Hidayatullah.com–Inna lillahi wainna ilaihi roji’uun. Munir, mantan koordinator Badan Pekerja Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) itu berangkat menuju Amstedam Senin sekitar pukul 22.00 WIB untuk melanjutkan studi di pascasarjana Universitas Utrecht, Belanda. Sayang, sebelum mencapai Amsterdam, ia telah menghembuskan nafasnya yang terakhirnya. Direktur Eksekutif Imparsial (LSM di bidang monitoring HAM) ini tadinya berencana menuju Amsterdam untuk mendalami ilmu hukum di Universitas Utrecht, Belanda. Pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) itu terbang dari Bandara Soekarno-Hatta pukul 21.55 WIB dengan menggunakan pesawat Garuda Indonesia (GA-974) menuju Singapura untuk transit di Bandara Changi Singapura sebelum kemudian melanjutkan ke Amsterdam. Namun, dua jam sebelum mendarat, Munir yang saat itu terlihat terlelap ternyata sudah pergi untuk selamanya. Pejuang HAM yang Sederhana Munir lahir di Malang, Rabu, 8 Desember 1965 meninggalkan seorang istri, Suciwati, dan seorang anak bernama Sultan Alif Allende. Lulusan fakultas hukum Universitas Brawijaya Malang ini kemudian aktif di lembaga bantuan hukum Surabaya dan kemudian aktif menangangi berbagai kasus nasional semenjak aktif di YLBHI. Nama Munir banyak dikenal orang setelah berdirinya Kontras. Mantan aktifis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini kemudian dikenal sebagai tokoh yang kritis, vokal, dan kadang membuat banyak telinga orang terutama kalangan militer. Keterlibatannya dalam masalah HAM ini membuat beberapa kali diri dan keluarganya terancam. Rumah orangtuanya di Batu, Malang, Jawa Timur beberapa kali kirimi bom. Anak dan istrinya berkali-kali mendapatkan teror melalui telepon. Beberapa kasus nasional yang pernah ikut ditanganginya adalah kasus pelanggaran HAM Semanggi I-II, kasus Trisakti, kasus Mei 98, dan pengungkapan kembali kasus Tanjung Priok yang telah melibatkan banyak Jenderal. Mantan lulusan SD Muhammadiyah, Batu, Malang ini, pernah menerima penghargaan Yap Thian Hien Award dari Yayasan Pusat HAM dan penghargaan dari UNESCO (Badan PBB untuk Ilmu Pengetahuan, Pendidikan dan Kebudaayaan) karena dinilai berjasa memperjuangkan hak-hak asasi manusia di Indonesia Desember tahun 2000 lalu, Yayasan Right Livelihood Award untuk pengabdian di bidang pemajuan hak asasi manusia (HAM) dan kontrol sipil terhadap militer di Indonesia. Yayasan Right Livelihood, memberikan penghargaan sejak tahun 1980 untuk melengkapi penghargaan Nobel yang bidangnya sangat terbatas. Masing-masing penerima penghargaan akan mendapatkan 2 juta kron Swedia atau sekitar 200.000 dollar AS, untuk mendukung aktivitas para penerima penghargaan tersebut Munir adalah orang Indonesia kedua yang dianugerahi penghargaan bergengsi itu. Meski demikian, Separo dari hadiah dari Right Livelihood yang berkisar sekitar Rp 500 juta itu kabarnya dikembalikan ke Kontras. Munir sendiri, dalam kegiatannya justru memilih bersikap sederhana dan kemana-mana selalu menaiki sepeda motor. Menurut rencana, almarhum akan dikebumikan di kampung halamannya, Jalan Diponegoro 169, Kota Batu, Malang, Jawa Timur. (Cha, berbagai sumber)