Hidayatullah.com—Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) menyerukan kepada umat Islam Indonesia dan Keluarga Besar DDII untuk menjadi pemilih cerdas dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. DDII juga mengajak warga memilih berdasarkan pertimbangan syar’i dengan melihat reputasi dan rekam jejak calon presiden.
“Menyerukan kepada umat Islam pada umumnya dan kepada Keluarga Besar khususnya untuk menjadi pemilih cerdas dan kritis berdasarkan pertimbangan syar’i dan pilihan yang matang, sesuai dengan reputasi dan rekam jejak,” demikian salah satu bunyi Rekomendasi Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) yang diselenggarakan pada Jum’at-Ahad (12 – 14 Januari 2024), belum lama ini.
Sebanyak 130 peserta dari 27 daerah hadir mengikuti Rakornas, mulai dari Aceh hingga Papua Selatan. Dalam sambutannya, Ketua Umum Dewan Da’wah, Dr. Adian Husaini mengajak warga DDII menjaga sejarah perjuangan Dewan Da’wah yang dirintis Dr. Mohammad Natsir.
“Perjuangan Pak Natsir hendaknya terus dilanjutkan oleh para dai di seluruh wilayah Indonesia,” ujar Dr Adian Husaini.
Ia mengapresiasi pengurus Dewan Da’wah daerah yang terus mengembangkan Da’wah tanpa menggantungkan permintaan dana dari pusat. “Keikhlasan ini mohon dijaga bersama,” ujar Adian, yang mendapat amanah memimpin DDII sejak 2020.
Rakornas yang disekenggarakan di Gedung Menara Da’wah Komplek Masjid Al-Furqan Dewa Indonesia, Jl. Kramat Raya 45 Jakarta Pusat dengan tema “Memperkuat Sinergi untuk Meneguhkan Jati Diri Dewan Da’wah sebagai Lembaga Da’wah dan Pendidikan” juga membahas soal khittah Da’wah dan garis perjuangan DDII, optimalisasi sumber-sumber dana Da’wah, pemberdayaan ZISWAF, hingga perkembangan politik, ekonomi, dan pembangunan pasca pilpres 2024.
Dalam sesi penutupan, Prof. Dr. Didin menyinggung Piagam Madinah merupakan kesepakatan tertinggi yang diakui dunia. Menurutnya piagam tersebut dikenal sebagai sebuah kesepakatan untuk melindungi –bukan hanya kebebasan individu– tetapi mengakui hak-hak kolektif dengan tidak mendzalimi hak orang lain.
Menurutnya, Piagam Madinah, jauh lebih tinggi daripada demokrasi yang diagungkan masyarakat Barat. “Kalau merujuk pada sejarah peradaban Islam, kita bisa merujuk pada kesepakatan Piagam Madinah. Salah satu di antara butir perjanjian itu dijamin adanya kebebasan beragama, kebebasan menyatakan pendapat, dan keselamatan harta benda serta larangan melakukan kejahatan,” ujarnya.
Hal ini sangat berbeda dengan praktek demokrasi saat ini, dimana terjadi perbuatan saling aniaya, saling cemooh, hingga mengancam nyawa sesama anak bangsa.
Karenanya professor Didin menyakini Piagam Madinah merupakan perjanjian yang jauh lebih mulia daripada praktek demokrasi yang saat ini berlaku di dunia.*