Hidayatullah.com–Belakangan ini, netizen Indonesia dihebohkan dengan kehadiran akun-akun yang menyerang Islam di Twitter. Akun-akun tersebut muncul tepat setelah kasus ‘dosen swinger’ mengemuka. Serangannya memiliki corak yang sama, yaitu membentur-benturkan Islam dengan budaya daerah.
Fenomena ini menuai reaksi dari Akmal Sjafril, seorang pegiat #IndonesiaTanpaJIL (ITJ). Melalui beberapa cuitan di akun Twitternya, @malakmalakmal, pada hari Rabu (05/08/2020), Akmal menyampaikan keprihatinannya.
“Muncul akun-akun yang mempromosikan nativisasi, yaitu membenturkan Islam dengan budaya lokal pra-Islam. Seolah-olah Islam adalah pendatang yang menyusahkan,” tulis aktivis yang pernah menjabat sebagai Koordinator Pusat (Korpus) ITJ ini.
Pandangan negatif terhadap Islam itu, menurut Akmal, adalah hasil dari pemikiran yang sangat absurd. Sebab, Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas mutlak rakyat Indonesia, jauh sebelum kemerdekaannya. Karena itu, pastilah Islam merupakan salah satu faktor penting bagi kesuksesan perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.
Jika para penganut aliran kebatinan dan semacamnya mau menggugat Islam di negeri ini, maka sesungguhnya mereka buta sejarah. “Nyatanya tak seorangpun sejarawan yang menyatakan bahwa aliran-aliran kebatinan, kepercayaan animis, dinamis dan lain-lain itu sebagai faktor bagi kuatnya perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia,” ujar Akmal lagi.
Untuk mendukung pendapatnya, Akmal menyebut nama-nama para sarjana Barat yang secara khusus meneliti sejarah Indonesia. “Semuanya kompak menyebutkan bahwa Islam adalah faktor utama dari kuatnya perjuangan kemerdekaan itu. Baca saja karya-karya George McTurnan Kahin, Harry J. Benda, Karel Steenbrink. Bahkan Snouck Hurgronje juga. Memangnya kenapa Hurgronje hanya mengusik Islam? Ya karena Islam itulah kekuatan utama bangsa Indonesia,” tandas penulis buku Islam Liberal 101 ini.
Menurut Akmal, memisahkan Islam dengan masyarakat lokal memang merupakan proyek penjajah sejak dulu. Di Jawa, misalnya, ada Kitab Darmogandul dan Gatoloco yang isinya penuh caci maki terhadap Islam. “Kedua kitab itu sengaja ditulis untuk mengesankan bahwa orang Jawa merasa terancam dengan Islam, padahal ini proyeknya Belanda,” ungkap Akmal.
Kehadiran kaum Teosofi di Indonesia sejak lama juga merupakan salah satu faktor yang menumbuhsuburkan aliran-aliran kebatinan ini, karena Teosofi memang dikenal suka dengan segala hal yang berbau mistis. Bagi penjajah, memberi dukungan terhadap aliran-aliran kebatinan memang memiliki nilai strategis. Sebab, dengan cara itu, mereka bisa melemahkan rintangan terbesar mereka, yaitu Islam.*