Hidayatullah.com– Presiden International Association of Muslim Psychologist (IAMP) Dr Bagus Riyono, mengatakan teori perilaku massa dalam psikologi lebih sering menjelaskan tentang kekacauan, konflik, kekerasan dan agresivitas. Namun psikologi mainstream tak akan mampu menjelaskan bagaimana perilaku massa dalam Aksi Bela Quran II pada Jumat, 04 Nopember 2016 (Aksi 411) atau Aksi Bela Quran III pada Jumat, 02 Desember 2016 (Aksi 212).
“Jadi psikologi mainstream tak akan mampu menjelaskan bagaimana perilaku massa (jumlah besar) yang sebenarnya sedang sangat tersinggung itu bisa berjalan damai. Kenapa? Karena psikologi Barat/mainstream tak dapat menjelaskan dengan baik, maka ahli psikologi motivasi dan pemerhati masalah HAM ini menawarkan konsep tentang anchors (jangkar pengait),” ujar Ketua Presidium Gerakan Indonesia Beradab (GIB) dalam Forum Dialog dan Diskusi tentang Aksi Super Damai 212 [ditinjau dari sudut pandangan Sosiologi, Psikologi dan Urban Design] yang berlangsung di University Center Universitas Gadjah Mada, Sabtu, 14 Januari 2017.
Acara yang diselenggarakan oleh Gerakan Indonesia Beradab (GIB), juga menghadirkan menghadirkan Prof. Dr. Musni Umar (Sosiolog), Dr. Bagus Riyono (Psikolog) dan arsitek Wiryono Raharjo, PhD untuk memotret fenomena Aksi 212.
Apresiasi Aksi 212, Rabbani: Bersatunya Jutaan Muslim Menggetarkan Hati
Dalam pembahasannya, Dr Musni Umar mengatakan bahwa pemicu utama dari Aksi 212 adalah maraknya ketidakadilan hukum dan ekonomi yang kini terjadi di Indonesia.
“Lihat saja bagaimana penggusuran dilakukan dengan semena-mena sedang reklamasi tanpa kejelasan prosedur bisa berjalan sedemikian rupa. Ini hanyalah salah satu contoh dari ketidakadilan hukum itu.”
Dari sisi ekonomi, maka masyarakat mayoritas Indonesia dinulai bukanlah mereka yang menikmati hasil pembangunan. Sebab pembangunan hanya bisa dirasakan dengan baik oleh 20 persen saja penduduk Indonesia.
“Salah satu temuan dari blusukan saya di Jakarta adalah ketika saya menyaksikan sendiri bagaimana sebuah keluarga harus tidur bergantian, karena ruang hidup dan kamar di rumah mereka tak mencukupi,” ujarnya.
Rektor Universitas Ibnu Chaldun yang pernah keluar masuk penjara di masa Orde Baru karena kritis terhadap pemerintah ini menyatakan dirinya adalah saksi hidup dari perubahan kebijakan pemerintah dan sangat memahami bagaimana kesulitan-kesulitan hidup dirasakan oleh rakyat kecil. Sebagai sosiolog, Ia akrab dengan itu semua.
Mantan aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) ini mengatakan bahwa kesenjangan ini jika tidak diatasi dengan baik maka tinggal menunggu waktu untuk meletus.
Meski demikian, Musni Umar tak melihat bahwa revolusi merupakan opsi yang tepat, karena pergantian rezim tidak selalu memberikan penyelesaian yang lebih baik. “Contohnya reformasi”, tegas Musni.
Banyak hal yang terjadi dalam pengelolaan negara tidak sesuai dengan cita cita dan tujuan dari reformasi tersebut.
“Kini menjadi wakil rakyat harus keluar biaya banyak betul dan mendorong orang untuk memanfaatkan posisinya guna mengembalikan investasi yang telah ia keluarkan.”
Akhirnya sistem yang korup-pun muncul. Selain itu, ketidakadilan hukum dan ekonomi masih tetap saja terjadi, bahkan makin menguat.
“Rezim sekarang bekerja tidak berdasar perencanaan bangsa untuk jangka panjang. Sepanjang bisa mendapatkan kesan baik melalui media dan media sosial seolah-olah tugasnya telah berjalan baik,” kritiknya.
Dari sini yang terjadi kemudian mempermainkan opini melalui media. Salah satu langkahnya adalah dengan mengandalkan buzzers untuk memenangkan opini itu. Salah atau betul kebijakannya, itu bukan menjadi soal terpenting.
Jakarta Kota Lelah
Sementara itu, pakar arsitektur Wiryono Raharjo, PhD membahas Aksi 411 dan Aksi 212 dari sudut pandang urban design. Ia menyampaikan pengamatannya terhadap penataan kota bagi kaum miskin/dhuafa.
Arsitek dan dosen Universitas Islam Indonesia (UII) yang akrab dipanggil Pak Wing ini menggarisbawahi bahwa keberadaan simbol bagi sebuah kota itu menjadi amat penting. Apa yang akan menjadi ciri yang khas bagi Jakarta, telah dipikirkan oleh Soekarno cukup baik. Ia menginginkan agar Jakarta tidak kalah dengan kota-kota lain di dunia.
Ketua MPR RI Puji Aksi 212 sebagai Teladan Persatuan Umat Islam
Maka Aksi 212 dengan latar belakang Tugu Monas telah memperkuat aksi damai tersebut. Sambil melakukan simulasi Wing mengatakan, “Coba kita lihat, bagaimana jika di antara massa yang berkumpul itu, Monas kita hilangkan,” yang disambut senyum peserta seminar.
Jadi kombinasi Monas, Bundaran HI menurutnya menjadikan aksi tersebut lebih berkesan.
Dari sisi pembangunan fisik bagi masyarakat dhuafa, pengkaji Pro Poor Architecture ini mengatakan perlunya ada keberpihakan.
Ia menyinggung Agung Podomoro yang membangun gedung apartemen bertingkat tingkat, banyak yang di dalamnya kosong karena hanya untuk investasi bukan untuk keprluan dihuni. Di sisi lain justru banyak masyarakat miskin tidak mampu untuk memiliki tempat berteduh yang layak.
Wiryono dan Musni sepakat bahwa merelokasi ke rusun itu hanya akan mengulangi kegagalan. Itu seperti pintu memiskinkan karena tidak dibarengi dengan memandirikan secara ekonomi. Orang akan kembali lagi ke daerah gusuran, karena di situlah mata pencaharian mereka berasal. Hal yang sama telah terjadi dengan rusun Tanah Abang di tahun 80-90-an.
Tapi mengapa kegagalan akan diulang kembali?
Atas dasar apa reklamasi dan relokasi ini sebenarnya dilakukan?
Wiryono setuju adanya upaya pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan. Sebab Jakarta adalah kota yang lelah. Harus dimunculkan kesadaran masyarakat untuk membenahi kota bersama-sama.
Acara yang dimoderatori oleh Wien Noto Gayo, (aktivis Pelajar Islam Indonesia -Jakarta) ini memberikan insight baru bagi peserta tentang kehidupan bersama, perlunya meminimalkan kesenjangan dan ketidakadilan.*/kiriman Emi Zulaifah