Hidayatullah.com–Menkeh dan HAM Yusril Ihza Mahendra mengatakan hal itu di Jakarta, kemarin. “Sekarang ini kan KUHP kita memang menganut ketentuan- ketentuan dari hukum adat, hukum Belanda yang telah diterima oleh masyarakat Indonesia, konvensi internasional yang berlaku, dan hukum Islam sendiri,” katanya seperti dikutip Media Indonesia. Namun, katanya, masih ada perbedaan dalam ketentuan-ketentuan hukum tersebut, misalnya untuk masalah perzinahan dan santet. Yusril menjelaskan bahwa dalam hukum Islam yang dimaksud perzinahan adalah hubungan suami istri yang dilakukan oleh dua pihak yang tidak terikat status pernikahan, sedangkan dalam hukum Belanda dan Barat lainnya, perzinahan didefinisikan sebagai hubungan suami istri yang dilakukan oleh dua pihak dan salah satu pihak telah terikat pernikahan. “Padahal, berdasarkan survei kita baik kepada orang Islam maupun Kristen, mereka mengatakan perzinahan itu seperti yang berlaku dalam hukum Islam,” kata Yusril. Mengenai santet, katanya, juga akan diatur dalam revisi KUHP karena santet bisa digunakan untuk melakukan kejahatan, misalnya orang mendatangi tukang santet untuk merencanakan pembunuhan, sehingga perbuatan jahatnya bukan hanya pembunuhan terencana tetapi juga santetnya, meskipun dalam hukum Islam, santet tidak diancam hukuman penjara. “Dalam hadis hanya disebutkan bahwa barang siapa yang mendatangi tukang tenung itu, maka ibadahnya selama 40 hari 40 malam tidak akan diterima Allah,” kata Yusril. Artinya, dalam hukum Islam, santet atau tenung itu hanya diberi sanksi akhirat. Sementara itu, menanggapi rencaka Menkeh dan Ham ini, Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta Syarif Hidayatullah Prof Azyumardi Azra mengatakan, jika syariat Islam tetap dipaksakan dari unsur keadilan, akan muncul diskriminasi hukum di antara warga negara. Diskriminasi itu, kata dia, justru hanya akan menimbulkan masalah sosiologis di kemudian hari. “Misalnya, muslim yang zina dirajam, tetapi yang bukan muslim cukup dipenjara,” katanya. Azyumardi mengatakan hal itu dalam seminar sekaligus peluncuran buku Shar’iah and the Politics of Modern Indonesia di Jakarta, Jumat. Acara yang digelar Centre for Strategic and International Studies (CSIS), lembaga yang pernah dekat dengan Orde Baru ini. Selain Azyumardi, CSIS juga menghadirkan kanditat doktor di Universitas Melbourne, Australia, Arsekal Salim, Samsu Rizal Panggabean dari Center for Security and Peace Studies, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dan Farish A Noor, peneliti di Centre for Modern Orient Studies di Berlin, Jerman. Menurut Azyumardi, dari segi pemahaman, sebenarnya syariat Islam tidak popular di tengah masyarakat. Merujuk pada sebuah penelitian yang dibuat Universitas Islam Negeri Jakarta Syarif Hidayatullah, ia mengatakan, jauh di bawah 50% responden tidak setuju hukum potong tangan dan rajam sampai mati diberlakukan. Tetapi hampir semua responden yang beragama Islam setuju jika syariat Islam diterapkan konsisten untuk kegiatan ritual seperti salat dan puasa. “Ini menandakan di kalangan muslim syariat Islam belum jelas,” ujar dia. (MI)