Hidayatullah.com–Temuan Badan Pengurus Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetik Majelis Ulama Indonesia (BPPOM-MUI) tentang adanya perlibatan atau persinggungan unsur-unsur haram pada obat-obatan paten dan generik di masyarakat Indonesia, diperkuat oleh pernyataan mantan Kepala BPOM RI, Khusnia Rubiana Thamrin .
Menurut Khusnia, temuan itu ada benarnya. Tapi dia tidak bisa memastikan berapa persen obat-obatan yang mengandung unsur haram.
“Ada, tetapi tidak begitu banyak. Ada memang obat yang tidak halal karena belum ada sertfikasi halal dari MUI,” kata Khusnia, dalam perbincangan dengan Hidayatullah.com, baru-baru ini.
Dalam kewenangannya, kata Khusnia, LPOM RI memang tidak ikut terlibat dalam aspek pengawasan pada masalah haram atau halal obat.
Dia mengatakan, yang punya kewenangan memberikan sertifikasi halal adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sedangkan LPOM RI hanya hanya mengawasi dari segi keamanan, manfaat dan mutu obat.
“BPOM RI mengawasi segi keamanan, manfaat dan mutu obat. Dalam proses produksinya, BPOM RI akan meminta kepada produsen untuk meminta fatwa dan sertifikasi dari MUI,” jelas Khusniah.
Tekanan Asing
Namun belakangan, mencuat kabar jika Uni Eropa dan Kadin Amerika telah meminta mencabut atau merivisi ketentuan dari BPOM RI yang mengharuskan ada sertfikasi halal dari MUI tersebut. Menurut Khusnia, pihak perusahaan farmasi tersebut keberatan karena akan memiliki keterbatasan akses bisnis di Indonesia.
Padahal, tegas Khusnia, adanya sertifikasi halal tersebut adalah upaya untuk melindung konsumen muslim dari bahan-bahan yang haram dan tidak thayyib (baik).
“Masyarakat kita kan mayoritas yang mengkonsumsi ini (obat, red),” sayang dia.
Menurutnya, sejatinya negara lain tidak boleh turut campur dalam masalah kefarmasian suatu negara. Namun yang mengherankan, adalah adanya ajuan keberatan aturan keharusan sertifikasi halal dari MUI oleh Kadin Amerika dan Uni Eropa.
“Bahkan yang saya dengar terakhir, aturan itu sudah diadakan revisi. Tinggal ditandatangani. Ini laporan yang masuk ke saya,” ujar Khusnia.
Terkait adanya tekanan dari luar tersebut, menurut Khusnia, karena pasar farmasi Indonesia termasuk yang terbesar di dunia. Boleh dikata, Indonesia adalah pemakai atau konsumen yang terbesar saat ini, serta satu-satunya pasar yang mudah dipenetrasi adalah Indonesia.
“Boleh dibilang Indonesia memang tidak memproduksi obat. Semua dari luar. Ada sekitar 80 persen penguasaan pasar farmasi dari luar negeri di Indonesia. Utamanya dari Amerika dan Uni Eropa,” jelasnya.[ain/hidayatullah.com]