Hidayatullah.com–Pada 18 Juli 2018 apabila masih hidup Nelson Mandela akan berusia 100 tahun. Tokoh anti-apartheid Afrika Selatan itu dulu memimpikan negaranya bersatu, hidup makmur, aman dan damai. Namun, seperti apakah kenyataannya negara di bagian ujung selatan Benua Afrika itu saat ini?
Nelson Mandela adalah presiden Afrika Selatan pasca-apartheid yang pertama berkulit hitam. Dia seorang pejuang kebebasan dengan semangat pantang menyerah, yang menghabiskan 27 tahun waktunya di dalam sel tetapi tangannya masih mampu mengajak orang-orang yang memenjarakannya untuk berdamai.
Lima tahun setelah kematiannya pada Desember 2013, legasi Mandela masih tampak jelas di Afrika Selatan. Organisasi yang mewadahi perjuangannya, African National Congress (ANC), berhasil menduduki kursi kekuasaan yang dulu hanya ditempati orang-orang kulit putih.
Akan tetapi sayangnya, ANC beberapa tahun belakangan justru menampakkan perpecahan, penurunan dukungan publik, serta bergelimang dalam korupsi dan nepotisme.
“Menurut saya Mandela akan sangat khawatir dengan Afrika Selatan di tahun 2018 ini,” kata Jakkie Cilliers, direktur Institute for Security Studies, sebuah wadah pemikir berbasis di Afsel, seperti dikutip DW Rabu (18/7/2018).
Semasa menjabat presiden Afsel dari tahun 1994 sampai 1999, Mandela memusatkan perhatiannya kepada rekonsiliasi dan persatuan masyarakat yang terbelah karena kebencian rasial. Akan tetapi, dia gagal mengatasi sejumlah masalah besar yang dihadapi negaranya, seperti masalah ras dan kesenjangan ekonomi yang sangat dalam, yang masih memerangkap mayoritas warga kulit hitam dalam kemiskinan
Masalah distribusi lahan juga belum terselesaikan. Sebagian besar tanah di Afsel masih dikuasai minoritas kulit putih, dan kompensasi terhadap petani pemilik lahan juga terus diperdebatkan tanpa ada ujung.
Afsel sekarang merupakan salah satu negara di dunia yang paling tidak seimbang atau mengalami ketimpangan parah, menurut laporan Bank Dunia tahun 2018. Lebih dari separuh penduduknya hidup di bawah garis kimiskinan sementara segelintir elit mengontrol sebagian besar kekayaan di negeri itu.
Dengan angka pengangguran di kalangan orang muda lebih dari 50 persen, banyak pemuda memandang kritis legasi Mandela.
Mandela tidak dapat dipersalahkan atas semua masalah yang ada sekarang ini, kata Cilliers, kala itu terlalu dini untuk dilakukan perubahan radikal.
“Tugas utama Mandela [kala itu] adalah menghindari perang sipil antara warga kulit hitam dan kulit putih, dan dia berhasil melakukannya,” ujar Cilliers dalam wawancara dengan DW.
Mandela mengirimkan dua pesan kuat kepada dunia, kata Adam Habib, wakil rektor Universitas Witwatersrand di Johannesburg kepada DW. Dia bukan seorang santa alias orang suci, melainkan sekedar politisi yang dapat meraih sukses serta mengalami kegagalan besar. Kelemahan terbesar Mandela adalah terlalu mengandalkan agenda ekonomi konservatif yang 20 tahun kemudian menghantui Afsel.
Cilliers berpendapat, perekonomian Afsel bernanah di era Jacob Zuma, yang menjabat presiden dari tahun 2009 sampai dia dipaksa turun pada Februari 2018.
“Zuma mengakibatkan cedera cukup signifikan terhadap Afsel selama masa jabatan presidennya,” ujar Cilliers. “Terutama dalam isu-isu seputar kohesi nasional yang mengalami hantaman terbesar. Afsel sekarang ini negeri yang terpecah-belah, tidak bahagia.”
Cyrill Ramaphosa, bekas orang kepercayaan Mandela, menggantikan Zuma memimpin Afsel.
“Afrika Selatan sekarang harus menghadapi sejumlah masalah yang menghantuinya dan Ramaphosa mendapatkan kesempatan untuk itu, dan yang pasti dia berasal dari era Mandela,” kata Cilliers.
“Prospeknya positif, tetapi butuh waktu bertahun-tahun,” imbuhnya.*