“… kita harus insaf bahawa bahasa Arab yang merupakan bahasa Al-Qur’ān al-Karīm itu sesungguhnya tiada menempuh perubahan dalam faham-faham peristilahan-dasarnya seperti yang ditempuh oleh lain-lain bahasa.” (Prof. Dr. SMN al-Attas)
Oleh: Qosim Nurseha Dzulhadi
Hidayatullah.com | PROF SMN al-Attas merupakan salah seorang intelektual Muslim dunia ternama yang fokus kepada masalah bahasa. Karena bahasa, menurutnya, erat kaitannya dengan kebudayaan dan peradaban suatu bangsa. (Lihat, Prof. Dr. SMN al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), 99).
Sebagai seorang pemikir Muslim, beliau menyadari benar posisi bahasa Arab dalam ajaran Islām. Sehingga beliau memiliki perhatian khusus kepada bahasa Arab. Dan, agaknya, Prof. Al-Attas adalah pemikir Muslim yang memiliki kesadaran hebat tentang ini. Sampai-sampai murid utama beliau, Prof. Dr. Wan menegaskan:
“It is a deplorable fact that al-Attas is singular among contemporary Muslim thinkers to be aware of the fundamental importance of language as a religious, cultural and civilizational tool and vehicle.” (Lihat, Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas: An Exposition of the Original Concept of Islamization (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 265).
Tentu sangat menarik melihat perhatian dan kesadaran Prof. Al-Attas terhadap bahasa Arab ini. Maka, dalam tulisan sederhana ini penulis mencoba mengulas sedikit tentang pandangan Prof. Al-Attas mengenai ‘keunikan’ atau –dapat disebut dengan –karakteristik mendasar dan utama dari bahasa Arab ini.
Bahasa Wahyu
Dalam Risalah untuk Kaum Muslimin, Prof. Al-Attas menyatakan bahwa bahasa Arab, yang merupakan bahasa Al-Qur’ān al-Karīm tidak pernah mengalami perubahan, seperti yang terjadi pada bahasa-bahasa yang lain. (Prof. Dr. SMN al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, 101-102).
Bahasa Arab, tidak mengalami perubahan, karena sudah mencapai taraf tertinggi di kalangan bahasa-bahasa bangsa insani sejak sebelum terbitnya Islām. Hal ini karena bahasa Arab telah mengalami pembaharuan dimana keluhurannya menjadi semakin sempurna karena menjadi bahasa Tanzil. (Prof. Dr. SMN al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, 102).
Dengan melihat pernyataan Prof. Al-Attas di atas dapat dipahami bahwa bahasa Arab yang menjadi bahasa Al-Qur’ān maknanya Allah telah memilihnya –dari sekian banyak bahasa yang merupakan salah satu tanda kekuasaan Allah, Qs. — menjadi bahasa Tanzil atau Wahyu-Nya. Karena posisinya menjadi bahasa Tanzil (Wahyu) ini maka faham-faham peristilahannya yang ada di dalamnya suci dari perubahan apapun. (Prof. Dr. SMN al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, 102). Karena bahasa Arab di sini tidak merujuk kepada bahasa Arab Jahiliah; atau bahasa yang berasal dari penggunaan dan perkembangannya oleh bangsa Arab, akan tetapi bahasa Arab yang baharu, yang telah diperislamkan oleh Tanzil dan yang terus terpelihara oleh Al-Qur’anu’l-Karīm, baik dari sisi makna maupun dari segi lafaznya. (Prof. Dr. SMN al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, 102).
Dari sana dapat ditangkap bahwa pandangan Prof. Al-Attas sejalan dengan pandangan para ulama mulia dan terhormat. Bahwa Al-Qur’an itu adalah Wahyu, dimana lafadz dan maknanya berasal dari Allah Subhānahu wa Ta‘ālā.
Di Indonesia, misalnya, ulama hebat seperti Buya Hamka (1908-1981) dalam karya utamanya, Tafsir Al-Azhar, menyatakan bahwa Al-Qur’ān itu lafadz dan maknanya berasal dari Allah. Mengenai ini, Buya Hamka mencatat dalam Tafsirnya:
“… al-Qur’ān itu bukanlah semata-mata pada maknanya saja, melainkan mencakup lafadz dan makna. Sebab itu makanya terdapat beberapa ayat di dalam Al-Qur’ān yang dengan tegas menyatakan sifat Al-Qur’ān, yaitu Arabi.” (Lihat, Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar (Singapura: Pustaka Nasional Pte LTd, 1410/1990): (1/22).
