PAGI itu, Senin 6 Oktober 2014, matahari baru saja beranjak naik, namun suasana di Pondok Pesantren Hidayatullah Bitung sudah terasa sibuk.
Beberapa ustadz dan santri sibuk membaringkan seekor sapi besar untuk disembelih. Sengaja dilaksanakan sepagi mungkin karena daging kurban akan disebar ke beberapa titik di Kota Bitung dan Kabupaten Minahasa Utara, dua daerah yang luas, yang jika tak diatur waktunya, bisa-bisa semalaman di jalan.
Sapi ini adalah kurban dari pembaca hidayatullah.com yang memang peruntukannya diprioritaskan pada dhuafa di pedesaan.
“Alhamdulillah, sebelum Dhuhur daging sudah dibungkus, dimuat di atas mobil. Tak lupa kami naikkan juga beberapa karung beras. Karena kami tahu, bahwa beberapa keluarga yang akan dikunjungi, jangankan daging, beras pun bagi mereka adalah barang mewah,” ujar Ustad Samsul Arifin, koordinator qurban dari pembaca hidayatullah.com di Sulut.
Titik pertama yang dikunjungi adalah Kelurahan Batu Putih. Terletak di pesisir Bitung, terdapat tak kurang dari 80 KK muslim berdomisili di sana.
Setelah Batu Putih, tim menuju Kelurahan Tanjung Merah, di tempat ini, terdapat 20 KK muslim muallaf.
Tak urung, raut kebahagiaan terlihat di wajah mereka, saat kedatangan tim.
Titik ketiga, yang merupakan tujuan akhir kami adalah Desa Paputungan di Kabupaten Minahasa Utara. Butuh sekitar 3 jam perjalanan darat dari Bitung.
Desa Paputungan adalah salah satu desa binaan Hidayatullah. Terdapat hanya 11 KK muslim di tengah komunitas besar Kristen. Kondisi ekonomi yang memprihatinkan membuat mereka rawan terhadap pemurtadan.
“Kami mengunjungi mereka satu persatu, mendatangi rumah dan menyalami mereka, menghormati dan memuliakan mereka para dhuafa. Alhamdulillah, menjelang maghrib tunai seluruh amanah.”
Sungguh Allah tiada menerima daging dan darah hewan kurban kita, hanya taqwa kitalah yang sampai kepadaNya.
Akan tetapi sungguh daging dari hewan yang kita kurbankan adalah sarana dakwah, penguat ukhuwah dan peneguh akidah yang tak bisa kita sepelekan pemanfaatannya.*/laporan Samsul Arifin (Manado)