Salah satu buku KH Ahmad Nahrawi, Al-Imam As-Syafi`i fi Madzabihi al-Qadim wal al-Jadid dijadikan referensi Profesor Dr. Ali Jum’ah dalam mengarang kitab Madhal ila Dirasah Madhab Syafi’iyah
Hidayatullah.com | BERTEMPAT di Rumah Budaya Ar-Rab’ Distrik al-Gamaliyyah, Kairo, Mesir, Rabu, 16 April 2025, penerbit Mujawirin dan KPJ (Keluarga Pelajar Jakarta) Mesir, meluncurkan buku Syekh Ahmad Nahrawi Jejak Kedidupan Ulama Betawi Dalam Kenangan Putri Tercinta.
Dr. KH. Ahmad Nahrawi Abdus Salam, adalah ulama Betawi kelahiran Jakarta, tepatnya Pedurenan Karet Haji Cokong. “Diluncurkan hari ini, di bulan Syawal, karena Baba meninggalnya pada 21 Syawal,” ungkap Du’aa Ahmad Nahrawi, S.E., S.Pd., M,M, putri kedua ulama yang Pada 7 Februari 1999, di kediamannya di Pancoran, Jakarta Selatan.
“Buku ini menyuguhkan sosok Nahwawi sebagai suami, sebagai ayah, disertai kenangan dan canda tawanya berkelebat di pelupuk mata,” katanya disertai genangan air mata, mengawali presentasinya.
Ustadzah Du’aa, demikian sapaanya akrabnya, menceritakan meskipun sangat memanjakan anak-anaknya, KH Ahmad Nahrawi tetaplah sosok tegas.
Ia mengisahkan, ada sebuah villa besar di depan rumahnya. Tapi ia lebih suka menyebutnya dengan rumah hantu, karena bangunan sebesar itu tanpak tidak penghuni; sunyi dan sepi.
Di taman rumah itu, ada pohon stroberi yang sangat ranum kemerahan. Tanpa berpikir panjang, ia memetic dan membawanya pulang ke rumah.
Ia membasuh buah itu dan meletakkan di piring dengan penuh kegirangan. Niatnya ingin menikmatinya, sambil mendekat pada Sang Baba, panggilan Du’aa kepada (alm) KH. Nahrawi yang ketika itu sedang membaca buku di balkon rumah.
“Dapat dari mana itu?,” tegur Baba.
“Dari rumah kosong di depan,” jawab Du’aa.
“Kamu telah mencuri, ayo kembalikan,” demikian jawab Sang Baba serius.
“Dengan terpaksa aku pun menuruni tangga rumahku yang berada di lantai 7, ke rumah hantu itu. Mengetuknya berkali-kali. Tidak ada jawabannya. Aku menoleh ke atas. Baba mengawasiku dari atas balkon. Aku melambaikan tangan memberi tanda jika rumahnya kosong,” katanya.
Namun KH Nahrawi tetap memberi isyarat dengan tangan agar Du’aa terus mengetuk pintu hingga muncul sosok berjubah putih, dan membuatnya kanget hingga buah stroberi itu berhamburan.
Karena takut, Du’aa lari Kembali ke rumah. Namun KH Nahrawi memintanya Kembali untuk meminta maaf.
“Kembali lagi, kamu belum minta maaf,” demikian hardik Baba dengan penuh ketegasan.
Para audien terkesima dengan paparan sosok putri kedua dari doktor dengan 10 gelar kesarjanaan ini dalam dalam menanamkan ilmu kepada keluarganya.
***
Saat kecil, Du’aa yang sering mencandai sosok sang ayah dengan panggilan Ya Duduk (maksudnya, panggilan sang ayah ke Du’aa Enduk, panggilan anak putri dalam Bahasa Jawa). Sebuah penggilan yang mengambungkan budaya Timur Tengah dan Indonesia. Karena ia sekeluarga dibesarkan di 3 Negara; Mesir, Saudi dan Indonesia.
Meski demikian, setiap hari Du’aa memanggil sang ayah dengan panggilan Pak Kiai. Cara bercerita Du’aa begitu lugas, nyaris kekinian banget Bahasa Indonesainya walau ia lama sudah kembali ke negeri kakek-nekeknya di Mesir.
Kini, ia hidup bersama keluarga dari ibunya sepeninggal ayahnya. Namun Khas Indonesia dan budayanya masih tersirat dalam penuturan katanya.
“Saat kecil aku tidak mengerti apa yang dilakukan Pak Kiai. Tapi setelah dewasa, aku membaca buku parenting. Ternyata itu cara mendidik anak yang baik. Membaca buku memang kebiasan Baba sejak mahasiswa. Aku juga membiasankan itu. Setiap saya buka sosmed. Aku baca dulu sampai tuntas. Tidak langsung share sana sini. Saring sebelum sharing,” ujarnya.
