Hidayatullah.com– Para tokoh gereja Anglikan di sebagian negara berkembang termasuk Sudan Selatan, Uganda dan Republik Demokratik Kongo, mengatakan bahwa mereka tidak lagi mengakui Justin Welby, yang menjabat uskup agung Canterbury saat ini, sebagai kepala Gereja Anglikan sedunia.
Sikap mereka bermula dari keputusan dewan pengurus Church of England, Sinode Umum, yang memperbolehkan pemberkatan gereja bagi pasangan homoseksual atau perkawinan sesama jenis. Church of England bisa dibilang “Vatikan-nya” penganut ajaran Kristen Anglikan.
Global South Fellowship of Anglican Churches (GSFA), yang mengklaim sebagai corong suara bagi 75% pengikut Gereja Anglikan di seluruh dunia, mengatakan dalam sebuah pernyataan hari Senin (20/2/2023) bahwa Church of England telah “keluar dari ajaran gereja yang selama ini mereka anut” dan mendiskualifikasi dirinya sendiri sebagai “gereja induk” dari persekutuan Anglikan.
Pernyataan itu, yang ditandatangani oleh 10 primata, mengatakan “GFSA tidak lagi dapat mengakui uskup agung Canterbury saat ini, Rt Hon & Most Revd Justin Welby, sebagai pemimpin ‘junjungan’ dari persekutuan global ini.”
Church of England, serta gereja-gereja Anglikan lain di Skotlandia, Wales, Amerika Serikat dan New Zealand, yang memperbolehkan perkawinan sesama jenis atau memberkatinya telah “mengambil jalan ajaran yang sesat”, kata pernyataan itu. “Hal ini menghancurkan hati kami.”
Welby belum lama ini mengatakan kepada para rohaniwan “bawahannya” agar pemberkatan bagi pasangan yang melakukan perkawinan sesama jenis diperbolehkan, meskipun hal itu diakuinya bertentangan dengan keyakinan dan tata cara ajaran Gereja Anglikan yang dipegang selama ini. Keputusan itu merupakan sikap kompromi terhadap desakan untuk mengakui hak-hak kaum LGBT.
Namun keputusan ambigu itu justru menimbulkan kemarahan di kalangan jemaat.
Bagi mereka yang menganggap dirinya progresif, keputusan itu menunjukkan bahwa Church of England tetap memandang kaum LGBT sebagai “warga kelas dua”. Sementara kalangan konservatif marah karena menilai gereja telah berpaling dari ajaran yang sejati perihal perkawinan dan seksualitas.
Welby menyambut baik sikap baru gereja perihal perkawinan sesama jenis, tetapi dia sendiri mengaku tidak akan memberikan pemberkatan kepada mereka semata-mata demi menjaga persatuan global Gereja Anglikan.
Welby juga dikabarkan mengatakan kepada para anggota parlemen Inggris bahwa dia lebih memilih Church of England dibubarkan daripada melihat gereja secara global terpecah belah dalam hal seksualitas ini.
Segera setelah Sinode Umum mengakhiri pertemuan mereka di London, Jason Welby terbangbke Accra, ibu kota Ghana, guna menemui para tokoh gereja aliran Anglikan.
“Saya dipanggil dua kali ke parlemen (Inggris) dan diancam” akan diambil tindakan agar gereja bersedia memberikan pengakuan terhadap perkawinan sesama jenis, kata Welby di Accra.
Setelah pemungutan suara di Sinode Umum selesai, Henry Ndukuba, uskup agung Church of Nigeria yang mewakili sekitar seperti jemaat Anglikan dunia, mengatakan bahwa sikap gereja soal LGBT tersebut merupakan “penyimpangan” dan hal itu menjelaskan kemunduran, kehilangan dan ketidakrelevanan
Church of England di dunia Barat yang sekuler dan masyarakatnya semakin meninggalkan ajaran gereja belakangan ini.
Jackson Ole Sapit, uskup agung Church of Kenya, mengkritik “suara-suara sekuler yang semakin kuat mencengkram Church of England” dan dia mengatakan “sedih dengan penyimpangan gereja induk dari ajaran gereja yang sejati”.
Stephen Kaziimba, uskup agung Uganda, berkata, “Church of England telah berpaling dari keyakinan Anglikan dan sekarang merengkuh ajaran sesat”.
Pernyataan pada hari Senin dari GSFA mengatakan penarikan dukungan mereka untuk Welby sebagai pemimpin gereja global harus diterima olehnya sebagai “teguran dalam cinta”, lapor The Guardian.
Sejak menjadi uskup agung Canterbury 10 tahun yang lalu, Welby telah berusaha untuk menyatukan gereja global dalam menghadapi ketidaksepakatan pahit perihal seksualitas. Pendekatannya adalah mencoba membujuk para uskup, klerus, dan jemaat paroki untuk “berjalan bersama” meskipun ada perbedaan yang tampaknya tidak dapat didamaikan.*