Karena itulah Prof. Al-Attas menegaskan, … dan dari itu sanya tiadalah dia dapat dirumpunkan dengan hakikat serta nasib bahasa-bahasa lain.” (Prof. Dr. SMN al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, 102).
Pernyataan Prof. Al-Attas ini menegaskan, bukan saja kedalaman tilikan beliau terhadap keunikan bahasa Arab, namun juga menyiratkan ketegasan sikap. Dimana setiap Muslim harus memahami keluhuran dan ketinggian derajat bahasa Arab sebagai bahasa Kitab Sucinya (Al-Qur’ān) dan bahasa Wahyu Tuhannya, Allah Ta‘ālā (bahasa Tanzil).
Penayang Worldview Islām
Keinsyafan seseorang akan martabat dan derajat bahasa Arab, sebagaimana dijelaskan Prof. Al-Attas sebelumnya, bahwa ia menjadi penayang pandangan alam serta hakikat semesta yang ditayangkannya berasal dari Al-Qur’ān. Jadi, secara ringkasnya, Al-Qur’ān sejatinya menjadi sumber peristilahan-dasar Islām itu sendiri. Sehingga, istilah-istilah dasar Islām, yang terkandung dalam bahasa Arab merupakan penampil dan penayang pandangan alam serta hakikat semesta yang bertakhta dalam faham orang-orang Islām pada keseluruhannya.
Maksudnya adalah: bahasa-bahasa asli orang-orang Islām semuanya yang bukan Arab telah diperislamkan dengan dimasukkan ke dalam bahasanya masing-masing peristilahan-dasar kata-kata Arab yang merupakan pandangan alam Al-Qur’anu’l-Karīm dan Islām; dan dengan demikian maka wujudlah kenyataan bahasa Islām di kalangan bangsa insani.
Tiada bahasa orang Islām yang tidak Islām, sebab semua bahasa orang Islām mengandungi peristilahan-dasar Islām yang juga merupakan peristilahan-dasar bahasanya masing-masing. Dan peristilahan-dasar Islām inilah yang menjadi dasar bahasa orang Islām; dan selagi orang Islām tetap Islām dan sedar serta faham akan keislamannya, maka peristilahan dasar itulah yang menjamin penetapan pada sifat pandangan alam serta hakikat semesta yang ditayangkan oleh bahasa serta pemikirannya, dan oleh kesusasteraan serta keseniannya; dan kebudayaannya akan tetap merupakan kebudayaan Islām jua, sebab peristilahan-dasar Islām itulah yang menjelmakan kebudayaan Islām. (Prof. Dr. SMN al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, 103).
Itu sebabnya menjadi tanggungjawab besar umat Islām untuk menjaga bahasa Arab ini dari kemasukan berbagai faham asing. Apalagi jika sampai menyentuh bahkan mengubah peristilahan-dasarnya. Karena jika tidak diwaspadai dan dijaga, faham asing itu dapat memasukkan istilah baru dan merusak rencana-bentuk serta rangkuman maknawi sifat bahasa itu. Di sinilah kita butuh kesadaran dan keinsyafan.
Karena hanya kesadaran dan keinsyafan yang dapat menyelamatkan kemurnian konsepsi-konsepsi dasar Islām yang terkandung di dalam bahasa Arab ini. Dalam bahasa Prof. Al-Attas adalah: jangan sampai jahil dan keliru. Beliau memberikan catatan penting:
“… orang Islām hanya akan menempuh perubahan seperti yang dimaksudkan oleh Kebudayaan Barat itu dalam bahasanya, dan kemudian menerusi perubahan bahasa terus pula kepada perubahan pemikiran dan kehidupannya, apabila dia sudah menjadi jahil dan keliru –yakni apabila dia papa dalam ilmu mengenai pandangan alam serta hakikat semesta yang ditayangkan oleh Islām. (Prof. Dr. SMN al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, 103-104).
Jadi, perubahan yang dapat terjadi pada makna dasar dan makna asli bahasa Arab terjadi ketika kita jahil dan keliru tentang kandungan aslinya. Hal itu juga dapat terjadi disebabkan oleh kesilapan atau kekeliruan terhadap ilmu mengenai Islām dan pandangan alam yang ditayangkan olehnya. (Prof. Dr. SMN al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, 104).