Acara bedah buku ini juga dihadiri oleh Dr. Abdul Muta’ali, Atdikbud beserta rombongan KBRI Cairo, Presiden PPMI dan Gebenur Kekeluargaan Mahasiswa Mesir.
Peraih beasiswa East Wets Center Huwaii ini, dengan penuh semangat mencerikan keseharian ayahnya yang ia lihat.
Menurutnya, di pagi hari ayahnya mengawali membaca Al Quran. Sementara jika di luar lebih banyak diam.
Namun saat ditanya Ilmu, KH. Nahwari langsung memulai diskusi panjang lebar. “Sampai-sampai jika mamaku cemburu. Karena baca buku melulu. Mama beli burung, dan dilepaskan ke Baba. Kan Baba takut ke Burung. Akhirnya Baba menutup bukunya dan Istirahat bersama Mama,” celotehnya dengan penuh semangat mengisahkan kedua orang tuanya yang sangat harmonis.
Meski istri KH Ahmad Nahrawi berkebangsaan Mesir kehidupan keduanya dikenal romanis. Bahkan istrinya rela diajak pindah ke Indoesuia dari Saudi, dan menemaninya hingga KH Nahrawi wafat di Jakarta pada 7 Februari 1999 M.
“Walau kembali lagi ke Mesir, Mama tidak mau menikah lagi karena ia tidak pernah bisa move on dari cintanya Baba,” ujar Du’aa.
Menurut Ustadz Muhid Rahmad dari Penerbit Mujawirin, penerbitan buku ini sebagai usaha bersama menghubungkan semangat dan nilai-nilai yang diwariskan oleh insan yang hidupnya berhias ilmu dan kebajikan.
Rahmad berharap para Masisir –istilah untuk para mahasiswa Indonesia di Mesir—agar menjadikan sosok Dr. Nahrawi, sebagai roll model kehidupan berkuliah dan gigih belajar di tanah para anbiya ini.
Ulama Produktif
Ahmad Nahrawi lahir di Pedurenan Karet Haji Cokong (sekarang di belakang Jalan HR Rasuna Said Kuningan, Jakarta Selatan) Ahad, 30 Agustus 1931 M. Nama Abdussalam diambil dari nama bapaknya, H Abdus Salam, merupakan keturunan Maroko.
Ibunya Bernama Nadjmiah, anak ketiga (dari lima bersaudara) dari istri pertama Guru Mughni Kuningan yang memiliki delapan istri, salah seorang dari enam guru Betawi yang terkemuka.
KH Ahmad Nahrawi menyelesaikan gelar B.A tahun 1956 dari Fakultas Syari`ah Universitas Al-Azhar, Kairo, berlanjut dua gelar M.A diraihnya pada universitas yang sama, yakni M.A jurusan kehakiman (1958) dan M.A jurusan Pengajaran dan Pendidikan (1960).
Setahun kemudian mendapat gelar Diploma I jurusan Hukum, dan Diploma II diraihnya pada tahun 1962, keduanya diperoleh di Akademi Tinggi Liga Arab, Kairo. Kedua Diploma tersebut setara dengan M.A.
Tahun 1966, ia mendapat M.A Personal Statute dan Perbandingan Mazhab dari Universitas Al-Azhar, Kairo dan melanjutkan lagi hingga meraih gelar Doktor dalam bidang Perbandingan Mazhab dari Fakultas Syari`ah dan Hukum, Universitas Al-Azhar, Kairo.
KH Ahmad Nahrawi adalah salah satu ulama Indonesia yang namanya cukup terkenal di Mesir yang dikenal porduktif menulis.
Karya-karyanya antara lain Muhammad fil Qur`an, Mukhtasar al-Bukhari w Muslim, dan Al-Qiraat al-`Ashr. Namun, yang monumental adalah Al-Imam As-Syafi`i fi Madzabihi al-Qadim wal al-Jadid yang dijadikan referensi oleh Profesor Dr. Ali Jum’ah dalam mengarang kitab Madhal ila Dirasah Madhab Syafi’iyah.
Kitab ini telah diterjemahkan oleh JIC dan diterbitkan bersama penerbit Hikmah (group Mizan) pada tahun 2008 dengan judul Ensiklopedia Imam Syafi`i.
Penerjemah Ir. Sukarno saat mengadakan pertemuan dengan Presiden Mesir, Gamal Abdel Naser ini kini memiliki 3 putri; Dr. Amirah anak pertama menetap di Indonesia meneruskan pesantren ayah-nya, Du’aa dan Manar.
Anak pertama Amirah menetap di Indonesia, anak kedua, Dua’a di Mesir, sementara anak ke-3, Manar menetap di Malaysia.*/Muh Kurdi Arifin, mahasiswa Al Azhar, Fakultas Usuluddin