Hidayatullah.com–Semua pihak terutama masyarakat luas perlu mewaspadai usulan revisi UU No.15/2003 tentang Penerapan Perpu No.1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Anti Terorisme), karena usulan itu muncul setelah adanya reaksi keras terhadap rencana pemerintah mengadopsi ISA (Internal Security Act). “Masyarakat tidak bodoh, pemerintah agar berhati-hati menghadapi masyarakat yang sudah kritis. Saya melihat ada gejala-gejala yang perlu diwaspadai,” kata Wakil ketua DPR RI AM Fatwa, di sela mengikuti lokakarya tentang Pengaturan Kampanye Pemilu di Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jakarta, Kamis. Ia menilai, kejadian-kejadian berupa ledakan bom ingin dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mengembalikan situasi kepada masa Laksus Kopkamtib ketika orde baru, yang merupakan perjalanan bangsa yang pahit. Dikatakannya, lebih baik kewaspadaan itu dimunculkan sekarang mengingat rencana revisi itu pasti akan mendapat reaksi keras dari masyarakat. “Meski akhirnya disahkan, UU Anti-Terorisme saja sudah cukup keras mendapat reaksi. Ini lebih represif dari UU Antisubversi. Kalau mau mengadopsi ISA, jangan pura-pura mengatakan tidak mau mengadopsi,” kata Fatwa dengan nada tinggi. AM Fatwa yang juga Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN) memang pernah mengalami pengalaman pahit tatkala dijatuhi hukuman 18 tahun penjara di era Soeharto dengan dalih UU Antisubversi tersebut. “Saya menentang keras, ini akibatnya nanti TNI dan Polri akan menjadi alat kekuasaan. Saya ingatkan kepada Presiden Megawati agar jangan karena merasa lemah, lalu mau berlindung di balik tentara, tidak bisa itu. Ingat Soeharto ketika menjadikan tentara sebagai alat kekuasaan,” katanya. Menurut dia, “jahatnya” UU seperti yang diterapkan di Malaysia, bukan saja mengawasi orang apabila punya pikiran untuk melakukan tindak kekerasan, tetapi sampai paham ideologinya diselidiki. Ia menegaskan, payung hukum bagi pemerintah untuk melakukan pencegahan aksi-aksi terorisme sudah ada yaitu UU No.15/2003 (Anti teroris) dan tinggal pelaksanaannya yang lebih ditingkatkan. TNI rindu kekuasaan AM Fatwa mengkhawatirkan di balik rencana pengajuan revisi UU Antiterorisme itu sebenarnya merupakan “akal-akalan” dari kalangan militer yang rindu akan kekuasaan lamanya yang hilang. “Tadinya saya menghormati dan mengacungkan jempol kepada Endriartono (Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, Red) yang cepat menarik tentara dari gelanggang politik pada Pemilu 2004, baik di DPR maupun MPR. Tetapi kok kenapa sekarang ini mau mengembalikan lagi itu. Acungan jempol saya sekarang jadi agak miring,” katanya. Ia menambahkan, kondisi psikologis setelah Polri pisah dari TNI menunjukkan hubungan Polri yang terlalu “dekat” dengan Presiden, sehingga TNI terlihat agak “tenggelam” padahal sudah puluhan tahun TNI selalu berada di “atas”. Karena itu, Fatwa mengusulkan agar pemerintah tetap menggunakan payung hukum yang ada untuk menangkal terorisme serta memfungsikan seluruh kemampuan yang dimiliki TNI secara profesional, seperti memanfaatkan anggota Kopassus yang pernah mendapat pelatihan anti teroris di luar negeri. ISA (Internal Security Act) adalah undang-undang keamanan nasional yang telah diberkalukan di Malaysia dan Singapura yang kemudian dijadikan alat untuk menangkap aktifis Islam sebagaimana UU Antisubversi dan Laksus Kopkamtib. [Ant/cha]