Asssalamu’alaikum Wr WB
Izinkan saya berkeluh kesah tentang negeriku, bernama Indonesia.
Akhir-akhir ini ada keanehan dalam bangsaku. Yang saya temukan, banyan imam (pemimin) yang cuek terhadap urusan bangsanya. Imam-nya, makmum-nya juga cuek.
Pemimpinnya, rakyatnya cuek. Semuanya padacuek. Cuek terhadap masalah halal haram dan cuek terhadap hak dan kewajiban.
Yang sering saya temukan di pemberitaan, sang pemimpin sangat mahir mencari-cari dalil, hujah untuk membenarkan atau mensahkan pendapatnya.
Benar-benar amat pintar. Pintar memelintir. Memelintir yang sudah qath’i menjadi dzanni. Memelintir yang sudah baku menjadi yang diperselisihkan, diperdebatkan. Amat lihai mempermainkan dalil-dalil agama.
Dalam agama, kita saksikan banyak orang tak berhak bicara hukum Islam atau hukum agama justru dijadikan patokan media massa.
Untuk melegalisasi, melegitimasi pendapat sendiri yang menyalahi pendapat umum (ijma’) digunakan kaidah usul fikih, bahwa “Siapa yang ijtihad, menafsirkan hukum benar, akan mendapat dua pahala, tetapi yang ijtihadnya salah mendapat satu pahala”.
Juga kaidah usul fikih “menghindari kesulitan lebih utama, dari pada mendatangkan kebaikan” (darul mafasid muqaddam ‘ala jalabil mashaalih) hustru digunakan untuk mengamankan, menyelematkan kehilangan, kerugian penanaman modal asing,penutupan perusahaan asing.
Terganggungnya investasi asing yang jumlahnya milyaran, dipandang lebih mafasid dari pada timbulnyakebingungan dan keresahan di masyarakat akibat ulah intervensinya dalam bidang yang bukan wewenangnya, mengeluarkan statement blunder (kacau, ngawur).
Padahal yang paling berwewenang dalam menentukan halal haramnya sebuah produk makanan dan minuman adalah kaum ulama dan ahli syar’iyah. Bahkan dalam kapasitas selaku kepala negara-pun tidak berwewenang mengeluarkan pernyataan fatwa tentang halal dan haram suatu produk makanan.
Ada yang pintar bermain diplomasi menepis timbulnya kebingungan dan
keresahan di kalangan masyarakat akibatnya beragamnya pendapat tentang
halal haramnya suatu produk makanan dan minuman.
Akhirnya lahir “bangsa” cuek. Rakyatnya cuek dan masa bodoh. Tak peduli tentang halal haram. “Daripemantauan (pers) di kalangan pedagang diperoleh kesimpulan, bahwa mereka tidak sempat memikirkan halal atau haram sebuah barang, pembeli pun begitu. Baginya yang penting bisa makan. Sebab umumnya pelanggan tidak ada yang menanyakan haram atau tidaknya apa yang dijual”. (“Hanya sebagian (sedikit) saja yang peduli terhadap masalah halal haram”, PADANG EKSPRES, Kamis, 11 Januari 2001, hal 1, 6).
Karena itu, tugas kita semua –wabil khusus kewajiban para ulama, da’i, penceramah– untuk menyeru, menghimbau, menyeru, menuntun, membimbing generasi cuek ini menjadi generasi peduli (terhadap halal dan haram) melalui semua wahyana dansarana dakwah, baik melalui taklim, khutbah, buletin dakwah, media cetak, mapun media elektronik seperti radio dan televisi.
Ulama, da’i, penceramah yang akan ikhlas mengemban tugas risalah ini hanyalah yang mampu menyatakan “Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu, upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.” (QS 26:109, 127, 145, 164, 180). Yang sanggup menegaskan “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula ucapan terima kasih.” (QS 76:9).
Wass
Asrir Sutanmarajo
Tinggal di Bekasi