Hidayatullah.com–Mendengar komentar Nahdlatul Ulama (NU) dari para elit NU, mungkin sudah biasa. Tapi, beda jika komentar itu datang dari seorang tokoh di luar elit NU, seperti dilakukan sastrawan Ahmad Tohari, asal Bayumas Jateng.
Penulis novel “Kubah” (1980) dan “Ronggeng Dukuh Paruk” (1982) yang lebih suka menganggap dirinya warga biasa NU ini akhir-akhir ini gelisah melihat perkembangan organisasi NU.
“Saya warga NU dari anak petani biasa di daerah Bayumas,” terangnya. Namun, ada hal yang membuatnya NU tidak lagi bisa membanggakan baginya.
“Saya betul-betul blenger dan menangis menjadi warga NU,” ujarnya ketika mengisi diskusi NU dalam Perspektif Politik dan Budaya pada Rabu (17/3) pagi di ruang Semanggi Graha Pena Lt. 5 bersama pengamat politik dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Prof. Dr. Kacung Marijan.
Kenapa demikian? Menurutnya, NU memiliki basis massa yang banyak, tapi, potensi itu kerap dimobilisasi untuk kepentingan politik. Padahal, warga NU secara ekonomi dan pendidikan masih sangat memprihatinkan.
Kemudian banyak elit NU yang tidak lagi ikhlas. Ikhlas yang dimaksud Tohari adalah, tidak lagi pro pada umat atau berorientasi ke bawah. Padahal, ayat-ayat Gusti Allah itu dominan berada di bawah. Alamat Gusti Allah itu tidak ada di istana presiden, kantor gubernur, dan lainnya.
“Umat NU sekarang sangat membutuhkan ekonomi, kesehatan, dan pendidikan,” ujarnya. Tapi hal itu kurang diindahkan.
Dalam kesempatan itu, dia mencontohkan seorang Ketua DPC NU, Mardiyati di Banyumas, daerahnya. Sosok Mardiati, meski hanya Ketua Cabang, tapi dedikasi kepada umat luar biasa. Memiliki kontribusi besar, baik pada ekonomi maupun pendidikan.
“Dia menyediakan madrasah, lumbung padi ketika waktu paceklik, pos kesehatan, dan bisa ngopeni warganya,” ujarnya. “Seharusnya elit NU iri dan bisa menyontoh dia,” imbuhnya.
Senada disampaikan Prof. Dr. Kacung Marijan. Ia mengatakan, sebaiknya NU kembali ke Khittah 26. Ada tiga spirit NU yang harus direvitalisasi oleh para elit NU di atas, yaitu spirit gerakan pemikiran Ahlussunnah Waljamaah (ASWAJA), spirit mengembangkan ekonomi umat, dan spirit kebangsaan, atau peran NU sebagai entitas bangsa yang besar.
“Sebaiknya NU harus menjadikan tiga spirit tersebut sebagai tujuan. Bukan malah menjadikan politik sebagai instrumen dan meninggalkan spirit tersebut. Lebih disayangkan lagi, banyak orang NU yang lebih bersemangat berbicara politik ketimbang ekonomi. Padahal, kondisi ekonomi warga NU sangat memprihatinkan,” katanya.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Apalagi, mayoritas warga NU petani. Sudah beberapa dekade ekonomi petani mengalami kesenjangan karena liberalisme ekonomi. Dan, ketika petani mengalami trade off, sangat berimplikasi besar pada kondisi ekonomi warga NU.
Karena itu, dia mengimbau, agar elit NU melalui partai dukungannya bisa mengatasi masalah liberalisme ekonomi tersebut. Sebab, jika masalah ekonomi tidak diatasi, bisa jadi, warga NU tidak saja akan enggan taat secara politik tapi juga enggan taat secara agama pada kyai NU.
Kacung mengatakan, masalah ekonomi memang menjadi masalah serius. Terjadinya radikalisasi agama juga dipicu kesenjangan ekonomi umat Islam. “Jadi, masalah ekonomi menjadi tugas besar NU,” katanya [ans/hidayatullah.com]