Hidayatullah.com | DALAM buku “Tanja Djawab” (1967) karya Prof. Dr. Hamka –yang merupakan kumpulan rubrik tanya jawab dalam majalah Gema Islam tahun (1962-1963). Ada dua soal menarik yang masih relevan jika diangkat pada era digital seperti saat ini, yaitu: tentang makna sila pertama dan paham komunis.
Terkait sila pertama, termaktub pada Majalah Gema Islam No. 22 tahun I, tanggal 15 Desember 1962). Isi pertanyaannya adalah tentang sila pertama yang terkhusus ditujukan pada makna “Esa” apakah dalam makna Islam, atau juga makna agama lain seperti: Kristen atau Hindu.
Setelah memberi prolog singkat bagaimana Pancasila menjadi kesepatan berbagai kalangan tokoh yang berbeda politik dan agama, beliau menjawab makna “Esa.” Tulis Buya, “Ketuhanan Jang Maha Esa, dari segi manapun dilihat adalah lebih dekat kepada pendirian kita Ummat Islam Indonesia….Dan agama kitalah jang mengakui Kesatuan itu dengan mutlak.”
Untuk menguatkan argumentasinya, Hamka mengutip beberapa dalil dari al-Qur`an dan Hadits. Beliau menyebutkan surah Al-Ikhlas dan ungkapan (hadits):
لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ، وَلَهُ الحَمْدُ،يُحْيِي وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Tidak ada Tuhan selain ALLAH, Jang berdiri sendiri-Nja, bagi-Nja seluruh kekuasaan dan Bagi-Nja seluruh pudjian2n. Dia Jang Menghidupkan dan Mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas tiap sesuatu.”
Setelah mengemukan dalil al-Qur`an dan hadits itu, ada catatan kesimpulan menarik dari beliau;
“Asal kita Kaum Muslimin sadar akan pendirian Tauhid kita, dan sadar pula akan lebih banjaknja bilangan kita, dengan mendjundjung tinggi Pantjasila jang mempunjai dasar pertama dan utama ,,Ketuhanan Jang Maha Esa”, kitalah jang akan lebih banjak dapat bergerak luas memadjukan agama kita dalam Negara Republik Indonesia ini. Tetapi kalau kita ber-malas2, ber-petjah-belah, maka Ketuhanan Jang Maha Esa akan tetap tertulis djuga mendjadi dasar Negara, tetapi akan ditafsirkan oleh jang memperserikatkan Allah dengan jang lain menurut tafsirannja masing2.”
Soal kedua adalah tentang paham komunis yang dimuat di majalah Gema Islam No. 32 tahun II, 15 Mei 1963. Ada penanya yang mempersoalkan kaum komunis di Indonesia. Kalau benar paham komunis anti Tuhan, lalu mengapa orang komunis di Indonesia masih melakukan shalat.
Oleh Hamka dijawab dengan lima paragraf singkat tapi padat. Pertama, komunis memang tidak mengakui adanya Tuhan alias Atheis. Bagi paham ini, Tuhan hanya ciptaan manusia belaka. Agama hanya satu lapisan atas saja dalam kehidupan manusia.
Kedua, jika ada orang komunis yang masih sembahyang atau shalat, maka disebut Hamka sebagai komunis yang belum baik atau belum matang. Bisa jadi, mereka pura-pura shalat agar citra mereka tidak dianggap Atheis sehingga bisa menarik simpati orang.
Ketiga, demikian pula orang Islam yang masuk komunis berarti Islamnya belum baik dan matang. Lebih baik diperjelas saja, mau komunis sekalian atau Islam yang kaffah.
Keempat, Hamka mengangkat bukti konkret tokoh komunis Chou-En-Lai (Pimpinan R.R.T) yang saat dalam konferensi di Bandung mengatakan, “Kami orang Komunis adalah orang2 Atheis.” Ini semakin menguatkan bahwa komunis sejatinya Atheis.
Kelima, Hamka menyuruh pembaca untuk menelidiki dan mempelajari praktik-praktik penindasan agama yang dilaksanakan di negeri-negeri orang Komunis. Di U.U.D. Uni Soviet –kala itu—dibenarkan adanya propaganda anti agama. Jawaban Hamka ini tergolong blak-blakan dan berani. Sebab, jawaban itu ditulis pada tahun 1963 ketika PKI sedang kuat-kuatnya di rezim Orla.
(Sebagai tambahan mengenai poin kelima yang dikemukakan Hamka, penulis cuplikkan bagaimana bahaya komunis di seluruh negara menurut catatan penyair senior, Taufik Ismail dalam buku “Tiga Dusta Raksasa Palu Arit Indonesia” (IV/2007: 10) “Partai Marxis-Leninis-Stalinis-Maois (Partai Komunis) Sedunia Selama 74 tahun (1917-1991) membantai 120 juta manusia di 76 negara. Sehingga rata-rata 1.621.621 orang setahun, 135.135 orang sebulan, 4.504 orang perhari, 187,6 orang perjam, 3 orang permenit, 20 detik perorang. Selama 74 tahun di 76 negara.”)
Dari dua soal yang ditujukan kepada Hamka mengenai makna “Esa” dalam sila pertama dan orang komunis yang masih sembahyang, dapat disimpulkan bahwa menurut Buya sila pertama sangat identik dan dekat dengan ajaran Islam. Maka orang Islam harus semangat dan aktif dalam menjalankannya. Jika tidak, maka makna sila itu bisa ditafsirkan sesuai dengan kehendak kelompok lain.
Hal yang tidak kalah penting, sejatinya orang komunis kalau benar-benar menjalankan ideologinya, maka dia sudah pasti Atheis. Jika ada orang Islam yang berideologi komunis, atau orang komunis tapi Islam, maka Islam dan komunisnya belum matang.*/Mahmud Budi Setiawan