Kejahilan, kekeliruan dan kesilapan dalam memaknai hakikat Islām dan pandangan alamnya dapat menjadi pintu masuk faham lain dalam merusak faham dan istilah-dasar Islām.
Tentunya, sebagian yang dikhawatirkan Prof. Al-Attas di atas mulai terjadi. Dimana sudah ada beberapa pihak yang mencoba merusak istilah-istilah kunci dalam Islām. Diantaranya dilakukan oleh kaum liberal ketika merusak makna dan hakikat ‘agama Tawhid’. Dimana yang seharusnya hanya Islām saja, tetapi penulis buku Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya memasukkan agama Yahudi dan Kristen (dengan kedua golongannya: Protestan dan Katholik), juga Hindu. Meskipun ia menyebutkan bahwa Hindu tidak masuk serumpun dengan Islām, Yahudi dan Kristen tetap menyebutnya sebagai agama monoteis. (Lihat, Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI-Press, 1985), 19.
Tentu saja faham tersebut keliru dan menyesatkan. Karena dalam keyakinan umat Islām, Yahudi dan Kristen tidaklah menganut faham Tawhid yang murni. Karena jika dalam Islām Allah diakui Esa, tidak beranak dan tidak diperanakkan (Qs.112:1-4), maka dalam Kristen ada dogman ‘Trinitas’. Danndogma ini oleh Allah disebut dogma kafir dan penganutnya dicap telah kafir. (Qs.5:73). Begitu juga dengan Yahudi yang meyakini nabi Ezra (Uzair) sebagai anak Allah (Qs.9:30).
Selain istilah ‘agama Tawhid’ yang coba dirusak oleh kaum liberal adalah istilah ‘Ahli Kitab’. Yang semestinya istilah ini khusus bagi kaum Yahudi dan Nasrani, oleh mereka diperluas (hingga keluar dari konsepsi Al-Qur’ān mengenainya), sampai harus mencakup semua agama yang memiliki kitab (yang dianggap) suci. Bahkan, tanpa mencantumkan rujukan, mereka menyatakan bahwa Abu A‘lā al-Mawdūdī menganggap Hindu dan Buddha tercakup dalam pengertian Ahli Kitab. (Lihat, Mun’im A Sirry (ed.), Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis (Jakarta: Paramadina bekerjasama dengan The Asia Foundation, cet. V, 2005), 44-49).
Padahal istilah-istilah ini memiliki makna dasar dalam Islām, seperti ‘Ahli Kitab’ tadi. Yang, bahkan pemikir modernis sekelas Fazlur Rahman (1919-1988) saja, menyatakan bahwa ‘Ahli Kitab’ itu adalah Yahudi dan Nasrani. (Lihat, Prof. Dr. Fazlur Rahman, “The People of Book and Diversity of “Religions””, dalam Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Minneapolis-USA:Bibliotheca Islamica, 1994), 162-170).
Begitu juga halnya dengan banyak istilah dasar dan kunci dalam Islām. Ia memiliki makna khusus yang tidak boleh ditukar dan diganti secara sembarangan dan semena-mena. Misalnya, istilah-istilah Allāh, manusia, hidup, alam, alam syahadah, alam ghaib, Wahyu, dan banyak lagi. (Lihat, misalnya, Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur’an: Semantics of the Qur’anic Weltanschauung (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002). Begitu juga dengan istilah-istilah: kufr, iman, syirik, fāsiq, fājir, halāl-harām, makruf-munkar, dan banyak lagi. (Lihat, Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2004).
Ulasan di atas adalah sedikit dari urgensi memahami dan menyadari posisi bahasa Arab yang sudah “diislamkan” oleh Wahyu. Sehingga kandungan bahasa Arab baru ini menjelaskan hakikat pandangan alam Islām. Inilah yang diinginkan oleh Prof. Al-Attas. Agar kemudian istilah dasar Islām yang dikandungnya tidak “kabur” apalagi disalahartikan.
Hal tersebut juga pernah disinggung oleh Imam Ibn Khaldūn (w. 808 H) dalam al-Muqaddimah-nya. Ketika terjadi kerusakan bahasa Arab, seperti dalam masalah harakāt yang dikenal dengan I‘rāb. Maka dibutuhkan ilmu bahasa.
