Hidayatullah.com—Sekretaris Jenderal Lembaga Adat Laot (Panglima Laot Aceh) Azwir Nazar menegaskan fenomena pengungsi Rohingya yang ada di Aceh harus disikapi dengan hati-hati dan tidak bisa disimpulkan secara sepihak.
Menurutnya, masalah pengelolaan saudara baru yang teraniaya ini tidak dapat di generalisir, apalagi semua etnis Rohingya adalah buruk dan harus diusir keluar Aceh.
“Dalam hukum adat Laot yang berlaku di Aceh sejak abad ke 14 bahwa jangankan manusia, hewan pun yang perlu pertolongan dalam laut harus diselamatkan. Apalagi ini manusia, wajib hukumnya menolong. Sebatas tidak membahayakan jiwa nelayan, melanggar aturan agama dan negara,” demikian ujar Azwir Nazar kepada hidayatullah.com, Sabtu (9/12/2023).
Menurutnya, Panglima Laot dan masyarakat nelayan Aceh pada prinsipnya tidak pada posisi menerima atau menolak etnis Rohingya, tapi menolong mereka sebatas kemampuan, layaknya seorang tamu yang dihormati dalam pandangan agama dan adat.
“Setelah itu ya urusan hukum negara yang berlaku, ada pemerintah yang berperan aktif serta lembaga yang punya mandat urusan pengungsi seperti UNHCR dan IOM,” ujar dia.
Sebagai sesama manusia, pihaknya juga ikut sedih yang dialami saudara kita Rohingya. Sebab mereka harus sampai lari dari Kamp Pengungsian karena adanya penganiayaan dan pembantaian Rezim Myanmar.
“Jadi pilihan mempertahankan hidup dan akidahnya jadi mereka sampai berbulan bulan dalam laut melawan maut,” ujarnya lagi.
Bagaimanapun, kata Azwir, etnis Rohingya atau Rakhine ini adalah saudara kita Muslim yang kini sedang didzalimi rezim Budha Burma. “Sama seperti Palestina juga yang dijajah Israel. Maka kita harus melihat mereka sebagai saudara seiman, yang harus ditolong,” ujar alumni Hacettepe University, Ankara ini.
Menurutnya, berdasarkan catatan, 71 persen mereka (data UNHCR) yang mendarat di Aceh adalah kaum perempuan dan anak anak. Sementara kondisi mereka banyak yang sakit, lapar dan menyedihkan.
Menurutnya, sejarah telah mencatat bahwa dalam beberapa tahun terakhir sejak 2017 lalu, pengungsi Rohingya diterima dengan sangat baik oleh warga Aceh. Masyarakat nelayan Aceh bahkan dipuji dunia, saat negara lain justru menolaknya.
Saat itu, masyarakat Aceh berbondong-bondong menyelamatkan mereka baik, saat mereka terdampar di darat atau yang mengalami musibah di laut. Hanya saja, kata dia, kondisi Aceh secara ekonomi juga belum pulih benar pasca Covid-19.
Kalaupun dalam praktiknya ada oknum etnis Rohingya yang nakal atau melawan hukum, tetap harus diproses hukum dan di tindak tegas. Meski demikian tidak bisa disamaratakan bahwa semua pengungsi nakal atau melawan hukum dan harus diusir.
“Termasuk bila ada indikasi terlibat dalam sindikat penjualan orang (trafficking). Namun tak dapat di generalisir bahwa semua Rohingya adalah buruk dan harus diusir,” ujarnya.
Untuk diketahui, kata Azwir, Aceh disebut sebagai daerah termiskin di Pulau Sumatera dan No. 6 secara nasional. Dan mayoritas warga miskin adalah masyarakat pesisir dan nelayan.
“Jadi bisa dibayangkan kalau masyarakat yang sehari demi sehari harus memenuhi kebutuhan dasarnya, harus menanggung beban menanggung pengungsi Rohingya,” kata dia.
Berdasarkan pantauan Lembaga Adat Laot, beberapa tokoh masyarakat nelayan mereka tidak mempermasalahkan menolong mereka selama beberapa hari. “Tapi setelah itu mereka tak sanggup. Apalagi kalau harus melapor kesana-kemari, sehingga mengganggu waktu mereka melaut,” ujarnya.
Karena itulah, menurut Azwir, pemerintah pusat yang harus segera menangani masalah ini, bukan warga Aceh lagi. “Pemerintah pusat tak boleh berlepas tangan. Perlu langkah dan penyelesaian komprehensif untuk menyelesaikan persoalan Rohingya karena itu bukan persoalan baru,” kata pria yang penah menjadi Direktur Yayasan Cahaya Aceh ini.
Pertemuan ASEAN
Dia juga mendorong pertemuan di tingkat Menteri Luar Negeri ASEAN, seperti; Myanmar, Malaysia, Thailand, Brunei dan Indonesia agar bisa mewujudkan solusi bersama. “Sama halnya seperti yang dilakukan oleh Uni Eropa terhadap pengungsi Suriah akibat perang beberapa tahun lalu. Dimana Turki menyediakan tempat penampungan permanen, dan UE dan Lembaga Internasional mendukung dana-nya,” katanya.
Skema penyelesaian ini harus segera dilakukan agar tidak berpotensi berpotensi memicu konflik horizontal. “Ssemua pihak perlu berpikir jernih dan melihat masalah Rohingya ini secara utuh bahwa ini merupakan tragedi kemanusiaan yang patut menjadi perhatian kita bersama,” kata Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Iskada Aceh ini.*