Hidayatullah.com—Sebagian orang menganggap gaya hidup halal hanya milik kaum Muslim, padahal saat ini trendnya sudah berubah, semua orang kini menyukai gaya hidup Muslim, meski dia non-Muslim (nonis).
“Sektor halal industri kini menjadi tumpuan banyak negara Muslim maupun Non-Muslim untuk menguatkan perekonomian negaranya pasca pandemi global,” kata Dr Sapta Nirwandar, Ketua Indonesia Halal Lifestyle Center (IHLC), kemarin.
Sapta menjelaskan saat ini banyak konsumen non-muslim memilih mempraktikkan gaya hidup halal, kerena terbukti produk dari industri halal terjamin aman, bersih, dan baik.
Sapta berbicara saat Bincang Hangat Halal Tourism dihadapan komunitas wartawan terdiri dari Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI) dan Forum Dialog Pariwisata Halal (FDP Halal).
Sementara Menparekraf Sandiaga Uno hanya mengirimkan video tapping menyambut kegiatan yang diinisiasi oleh pemerti wisata halal, Hilda Ansariah Sabri.
Sapta Nirwandar menjelaskan bahwa dalam hal halal industri maka dari sektor kosmetik saja bisa memiliki turunan hingga 65 item produk. Oleh karena itu penjelasan mengenai halal industri ini bisa panjang karena 65 item produk itu baru dari satu sektor kosmetik yang dipakai wanita untuk perawatan dari kaki hingga ujung rambut dan semuanya yang dibutuhkan pasar dunia saat ini adalah bersertifikasi halal.
Sektor halal industri
Halal industri sendiri mencakup keuangan Islam, pharmacy, food, kosmetik, modest fashion, media dan rekreasi serta halal tourism. Jadi halal tourism pbagian dari 7 sektor halal industri yang terkait dengan praktik Islam yang dikenal sebagai kepatuhan terhadap halal, tambahnya.
Negara -negara non-muslim terutama pasca Covid-19 aktif menjaring wisman muslim di dunia yang populasinya mencapai 2. 2 miliar maupun pasar dari non muslim dengan menciptakan kebutuhan pasar yang besar ini.
Di sektor halal tourism atau wisata halal populerlah produk paket-paket Muslim Friendly Tourism (Ramah Muslim).
“Negara non-Muslim justru menjadi pemasok terbesar untuk kebutuhan food & beverage atau makanan dan minuman halal kebutuhan umat Muslim seperti daging sapi dan ayam. Di sektor wisata halal, negara Jepang, Thailand, Taiwan justru sukses menjual paket wisata halal,” ungkap pria yang pernah menjadi Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kabinet Indonesia Bersatu II periode 2011-2014 ini.
Menurut Sapta RI jangan ikut-ikutan memasarkan paket wisata halal dengan sebutan Muslim Friendly Tourism karena definisinya merujuk pada penyediaan fasilitas dan layanan yang disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan Muslim, namun tak sepenuhnya mengikuti pedoman halal sesuai dengan kaidah agama Islam.
Muslim Friendly tujuan utamanya adalah untuk membuat lingkungan yang lebih ramah dan nyaman bagi wisatawan Muslim tanpa memastikan semua aspek benar-benar halal. Memang fasilitas seperti makanan halal, tempat ibadah, dan informasi tentang arah kiblat biasanya disediakan.
Namun, tempat-tempat ini mungkin juga menawarkan opsi non-halal atau tidak memisahkan makanan halal dan non-halal dalam penyajiannya untuk tourism.
Sebuah restoran mungkin menyediakan makanan halal tetapi juga menjual alkohol, atau hotel mungkin tidak sepenuhnya mematuhi standar syariah dalam operasionalnya.
“Ironisnya Indonesia dengan penduduk mayaroritas Muslim terbesar di dunia justru belum banyak yang menjadikan halal sebagai brand dan pelaku pariwisata maupun pemerintahnya banyak memakai istilah produknya sebagai Muslim Friendly Destination,” katanya.
Seharusnya dengan konsep halal tourism, semua fasilitas dan layanan, mulai dari makanan hingga akomodasi dan kegiatan, diatur agar sepenuhnya memenuhi standar halal. Ini termasuk makanan yang disiapkan dan disajikan dengan metode yang sesuai syariah.
Menjawab pertanyaan para peserta soal produk halal tourism sebaiknya memakai label apa, Sapta Nirwandar menjelaskan Pemerintah Daerah maupun para pelaku pariwisata saatnya bersatu dalam menggunakan label produk wisata halal (halal tourism) dan mengikuti standar SMIIC dari OKI.
“Indonesia negara anggota OKI, kami merintis standarisasi HTS justru saat konfrensi OKI di Jakarta tahun 2014 saat saya masih menjadi Wamen Kemenparekraf. Berhubung atasan-atasan saya di Kemenparekraf seperti I Gede Ardika, Jero Wacik, Mari Pangestu adalah non-Muslim sehingga acara-acara OKI saya yang menghadiri dan mewakili serta berkontribusi pada hasil-hasil pertemuan termasuk HTS,” tegas Sapta.*