Hidayatullah.com– Pemimpin gerakan sparatis Maluku, Republik Maluku Selatan (RMS) John Wattilete (nama lengkapnya Johannes Gerardus Wattilete) membatah pihaknya telah mengirim senjata ke wilayah konflik Maluku. Pernyataan ini disampaikan Wattilete mengomentari artikel di harian Belanda, Trouw, yang menyatakan pejuang Kristen di Maluku itu menerima ratusan senjata dari RMS, yang diselundupkan lewat kontainer kapal laut ke Kepulauan Maluku.
“Omong kosong,” ujar John Wattilete.
“Tidak ada hubungannya antara peran kami di sana dan konflik yang terjadi. Saya tidak tahu siapa sumber dari jurnalis ini dan dari mana ia mendapatkan berita itu. Apa yang tercantum di koran itu menyatakan keterlibatan RMS di Belanda atas konflik di Maluku dengan pengiriman senjata. Saya juga tidak tahu bagaimana berita ini sampai muncul. Saya juga bertanya-tanya siapa yang menjadi sumber berita ini,” ujarnya dikutip Radio Nederlands, Selasa (3/10/2011).
John Wattilete melanjutkan, dulu ia memang sering mendengar tuduhan seperti itu. Pria yang namanya berada di balik gugatan penangkapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)di Belanda tahun 2010 ini menyatakan situasi di Maluku sekarang mengkhawatirkan, namun ia melihat posisi Muslim dan Kristen di Maluku semakin kuat. Kendati ia tak bisa meramalkan sampai berapa lama itu bisa terjadi.
Separatisme
Belum lama ini, menanggapi konflik terbaru di Ambon, mantan Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi menyinggung masalah separatisme sebagai akar permasalahan, bukan pertikaian agama.
“Sparatisme RMS memerlukan konflik lokal yang diatur secara nasional bahkan internasional. Cara yang paling murah adalah menciptakan konflik agama yang dipercepat dengan faktor kemiskinan rakyat, daripada menggunakan issue yang lain yang lambat dan mahal,” ujar Hasyim yang juga Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP) yang berkedudukan di New York itu, Rabu (14/9/2011) dikutip inilah.com.
John Wattilete lahir di Belanda pada 1954, sebagai generasi kedua RMS di negara itu. Ibunya orang Belanda dan ayahnya berasal dari Maluku Selatan. Lulusan Universitas Nijmegen ini sehari-hari berprofesi sebagai pengacara di Belanda.
Pada era 90-an, ia masuk organisasi pemuda Maluku di Belanda. Tak lama setelah bergabung, pada 1995 ia diangkat menjadi Menteri Urusan Umum di kabinet RMS. 17 April 2010 dia dilantik sebagai Presiden RMS pertama yang lahir di Belanda.
Di awal era Reformasi, pada 1999 ia ke Tanah Air bersama pendeta Otto Matulessy, delegasi RMS, bertemu dengan Presiden BJ Habibie.
Pria yang kini di pengasingan itu mendadak tenar di Indonesia setelah pernah meminta pengadilan Belanda menangkap SBY.*
Foto: tempointeraktif