Dan ketika kerusakan berlanjut, sampai menyentuh makna lafadz, maka bahasa Arab digunakan secara semena-mena: tidak ditempatkan dan dimaknai sebagaimana aslinya. Ini dapat memasukkan istilah yang bertentangan dengan istilah dalam bahasa Arab yang benar. Sehingga dibutuhkan buku dan dokumen tertulis untuk menjaga kemurnian bahasa Arab. Karena jika tidak demikian, ilmu bahasa Arab hilang dan kejahilan dalam memaknai Al-Qur’ān akan menyerang. Maka, muncullah seorang ahli bahasa, al-Khalīl ibn Ahmad al-Farāhīdī, yang menulis buku al-‘Ayn. Ada pula Abū Bakr az-Zabīdī. Lalu al-Jawharī, Ibn Sayyidihi, Ibn Durayd, dan Ibn al-Anbārī, yang menulis kamus bahasa Arab, demi menjaga kemurnian makna dari kosa-kata Arab. (Lihat, Abd ar-Rahmān ibn Khaldūn, al-Muqaddimah (Beirut-Lebanon: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1427/2006), 471-472).
Apa yang disampaikan oleh Ibn Khaldūn tentu menarik untuk diperhatikan. Dimana para ulama Islām yang bermartabat telah banyak yang mencurahkan pikiran dan usaha mereka dalam menjaga kemurnian makna bahasa Arab.
Maka, selain yang disebutkan di atas, ada pakar bahasa sekelas Imam Ibn Manzhūr (630-711 H) yang kamus Lisān al-Arab-nya senantiasa dirujuk oleh Prof. Al-Attas. Disamping ada ulama hebat sekelas ar-Rāghib al-Ashfahānī (Imām Abū al-Qāsim al-Husayn ibn Muhammad, w. 502H) yang meninggalkan karya penting dalam semantik Al-Qur’ān, al-Mufradāt fī Gharīb al-Qur’ān. Dan tentunya masih banyak ulama hebat lainnya. (Mengenai banyaknya kamus (lexicons) yang disebut oleh Prof. Al-Attas, lihat karya beliau, The Concept of Education in Islām: A Framework for Islāmic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: Ta’dib International, 2019), 3-4).
Bahasa Ilmu dan Peradaban
Selain sebagai bahasa Tanzīl (Wahyu) dan penayang pandangan alam Islām, Prof. Al-Attas juga menjelaskan bahwa bahasa Arab adalah bahasa ‘ilmu dan peradaban’. Ini adalah salah satu poin penting dalam konteks tulisan ini.
Kaitannya dengan itu, Prof. Wan menyebutkan bahwa mungkin Prof. Al-Attas adalah pemikir pertama di kalangan Muslim yang menyatakan bahwa sarana utama islamisasi bangsa Arab pra-Islām adalah melalui islamisasi bahasa Arab itu sendiri. Demikian pula de-islamisasi atau sekularisasi pemikiran Muslim juga berlangsung secara efektif melalui aspek sekularisasi, yaitu melalui sekularisasi semantik terhadap konsep dan terminologi Islām. (Lihat, Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy, 266-267. Prof. Wan mengutip pandangan Prof. Al-Attas dari The Concept of Education in Islām, 7-8; atau edisi Ta’dib International, The Concept of Education in Islām, 10-11).
Hal tersebut bermakna bahwa bahasa Arab adalah bahasa ‘ilmu’ dan ‘peradaban’. Karena dia identik dengan pandangan alam Islām. Logikanya dapat dirujuk kepada peranan bahasa yang dicatat oleh Prof. Wan:
“Education, like most institutions importan to mankind such as religion, law, politics, trade and commerce, and others, is both a product of and dependent of language. This because education involves the communication, interpretatiom, analysis, synthesis, internalization and application of cencepts, ideas and reflected realities, all of which necessarily require the service of language, a fact which is regocgnized by Muslim scholars such as Ibn Khaldūn.” Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy, 265).
Dan apa yang disampaikan oleh Ibn Khaldūn itulah yang diperjelas kembali oleh Prof. Al-Attas dan diaplikasikan ke dalam isu spesifik islamisasi dan sekularisasi, kata Prof. Wan. (Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan, The Educational Philoshopy, 265).
Dalam menjelaskan bahasa Arab sebagai bahasa ‘ilmu’ dan ‘peradaban’ Prof. Al-Attas mengaitkannya dengan konsepsi dan metode pendidikan yang diterapkannya, termasuk konsepsi ‘islamisasi’ cabang ilmu yang diusungnya. Menurut Prof. Wan, ini adalah pandangan Prof. Al-Attas yang ‘khas’.
