Jika harga hewan kurban bisa ditekan dengan intervensi pemerintah, jumlah orang yang berkurban mungkin akan bertambah
Oleh: Imam Nawawi
Hidayatullah.com | KURBAN di Indonesia yang berlangsung setiap Dzulhijjah dapat mengungkap berbagai fakta membahagiakan sekaligus memprihatinkan di negeri ini, terutama soal pemerataan konsumsi daging.
Tentu kita bisa meraba, bahwa konsumsi daging masyarakat di pedesaan, umumnya hanya terjadi ketika Hari Raya Idul Adha. Tragisnya, tidak semua warga desa bisa menikmati daging justru pada hari raya penuh bahagia itu. Mengapa?
IDEAS menyampaikan alasannya, mengapa daging kurban belum bisa terdistribusi secara merata. Yakni karena kesenjangan pendapatan antar wilayah di negeri ini. Ini bisa kita tangkap langsung, bagaimana kesenjangan hidup terjadi antara warga perkotaan dengan warga lainnya.
Dalam skala pulau Jawa, kata IDEAS, 2 juta orang keluarga kelas menengah Muslim tinggal di Jabodetabek. Kemudian 1 juta keluarga kelas menengah Muslim lainnya tersebar di Bandung Raya, Surabaya Raya, Yogyakarta Raya, Semarang Raya dan Malang Raya. Itu berarti kawasan perkotaan akan surplus hewan kurban, sedangkan pedesaan akan defisit daging kurban.
IDEAS juga mencatat mustahik prioritas yang berhak menerima daging kurban di Jawa, tidak kurang dari 6,4 juta jiwa. Sedangkan potensi mustahik terbesar di Jawa mencapai 15,1 juta keluarga.
Outlook Komoditas Peternakan Daging Sapi yang diterbitkan oleh Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal – Kementerian Pertanian Tahun 2022 menyebutkan bahwa konsumsi daging di Indonesia secara nasional masih mengalami defisit. Kondisi defisit itu masih akan terus terjadi hingga 2026.
Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan (populasi) hewan dalam hal ini sapi masih sangat tidak memadai. Dan, karena itu langkah antisipasi mengatasi defisit daging melalui kebijakan impor sapi potong masih menjadi “tradisi”.
Jalan Keluar
Pertanyaan berikutnya bagaimana menyelesaikan masalah ini?
Menunggu pemerintah mampu menghadirkan kesejahteraan ekonomi yang setara antara kota dan desa bukan tindakan yang relevan. Gotong royong yang harus kita kuatkan.
Setidak-tidaknya melalui momentum kurban kita bisa buktikan bahwa upaya pemerataan konsumsi daging itu bisa.
Siapa yang paling potensial mampu menjembatani soal ini? Tidak lain adalah lembaga-lembaga filantropi Islam.
BMH, misalnya, yang sejak awal kiprah terus mengajak masyarakat mau berkurban untuk warga pedalaman, pesisir, dan kepulauan bahkan tapal batas negara, penting untuk didukung secara lebih komprehensif.
Dalam konteks yang lebih luas, pemerintah juga dapat mendorong Kementerian Pertanian bagaimana menyediakan harga hewan kurban pada saat Dzulhijjah bisa dijangkau oleh seluruh masyarakat, sehingga antusiasme masyarakat berkurban semakin meningkat.
Sebagai sebuah pengalaman, pada Dzulhijjah di tahun 1443 dan 1444 H (2022 dan 2023) ada harga hewan kurban ke Afrika yang sangat murah (berkisar 1,2 juta), masyarakat yang ikut berkurban melonjak.
Jika harga hewan kurban, katakanlah kambing bisa ditekan dengan adanya intervensi pemerintah, maka jumlah orang yang berkurban di dalam negeri akan bertambah.
Jika kondisi itu tercapai maka aliran daging kurban ke desa-desa, seperti di pedalaman, pesisir, kepulauan dan tapal batas negara, menjadi sangat mungkin untuk diwujudkan.
Pada sisi yang lain, corporate dengan karyawan Muslim yang besar juga dapat mengambil langkah inisiatif, bagaimana kurban dari seluruh karyawannya diintegrasikan dengan program pemerataan daging kurban ke desa-desa bersama lembaga filantropi Islam. Langkah ini sangat sederhana dan bisa diterapkan.
Tinggal bagaimana ini bisa segera dipahami, dimulai dan dilakukan serta dikuatkan.
Umat Islam sebagai mayoritas penduduk negeri di Indonesia harus sadar dan terpanggil menjadi umat terbaik (kuntum khairu ummah). Dalam hal ini berarti konsolidasi pemikiran dan langkah strategis untuk menjawab problem yang ada mesti menjadi kebutuhan bersama.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Syarat dari hal tersebut dapat kita wujudkan adalah menumbuhkan dan merawat jiwa kepeloporan dalam kebaikan. Pemerintah semestinya hadir menjembatani bagaimana lembaga filantropi Islam bisa semakin kuat kiprahnya.
Pada saat yang sama pengusaha Muslim juga mulai bagaimana berpikir yang dapat menghadirkan multi manfaat dalam setiap event besar keumatan. Sisi yang lain, politisi Muslim juga semestinya antusias mendorong hadirnya satu kebijakan yang memungkinkan ekosistem pemerataan ekonomi melalui kurban juga bisa dimulai.
Jika kemudian fakta yang kita temukan dalam realitas kurban seperti ini tidak pernah kita ubah, maka sampai kapanpun kita akan sibuk membaca dan mengulas data.
Pada saat yang sama seiring waktu yang terus berjalan, kita tidak pernah bisa benar-benar mewujudkan amanah konstitusi negara Indonesia, mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia.
Melalui momentum Idul Kurban yang tidak lama lagi menyapa kita, mari berpikir dan melangkah bersama. Insha Allah bisa. Dan, kesadaran ini menjadi keniscayaan untuk kita semua melihat Indonesia Emas 2045 benar-benar menyala.*
Kepala Humas BMH Pusat