Hidayatullah.com – Sebuah telegram yang baru dipublikasikan oleh situs WikiLeaks, sebuah situs internasional non-profit yang secara khusus menerbitkan dokumen-dokumen rahasia, mengungkapkan kekhawatiran putra mahkota Abu Dhabi, Mohammed Bin Zayed, terhadap keluarga penguasa di Arab Saudi lapor Middle East Monitor (Memo) pada Senin 13 Januari 2020.
Telegram itu, juga dipublikasikan oleh The New York Times, menyiarkan dalam sebuah laporan panjang bahwa Bin Zayed telah menginformasikan Dubes AS, James Jeffrey, bahwa dia khawatir Wahabisme di Arab Saudi dan ingin memberantasnya.
The New York Times melaporkan bahwa Bin Zayed: “menganggap keluarga kerajaan pada masa pemerintahan Raja Abdullah Bin Abdulaziz Al Saud tidak berdaya; namun, dia khawatir alternatifnya adalah negara Wahabi dan otoriter yang mirip dengan ISIS.” Dia lebih jauh mengatakan: “Siapapun yang menggantikan Al Saud akan menjadi mimpi buruk.”
Telegram itu mengungkapkan bahwa Bin Zayed kemudian memusatkan kepada putra mahkota saat ini, Mohammed Bin Salman: “Yang tidak sabar untuk memperkenalkan reformasi untuk mengurangi keterikatan Arab Saudi kepada Islam radikal, dan memasarkan visinya ke pemerintahan Presiden AS Donald Trump.”
Dalam laporan panjang yang sama, berjudul Visi Gelap Masa Depan Timur Tengah Mohammed Bin Zayed, penulis Robert F. Worth menggabungkan wawancara, profiling, dan analisan putra mahkota Abu Dhabi itu – pemimpin de facto Uni Emirat Arab (UAE).
The New York Times melaporkan bahwa Bin Zayed: “Menggunakan sumber dayanya yang sangat besar ke dalam konter-revolusi, dan bertindak keras Ikhwanul Muslimin dan membangun negara berbasis keamanan super mutakhir, di mana semua orang diawasi untuk mencari kecenderungan Islam.”
Harian tersebut menunjuk bahwa kedatangan presiden Mesir, Mohamed Morsi, adalah kesuksesan besar pertama kampanye Bin Zayed, dengan menambahkan: “Tampaknya dia sangat percaya diri dengan apa yang bisa dilakukan tanpa dibatasi Amerika, dan segera mengalihkan perhatiannya ke Libya, di mana dia mulai menyediakan dukungan militer kepada mantan jenderal, Khalifa Haftar, seorang tirani yang berbagi perasaan dengan Bin Zayed terkait kelompok Islamis.”
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Penulis, mengutip seorang diplomat AS, menekankan bahwa blokade yang diberlakukan kepada Qatar sejak Juni 2017 telah menjadi “masalah balas dendam pribadi” untuk Bin Zayed.
Perlu juga dicatat bahwa pada tahun 2009 Bin Zayed membuat keputusan yang akan sangat meningkatkan kemampuannya untuk memproyeksikan kekuatan di luar perbatasan UAE, ketika dia meminta Mike Hindmarsh, mantan komandan resimen Special Air Service (SAS) Australia, untuk membantunya mengatur kembali tentara Emirat, pada akhirnya menunjuk dia untuk memimpinnya.
Dia mengindikasikan bahwa tidak dapat dibayangkan untuk menunjuk pejabat non-Arab di posisi militer setinggi itu di negara lain di Timur Tengah.*