Hidayatullah.com— Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), membantah al-Qur’an surah An Nahl ayat 106 sebagai dalil dibolehkannya bertaqiyah terhadap sesama Muslim. Menurut MIUMI, landasan yang dipakai taqiyah kaum Syiah itu jelas salah alamat.
“Sunni yang menganggap taqiyah itu sama dengan nifaq (munafik) sebab taqiyah satu hal dan nifaq adalah hal lain. Taqiyah dalam pengertian ‘menyembunyikan keimanan di hadapan orang kafir’ dengan menyatakan kalimat yang sekilas mengandung kekafiran seperti dalam kasus yang dihadapi Ammar bin Yasir Ra dan jadi sebab turunnya ayat 106 An Nahl, itu hanya boleh dilakukan dalam keadaan darurat di hadapan orang kafir saja,” ujar Wakil Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) dalam pernyataan yang dikirim ke redaksi hidayatullah.com.
Pernyataan ini disampaikan menanggapi salah satu kesimpulan seminar yang diselenggarakan Himpunan Pelajar Indonesia (HPI) Iran periode 2012-1013 di Universitas Imam Khomeini Qom Iran, hari Kamis (14/02/2013) dengan tema “Konsep Tabligh dalam Dimensi Keindonesiaan”. Di mana kesimpulan salah satu pembicaranya Hendar Yusuf, yang membawakan makalah berjudul “Konsep Taqiyah dalam Islam” menyatakan, al-Qur’an surah An Nahl ayat 106 sebagai dalil naqli yang menunjukkan bolehnya melakukan taqiyah terutama dengan tujuan menjaga diri dan jiwa dari bahaya.
Menurut Fahmi, apa yang dipaparkan itu jelas keliru. Tidak ada Sunni yang menganggap taqiyah itu sama dengan nifaq (munafik) sebab taqiyah satu hal dan nifaq adalah hal lain.
Taqiyah dalam pengertian ‘menyembunyikan keimanan di hadapan orang kafir’ dengan menyatakan kalimat yang sekilas mengandung kekafiran seperti dalam kasus yang dihadapi Ammar bin Yasir Ra dan jadi sebab turunnya ayat 106 An Nahl, itu hanya boleh dilakukan dalam keadaan darurat di hadapan orang kafir saja.
Jika Syiah ingin menerapkan itu dalam muamalah dengan kaum Sunni, maka itu artinya Syiah memang menganggap orang Sunni itu kafir sehingga dalam menghadapinya (dalam kondisi minoritas) harus dengan bertaqiyah untuk menghindari mara-bahaya yang mungkin timbul karena perbedaan akidah/prinsip.
“Dalam ajaran Islam, taqiyah yang dimaksudkan Syiah hanya bias diterapkan di hadapan kafir tulen yang dzalim menindas seperti kaum musyrikin quraisy.”
Lebih lanjut ia mengatakan, dalam kamus akhlak Ahlul Bait tidak dikenal taqiyah karena memang tak ada hajat untuk menyembunyikan keimanan/akidah di hadapan Muslimin umumnya, baik di masa Sahabat apalagi sesudahnya karena prinsip keimanan yang diyakini Ahlul Bait dan Sahabat itu sama bersumber dari Al-Quran dan Sunnah nabi. Tak ada pula ajaran Islam yang khusus diajarkan kepada orang tertentu tidak untuk yang lain. Kecuali mereka menganggap Sahabat Nabi semua itu kafir alias murtad sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalm sehinggal Ali dan Ahlul Bait bertaqiyah di hadapan mereka.
Menurut Fahmi Salim, Ibnu Taymiyah bernah mencatat, “Allah Subhanahu wata’ala telah menyucikan Ahlul Bait dari taqiyah seperti itu dan mereka tidak memerlukan taqiyah karena mereka adalah orang yang paling jujur dan paling beriman. Agama mereka adalah taqwa dan bukan Taqiyah.”
“Yang dilakukan Sayidina Hussain Radhiyallahu ‘anhu adalah upaya islah menegakkan amar ma’ruf nahi munkar kepada pemimpin yang dzalim, bukan makar atau pemberontakan dan bukan pula dalam rangka menuntut hak imamah Ahlul Bait Rasul. Apa yang dilakukan beliau murni mengembalikan sistem syura dalam pemerintahan Islam, mengembalikan khilafah ala minhaj nubuwwah dan menolak sistem kewarisan dan monarki absolut. Namun ini rupanya yang disalahpahami oleh Syiah. Sementara kalangan Sunni sendri kurang mengangkat pesan ini.”