Hal ini didasarkan pada sifat bahasa Arab sebaga instrumen Wahyu Terakhir dari Tuhan yang membentuk basis bagi seluruh bahasa Islām. Sehingga, pada tahun 1969, Prof. Al-Attas mengemukakan dan menjelaskan suatu konsep penting bahwa bahasa Arab tidak hanya bersifat estetis, tetapi juga ilmiah.
Untuk menjelaskan sifat ‘ilmiah’ bahasa Arab itu, Prof. Al-Attas menjelaskannya dalam The Concept of Education in Islām, sebagai berikut:
“We we speak of methodology and the correct application of linguistik symbols, our first consideration is to understand the scientific nature of the Arabic language, which, which is the language of Islām, and upon which the Islamic sciences are based, and by which its vision of reality and truth is projected.”
Prof. Al-Attas juga menambahkan, “The scientific structure of Arabic is attested to by the mere fact that it is the language in which the Holy Qur’an is revealed.” (Lihat, Prof. Dr. SMN al-Attas, The Concept of Educational in Islām, 1-2).
Sifat ilmiah (scientific) dari bahasa Arab itulah sejak periode awal Islām sudah sangat disadari oleh para lexicologist (ulama pakar bahasa dan kamus). Dan menurut Prof. Al-Attas, agaknya bangsa Arab lah bangsa di dunia ini yang begitu serius menyusun kamus untuk “berkhidmat” kepada bahasa mereka. (Prof. Dr. SMN al-Attas, The Concept of Education in Islām, 3).
Dan karena sifat ilmiah bahasa Arab itu pula umat Islām mampu peradabannya dengan baik. Karena bahasa Arab yang ada setelah turunnya Wahyu secara otomatis “diislamkan”. Maka, ia menjadi bahasa Tanzil.
Selanjutnya, dari bahasa Tanzil itulah lahirlah ilmu-ilmu yang “berkhidmat” pada Al-Qur’ān, seperti: ilmu Tafsīr (yang disebut oleh Prof. Al-Attas sebagai ‘the first science among the Muslims’); ilmu bahasa (Nahwu-Sharaf), ilmu Balāghah (Ma‘ānī-Bayān-Badī‘); ilmu Hadīts-Musthalah al-Hadīts; ilmu Ushūl al-Fiqh-Fiqh; ilmu Qirā’āt, ilmu Tajwīd, dan ilmu-ilmu lainnya (funūn) semisal Kimia, Biologi, Matematika, Hitung (Hisāb), Zoologi, Botani, dan sebagainya.
Bahkan, ilmu-ilmu yang berkembang dalam peradaban Arab asal-mulanya adalah dari umat Islām. Karena merekalah yang mengajari bangsa Eropa-Barat tentang berpikir ilmiah dan rasional. Dan ini pun diakui oleh Barat. (Lihat, misalnya Sigrid Hunke, Syams al-‘Arab Tastha‘ ‘alā al-Gharb: Atsar al-Hadhārah al-‘Arabiyyah fī Awrubbā, Terj. dari bahasa Jerman oleh Fārūq Baydhūn & Kamāl Dasūqī (Beirut: Dār al-Jīl & Dār al-Āfāq al-Jadīdah, cet. VIII, 1413/1993. Lihat juga, Tim Wallace-Murphy, What Islām Did for Us: Understanding Islam’s Contributions to Western Civilization (London: Watkins Publication Ltd, 2006).
Dari uraian Prof. Al-Attas mengenai ‘keunikan’ bahasa Arab dapat diambil satu kesimpulan penting bahwa bahasa Arab adalah bahasa pilihan Allah. Yang dengan bahasa Arab yang menjadi bahasa Tanzil ini ia menjadi bahasa yang mengandung dan menayangkan pandangan alam Islām. Disamping bahasa Arab merupakan bahasa yang sangat ‘saintifik’ (ilmiah). Dengan sifatnya yang ilmiah itu bahasa Arab menjadi basis sains Islām sekaligus menjelaskan pandangan alam Islām terhadap realitas (reality) dan kebenaran (truth).
Maka, amat penting kiranya merujuk pandangan khas Prof. Al-Attas mengenai bahasa Arab. Karena peranannya sangat fundamental: menyentuh segala lini rahasia dalam keilmuan Islām; mulai dari semantik, pandangan alam, hingga pemikiran dan peradaban. Wallāhu a‘lam bis-shawāb.[] (Senin, 19 Shafar 1443/27 September 2021).*
Dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Ar-Raudlatul Hasanah, penulis buku pemikiran dan anggota Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI)