lini kehidupan masyarakat (society), sehingga timbul kesan bahwa Barat telah berhasil dalam menancapkan hegemoninya untuk dapat menguasai dunia dan menjadi inspirasi bagi negara-negara lainnya dalam hal perekonomian.
Dengan ketamakan Barat terhadap factor-faktor kenikmatan dunia, menunjukan ketidak pedulian dan jauhnya jarak keagamaan bagi Barat, yang mana aspek tersebut mengandung aspek moral, sosial dan mengedepankan kepedulian, kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat banyak.
Di sisi lain kebencian Barat terhadap negara Islam menjadi latar belakang dari maraknya perperangan antar negara; baik secara ideologi ataupun fisik.
Moralitas dalam bernegara tidak lagi mengacu kepada moralitas agama (religious morality), negara menjadi acuan publik dalam menyonsong sebuah moral dan etika bernegara (state ethics). Sehingga peran agama sangatlah tergantung kepada sebuah peraturan negara (state regulations), sedikit demi sedikit musuh agama menonjolkan taring mereka untuk mengikis kehidupan beragama, baik secara pribadi maupun bagi masyarakat banyak (Barat khususnya).
Agama bagi Barat merupakan sebuah belenggu yang meresahkan dan membatasi kebebasan manusia, Agama hanya sekedar simbol yang mempromosikan kebaikan dan keburukan semata. (Lihat Ar-Rum ayat 31-32).
Moralitas Barat telah rusak dengan image yang buruk kepada apa yang mereka yakini, kebencian yang besar terhadap Islam menunjukan ketidak pedulian mereka terhdap negara-negara Islam.(QS : Al-Baqarah 8-16/17-20).
Dengan 2 hal di atas telah terbukti bahwasanya moralitas dan sosialitas dalam bernegera merupakan hal yang tabu bagi Barat dalam menjalankan kehidupan beragama dan bernegara.
Negara-negara berkembang seperti Eropa, menerapkan berbagai macam bentuk peraturan (undang-undang) bagi pemeluk agama di negara mereka masing. Sayangnya, nilai-nilai keberagamaan sangat jauh untuk diterapkan kedalam peraturan institusi apa lagi sebuah peraturan negara.
Kebebasan dalam beragama (freedom of religion) dan kegiatan keagamaan dijadikan sebuah peraturan dalam sebuah negara. Hal-hal yang tidak tercangkup dalam undang-undang negara sangat dilarang keras untuk dilakukan, dan barangsiapa yang keluar dari peraturan keagamaan yang diterapkan, maka akan mendapatkan hukuman dan ganjaran, sama halnya dengan melanggar peraturan (undang-undang) suatu negara.
Transformasi nilai moral
Hampir rata-rata negara di dunia merupakan negara hukum, yang artinya segalanya harus ditundukan dengan hukum, tanpa harus ada paksaan. Menurut H.L.A. Hart dalam General Theory of Law and State (1965), hukum harus meliputi tiga unsur nilai, yakni kewajiban, moral dan aturan.
Karenanya hukum tidak dapat dipisahkan dari dimensi moral, demikian dikatakan juga oleh Jeffrie Murphy dan Jules Coelman dalam The Philosophy of Law (1984). Akan tetapi hukum bukanlah sesuatu yang final dalam mengatur sebuah negara.
Lebih daripada itu semua hukum merupakan sebuah tujuan untuk mencapai kehidupan yang damai, sejahtera, keadailan dan kebahagian bagi masyarakat banyak. Dalam hukum terdapat moral, untuk menentukan sebuah peraturan yang berlandaskan hukum tidak akan terlepas dengan moral dan sosial kemanusian.
Hukum atau peraturan yang diterapkan dieropa sangat rentan terhadap wacana keagamaan, negara membuat hukum dan aturan sendiri bagi agama, agama diatur oleh negara, sehingga menjadi hukum yang immoral.
Aturan yang dibuat sangat jauh dari nilai-nilai keagamaan (religious values), bahkan hukum pelarangan dalam melakukan ritual atau kegiatan keagamaan ditentukan oleh negara.
Negara Swiss melarang pembangunan siimbol-siimbol keagamaan Islam. Prancis dengan semangatnya menistakan pemakaian burqa, atau himar bagi kaum wanita, pelarangan adzan, pelarangan menunaikan ibadah shalat bagi kaum muslimin.
Menurut Harold D Laswel(1958) salah seorang ilmuan politik, keberadaan sebuah hukum dalam beragama seolah mengabaikan fungsi dan peran negara sebagai wahana membangun masyarakat utama, karana agama memiliki hukumnya masing-masing terlepas dari hukum yang diterapkan oleh suatu negara.
Agama merupakan asas dasar terbentuknya sebuah hukum dalam memberikan kesejahteraan, keamanan dan kedamaian. Negara yang berkedaulatan dalam Islam adalah negara yang menjadikan agama sebagai landasan spiritual dalam bernegara.
Agama adalah moral, etika, sosial dan keyakinan. Dengan adanya moralitas dalam bernegara maka masyarakat akan hidup tentram dan saling mengasihi, membantu satu sama lainnya, begitu pula dengan keyakinan yang merupakan landasan dari sebuah perbuatan.
Seperti yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an (Surat Al-Luqman 18), Islam sangat menjunjung tinggi moralitas dalam Kehidupan. Tentu saja kehidupan dengan nilai-nilai yang bermartabat, rendah hati, dapat dipercaya, baik budi, beriman dan dewasa.
Maka daripada itu semua penulis mengajak kaum muslimin khusunya, untuk kembali memahami dengan seksama pesan-pesan moral dalam agama, yang kemudian dapat dirtransformasikan dalam kehidupan sehari-hari agar tercipta sebuah tatanan masyarakat yang bermoral , sosial, etika dan beradap.
Semua dapat terwujud dalam suatu negara apabila agama sebagai landasan moralitas dijadikan salah satu faktor utama terhadap hukum-hukum dalam suatu negara, karena moralitas lebih tinggi daripada sebuah hukum demikian juga dengan masalah ekonomi, politik, social dan budaya. Wallahu a’lam bissawab.*
Artikel pernah dimuat di laman Centre For Islamic And Occidental Studies (CIOS)- UNIDA