Hidayatullah.com–Dalam rangka mengembangkan misi hubungan peradaban antar bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian, Bibliotheca Alexandrina menggelar konferensi yang bertajuk “Ta’aruf al-Khadharat”.
Konferensi ini berlangsung selama dua hari, 18-19 Mei 2011, di Bibliotheca Alexandria (Maktabah Iskandariyah) dan dihadiri oleh para akademisi dari 18 negara-negara Islam dan Arab.
Turut menyukseskan acara ini dua lembaga pendidikan Mesir, yakni Pusat Studi Kebudayaan & Dialog Peradaban Fakultas Ekonomi dan Ilmu Politik Universitas Kairo, dan “Markaz al-Hiwar” Universitas al-Azhar.
Tidak kurang dari 17 pembicara dihadirkan dari 7 negara-negara Islam, seperti: Mesir, Maroko, Algeria, Tunisia, Turki, Iran dan Saudi Arabia untuk mengulas seputar masalah peradaban dan pemikiran Islam.
Ta’aruf Khadharat secara harfiyah berarti usaha saling mengenal beragam peradaban. Ia merupakan istilah modern yang muncul untuk mengembangkan wawasan pengetahuan dan memerangi ketidaktahuan terhadap peradaban dunia. Istilah ini bertujuan untuk membina hubungan antar peradaban secara bermartabat dan saling menghormati.
Di samping itu, ia juga mengkritisi istilah-istilah yang berdampak negatif yang sering disandingkan dengan kata “peradaban”, seperti istilah: konflik, konfrontasi, divisi dan penolakan sepihak oleh yang kuat.
Konferensi ini membahas unsur-unsur peradaban Islam yang damai dan berkemajuan sehingga diharapkan bisa berkonstribusi membangun dunia yang aman dan sejahtera, serta bisa dinikmati manusia semuanya.
Dalam sambutan tertulisnya, Imam Akbar Syeikh al-Azhar Prof. Dr. Ahmad al-Thayyib menguraikan karakter ajaran Islam yang toleran dan terbuka terhadap pemeluk agama lain.
Beliau juga mengungkapkan data-data historis tentang keterbukaan Islam terhadap semua umat dan peradaban. Interaksi yang sangat intensif terhadap peradaban umat lain bisa dilihat jelas melalui gerakan penerjemahan buku-buku agama dan tasauf India, filsafat Yunani serta peradaban Persia kedalam bahasa Arab.
Prof. Dr. Nadiya Mahmud Mustafa, professor di bidang hubungan internasional dan ketua jurusan ilmu politik di Universitas Kairo, mengulas contoh-contoh historis tentang adanya upaya saling mengenal antar peradaban baik melalui perang maupun diplomasi.
Misalnya bagaimana peradaban Islam berinteraksi dengan peradaban lainnya, baik bangsa-bangsa yang ditaklukkannya maupun yang menaklukkannya. Seperti yang terjadi pada masa-masa kejayaan Islam saat menaklukkan kawasan Syam, Persia, Spanyol, Balkan (Yugoslavia, Belgrade, Sarajevo), dst. Atau ketika munculnya kebangkitan Kristen di Spanyol hingga terjadi pembersihan etnis Islam dan budaya Arab dari bumi tersebut; kisah Islamnya kekaisaran Mongol setelah menaklukkan negeri-negeri Islam, terjalinnya hubungan ekonomi melalui jalur sutera pada masa Daulah Usmaniyyah, dst.
Dr. Nevzat Savas, pembicara dari Turki, membahas tentang mobilisasi pendidikan dan harta dalam mencetak manusia berperadaban. Beliau mengatakan bahwa manusia adalah kunci perubahan sosial dan kunci pembangunan peradaban.
Sedangkan ilmu pengetahuan ibarat ragi dan kimia pengubah manusia. Ilmu pengetahuan yang integral akan menghasilkan manusia yang paripurna. Oleh karena itu, perubahan sosial dan pembangunan peradaban yang hakiki hanya akan tercapai apabila peradaban ilmu terbina dengan baik. Peradaban yang dibangun dari ilmu yang integral ibarat gelombang ombak yang berasal dari dasar laut yang akan menggerakkan seluruh lautan. Ia bukanlah sekedar ombak di permukaan laut yang muncul dan hilang karena tiupan angin. Dalam hal ini Dr. Nevzat banyak memaparkan pengalaman dari falsafah sekolah Turki yang didirikan oleh sekelompok saudagar Turki di banyak negara.
Konferensi ini terasa sangat singkat untuk membahas masalah-masalah peradaban. Bahkan banyak di antara pemakalah yang terbentur dengan masalah keterbatasan waktu.
Namun demikian, paling tidak konferensi ini telah memberi sumbangan positif dengan menggali khazanah Islam yang pernah tampil sebagai model dalam menjaga eksistensi peradaban umat manusia. Tidak ada indikasi sejarah bahwa menjadi muslim berarti akan menafikan komunitas lainnya.
Sebaliknya, Islam hadir membawa rahmat bagi semua bangsa dan peradaban. Dan di tengah-tengah gelombang reformasi yang melanda beberapa negara Arab, dunia akan senantiasa menunggu konstribusi dari peradaban Islam.* /Henri Shalahuddin, laporan dari Iskandariya, Mesir